Hamil dan melahirkan merupakan kejadian fisiologis yang dialami oleh para ibu yang umumnya membahagiakan. Namun, proses kehamilan dan penambahan anggota baru keluarga ini merupakan peristiwa yang menuntut proses adaptasi yang besar sehingga berisiko mencetus berbagai jenis gangguan emosi, salah satunya adalah postpartum depression (PPD) (Aridyanti et al., 2018). PPD merupakan kondisi gangguan emosi yang biasanya muncul pada enam minggu pertama pascamelahirkan dan memerlukan penanganan medis (Stewart et al., 2003). Jika tidak diobati, PPD dapat menimbulkan efek jangka panjang yang membuat ibu mengalami depresi kronis berulang (Wuriastuti dan Rofingatul, 2020).
Selain membahayakan ibu, beberapa penelitian menunjukan bahwa PPD dapat menyebabkan gangguan tingkah laku pada anak di usia tiga tahun, adanya kerusakan kognitif pada anak usia empat tahun, dan penurunan kepuasan perkawinan selama periode postpartum yang dapat menyebabkan ketidakharmonisan dengan suami dan dampak negatif jangka panjang di antara keseluruhan anggota keluarga. Sayangnya, PPD masih dianggap sebagai hal yang wajar, sehingga seringkali terabaikan dan tidak ditangani dengan baik. Hal ini terjadi karena pihak penyedia layanan kesehatan biasanya menganggap masalah ibu pascamelahirkan sekadar aktivitas hormon atau postpartum blues yang bersifat sementara dan akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari setelah persalinan (Bellatrix, 2011).
Prevalensi kejadian PPD di Asia cukup tinggi dan bervariasi antara 26-85%. Sedangkan di Indonesia angka kejadian tersebut antara 50-70% dari wanita pascamelahirkan (Sari, 2020). Tahun 2017, penelitian di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta menunjukan bahwa persentase PPD pada ibu primapara adalah 70.59% dan ibu multipara adalah 58.82% (Kusuma, 2017). Dalam wawancaranya dengan BBC News, Elvine, dokter spesialis kejiwaan menyebutkan jika gangguan emosi ini berlangsung lebih dari dua minggu maka gangguan tersebut sudah masuk fase depresi. Fase depresi ini tidak akan hilang dengan sendirinya, justru akan menyebabkan perburukan apabila tidak ditangani dengan tepat.
Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia menjadi bukti bahwa PPD adalah kondisi nyata yang memerlukan penanganan serius. Nur Yanariah, pendiri komunitas MotherHope Indonesia menceritakan kisahnya pada BBC News tentang PPD yang sempat ia alami. Yana mengatakan bahwa dirinya pernah dengan sengaja pergi ke danau bersama bayinya pada malam hari dengan pikiran kosong dan perasaan ingin bunuh diri. Selain itu, Yana mengaku pernah menawarkan bayinya yang baru berusia sembilan bulan untuk diadopsi melalui Facebook karena merasa dirinya tidak bisa menjadi ibu yang baik bagi anaknya.
Selain Yana, kisah seorang perempuan di Bandung yang membunuh bayinya setelah merasa mendapat bisikan gaib, juga menjadi contoh lain kasus gangguan emosi pascamelahirkan. Elvine menyebutkan bahwa gangguan kesehatan mental pascamelahirkan merupakan kasus terselubung yang seringkali terlambat disadari dan ditangani. PPD yang tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala psikotik seperti mendengar suara-suara negatif yang mengancam nyawa ibu dan anak.
Meninjau berbagai efek negatif yang terjadi karena PPD, penting dilakukan diagnosis dini untuk mencegah terjadinya PPD maupun memanajemen ibu yang sudah terdiagnosis agar kondisinya tidak memburuk. Banyak instrumen yang dapat digunakan untuk skrining dalam penegakan diagnosis PPD, salah satunya adalah kuesioner EDPS (Sari, 2020). Selain melakukan screening, mengenal ciri-ciri awal PPD merupakan salah satu langkah pencegahan yang bisa dilakukan oleh ibu dan keluarga terdekat.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual Mental Disorders edisi keempat (DSM IV), ciri-ciri ibu yang mengalami PPD adalah mood yang tertekan, gangguan tidur dan nafsu makan, agitasi fisik, penurunan energi dan konsentrasi, serta adanya keinginan bunuh diri yang berlangsung sejak 4-6 minggu pascamelahirkan (Pradnyana, 2013). Jika ibu atau lingkungan di sekitar ibu menemukan ciri-ciri di atas, jangan ragu untuk meminta bantuan medis agar keselamatan ibu dan bayi tetap terjaga.
***
Referensi:
Aridyanti, D dan Siti Muthia Dinni. (2018). Aplikasi Model Rasch dalam Pengembangan Instrumen Deteksi Dini Postpartum Depression dalam Jurnal Psikologi Volume 45(2), 82 DOI: 10.22146/jpsi.29818.
Bellatrix, Nansa Cahyani. (2011). Dinamika Emosi pada Ibu yang Mengalami Depresi Pasca Persalinan. Surabaya: Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Pendahuluan, halaman: 8–10.
Kusuma, P. D. (2017). Karakteristik Penyebab Terjadinya Depresi Postpartum pada Primipara dan Multipara dalam Jurnal Keperawatan Notokusumo, 5(1), 36–45.
Lestar, Sri. (2018). Depresi Pasca Melahirkan Membuat Saya Ingin Bunuh Diri Bersama Anak. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43355369
Pradnyana, Esa et al. Diagnosis dan Tata Laksana Depresi Pospartum Pada Primapara. Bali: SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah. Saputra, Yulia. (2021). Kesehatan Mental: Depresi Perinatal, Pembunuh Senyap yang Mengintai Keselamatan Jiwa Ibu dan Anaknya. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56714093
Penulis: Novia Rahmawati
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Nur Fauziah