Tag: Mental Awareness

coping with reverse culture
HobiKeluarga

Menggali Kreativitas Melalui Hobi

Nyeni” dan artistik. Apa yang terlintas dalam benak Ibu dan Sister ketika mendengar dua kata tersebut? Bagi sebagian orang, istilah nyeni dan artistik cenderung ditujukan pada seseorang atau kelompok yang menggeluti bidang seni saja. “Nyeni” dan artistik juga seringkali dihubungkan dengan kreativitas. Kreativitas berasal dari kata sifat kreatif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kreatif bermakna memiliki daya cipta atau memiliki kemampuan untuk menciptakan. Kreatif juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru, baik itu solusi baru untuk sebuah masalah, metode atau perangkat baru, atau sebuah objek dan bentuk baru (Barbara, 1998). Berkaca pada definisi tersebut, tentu bukan hal yang mustahil bagi setiap orang untuk memiliki kreativitas, kan? Nah, bagaimana cara untuk menggali  kreativitas dalam diri kita?

Salah satu cara untuk menggali kreativitas dalam diri Ibu dan Sister adalah dengan melakukan hobi kreatif. Hmmmm, apa yang dimaksud hobi kreatif? Apakah hobi kreatif berbeda dengan hobi lainnya? Simak, yuk, penjelasan berikut.

Hobi kreatif (creative hobbies) dapat didefinisikan sebagai hobi atau kegemaran yang di dalamnya dapat menghasilkan sesuatu sebagai hasil dari buah pikiran. Hobi kreatif lebih menekankan pada adanya keahlian yang diasah, ilmu yang dipelajari, atau karya yang dibuat. Meskipun terlihat serius, namun kegiatan tersebut dilakukan secara menyenangkan dan tanpa tekanan. Hobi kreatif banyak macamnya. Contoh hobi kreatif yang dapat Ibu dan Sister lakukan adalah melukis, scrapbooking, dan lettering art.

Berbicara soal kreativitas, Dr. Kevin Eschleman, seorang profesor bidang psikologi di San Francisco State University pernah melakukan riset mengenai pengaruh kegiatan kreatif terhadap lebih dari 400 pekerja. Riset dilakukan dalam dua kelompok partisipan.  Satu kelompok dinilai oleh diri sendiri dan satu kelompok dinilai oleh rekan kerja. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pekerja yang melakukan hobi kreatif cenderung lebih mudah bekerja sama dan kreatif dalam kinerjanya. Selain itu, kegiatan kreatif juga memberikan dampak positif terhadap proses pemulihan psikologis pekerja (Eschleman, 2014).

Nah, bagaimana cara memilih hobi kreatif yang tepat untuk Ibu dan Sister?

Ibu dan Sister dapat memulai hobi kreatif dengan menggali sesuatu yang menjadi interest Ibu dan Sister, misalnya buku. Jika Ibu dan Sister sangat menyukai buku, Ibu dan Sister bisa mengembangkan hobi kreatif Ibu dan Sister sebagai bookstagram dan bookfluencer. Selain mengembangkan kreativitas Ibu dan Sister di bidang perbukuan, bookstagram dan bookfluencer juga dapat membantu meningkatkan ketertarikan masyarakat pada dunia literasi. Hobi kreatif dapat ditekuni dari berbagai bidang keahlian sekali pun bukan dari bidang keahlian Ibu dan Sister. Jika ada suatu bidang yang sedang atau ingin dipelajari, maka Ibu dan Sister bisa mengembangkan hobi kreatif dalam bidang tersebut. Tentu saja kunci utamanya adalah keinginan belajar yang tinggi pada diri Ibu dan Sister. Contoh sederhana yang dapat Ibu dan Sister lakukan adalah  memasak, menulis, menggambar/melukis, dan fotografi atau videografi. Ibu dan Sister bisa mempelajari berbagai macam teknik dalam kegiatan-kegiatan tersebut serta mencetuskan ide-ide baru yang membuat berbagai bidang keahlian dalam hobi kreatif tersebut makin menarik. Jika Ibu dan Sister memiliki beberapa interest dan keahlian, Ibu dan Sister bisa menggabungkannya dalam satu kegiatan. Sebagai contoh, Ibu dan Sister bisa menggabungkan kegiatan memasak dengan fotografi atau videografi serta botanical illustration dengan menulis blog.    

Oh, ya, hobi kreatif memiliki banyak manfaat, loh, Ibu dan Sister. Apa saja, ya, manfaat hobi kreatif itu? Beberapa manfaat hobi kreatif sebagai berikut. 

1. Menghilangkan stres.

Melakukan hobi kreatif memberikan waktu jeda dari rutinitas dan tekanan pekerjaan. Ketika melakukan hobi kreatif, ada proses penyaluran energi, emosi, dan pikiran yang kemudian dituangkan ke dalam karya. Hal tersebut dapat memunculkan perasaan rileks dan menurunkan stres.

2. Membuat diri kita merasa “utuh”.

Dalam melakukan hobi kreatif, Ibu dan Sister memilih kegiatan yang disukai. Ibu dan Sister tidak dituntut untuk menghasilkan karya yang sempurna, tetapi Ibu dan Sister bisa lebih mengenali diri, mengetahui hal yang diinginkan, dan menjadi diri sendiri dalam prosesnya. Hal-hal tersebut dapat memunculkan perasaan “utuh”. 

3. Memunculkan rasa kepuasan atas pencapaian dalam diri.

Ketika Ibu dan Sister melakukan pencapaian-pencapaian, baik besar maupun kecil, tentu muncul rasa kepuasan dalam diri sendiri yang didapat. Sebagai contoh, ada karya yang dibuat atau pengetahuan baru yang diperoleh.

4. Meningkatkan performa kita ketika bekerja.

Orang yang melakukan hobi kreatif cenderung lebih mudah dalam bekerja sama dan mampu berpikir kreatif dalam kinerjanya. Hobi kreatif juga dapat membantu proses pemulihan psikologis seseorang serta memiliki korelasi positif dengan kesehatan mental. Oleh karena itu, hal tersebut dapat meningkatkan performa Ibu dan Sister dalam pekerjaan.

Setelah mengetahui ulasan tentang hobi kreatif, Ibu dan Sister tentu ingin mengetahui cara mengembangkan hobi kreatif, kan? Bagaimana, ya, cara untuk mengembangkan hobi kreatif? Ide kegiatan dan tutorial untuk mengasah kemampuan dalam mengembangkan hobi kreatif saat ini bisa Ibu dan Sister akses dengan mudah dari banyak sumber. Ibu dan Sister dapat melakukan studi pustaka atau melakukan penelusuran melalui internet. Ibu dan Sister juga bisa memulai hobi kreatif tersebut dari satu kegiatan yang sederhana dan dilakukan secara konsisten.

Jika dalam pelaksanaannya Ibu dan Sister merasa jenuh, jedalah sejenak dan lakukanlah kegiatan dalam hobi kreatif tersebut secara “mengalir”. Ibu dan Sister juga bisa mengisi jeda tersebut dengan kegiatan lain yang bermanfaat. Sebuah tip dari buku Steal Like an Artist karya Austin Kleon: Practice Productive Procrastination! Menuturkan bahwa “Segala hal kecil yang kita lakukan dan kita anggap hanya main-main atau menjadi sebuah karya yang tidak penting sesungguhnya bukanlah hal yang akan sia-sia. Di sanalah keajaiban bisa terjadi. Dalam hal kegiatan kreatif, keterbatasan berarti kebebasan. Melalui keterbatasanlah Ibu dan Sister dituntut untuk berpikir kreatif. Jadi, Ibu dan Sister bisa mulai melakukan hobi kreatif saat ini dengan berbagai keadaan Ibu dan Sister.

Selamat melakukan hobi kreatif, Ibu dan Sister! 

***

Referensi:

Cowan, Cierra. (2022). 69 Creative Hobbies for a Better You in 2023. Diakses dari https://www.classpop.com/magazine/creative-hobbies tanggal 28 Februari 2023.

Eschleman, K.J., Madsen, J., Alarcon, G. and Barelka, A. (2014). Benefiting from Creative Activity: The Positive Relationships between Creative Activity, Recovery Experiences, and Performance-Related Outcomes. J Occup Organ Psychol. 87: 579–598. https://doi.org/10.1111/joop.12064

Kerr, Barbara. (2023) Creativity. Encyclopedia Britannica. Diakses dari https://www.britannica.com/topic/creativity tanggal 6 Februari 2023.

Kleon, Austin. (2012). Steal Like an Artist. 10 Things Nobody Told You About Being Creative. New York: Workman Publishing Company, Inc.

Lee, Kevan. (2014). The Science of Side Projects: How Creative Hobbies Improve Our Performance at Everything. Diakses dari https://buffer.com/resources/side-projects-creative-hobbies tanggal 6 Februari 2023.


Penulis: Syifa Rahmasari
Desainer/Illustrator: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Dwi Martina Dewi

Manfaat (850 × 250 px)
Kesehatan

Kenali Kondisi Kesehatan Mentalmu Melalui Evaluasi Psikologis

Apakah Ibu dan Sister akhir-akhir ini merasakan masalah yang cukup berat? Apakah Ibu dan Sister akhir-akhir ini merasakan perubahan mood, perilaku, dan cara berpikir yang pada akhirnya mengganggu aktivitas sehari-hari? Berbagai kondisi tersebut berpotensi mengganggu kesehatan mental Ibu dan Sister. Oleh karena itu, diperlukan penanganan untuk memulihkan kesehatan mental Ibu dan Sister.

Kemajuan teknologi di zaman sekarang membuat Ibu dan Sister lebih mudah mengakses informasi terkait kesehatan mental. Saat ini, banyak sekali informasi mengenai penanganan kondisi kesehatan mental yang dapat diakses di media sosial. Hal ini tentu memiliki manfaat untuk Ibu dan Sister. Mengapa demikian? Kemudahan akses informasi terkait kesehatan mental tersebut membuat Ibu dan Sister lebih mudah mendapatkan akses untuk melakukan konseling dengan tenaga profesional, misalnya psikolog dan psikiater. Melakukan konseling dengan tenaga profesional sangat penting dilakukan ketika Ibu dan Sister membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif. Namun, seringkali Ibu dan Sister tidak tahu hal yang ingin Ibu dan Sister ceritakan serta hal yang sebenarnya Ibu dan Sister  rasakan. Sebagai langkah awal, Ibu dan Sister bisa melakukan evaluasi psikologis terlebih dahulu, lho!

Apa yang dimaksud dengan Evaluasi Psikologis?

Evaluasi Psikologis atau bisa disebut sebagai Psychological Assessment adalah sebuah proses pengumpulan data yang dilakukan oleh seorang psikolog. Psikolog menggunakan tes dan alat penilaian lainnya ini untuk mengamati dan mengukur perilaku klien hingga tahap diagnosis dan panduan pengobatan. Psikolog berperan seperti seorang detektif yang berusaha mendapatkan petunjuk untuk memecahkan sebuah misteri. Makin banyak petunjuk yang diidentifikasi oleh psikolog, makin banyak pula informasi yang digunakan untuk mengetahui kondisi psikologis para klien. Selain itu, banyaknya informasi yang mampu diperoleh akan memudahkan psikolog menentukan langkah-langkah yang tepat untuk membantu para klien.

Apa saja manfaat dari Evaluasi Psikologis?

Evaluasi Psikologis memiliki banyak manfaat. Beberapa manfaat Evaluasi Psikologis sebagai berikut:

1. Mendiagnosis berbagai kondisi psikologis dan penyakit yang memengaruhi ingatan, proses berpikir, dan perilaku. Sebagai contoh, depresi dan gangguan cemas, baby blues, post-partum depression, serta Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) and alzheimer.

2. Mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh individu, misalnya analisis kemampuan logika, pemecahan masalah, kemampuan berkomunikasi, dan stabilitas emosi ataupun kepercayaan diri.

3. Memberikan gambaran tentang bidang aktivitas yang cocok bagi setiap individu. Saat memperoleh gambaran tersebut, psikolog dapat memberikan solusi yang tepat untuk membantu klien mengembangkan potensinya.

Dalam Evaluasi Psikologis terdapat berbagai teknik asesmen yang digunakan. Salah satu teknik asesmen yang umum digunakan adalah wawancara klinis. Melalui wawancara klinis dengan klien, psikolog dapat memperoleh informasi psikologis dan penyakit yang dialami oleh klien. Ketika seorang psikolog berbicara kepada klien tentang kekhawatiran dan sejarahnya, psikolog  dapat mengamati cara klien berpikir, beralasan, dan berinteraksi dengan orang lain. Selain melalui wawancara, proses asesmen juga bisa dilakukan secara tertulis. Proses asesmen secara tertulis dilakukan dengan menjawab sejumlah pertanyaan pilihan ganda maupun esai. Setiap pertanyaan yang dijawab klien diharapkan mampu menjelaskan masalah psikologis tertentu yang dialami klien. Durasi setiap evaluasi juga berbeda-beda, tergantung dari jenis evaluasi yang dipilih atau kebijakan dari penyedia asesmen. 

Nah, Ibu dan Sister sudah memperoleh gambaran tentang Evaluasi Psikologis. Kemudian, di mana Ibu dan Sister bisa mendapatkan layanan Evaluasi Psikologis? Ibu dan Sister bisa mendapatkan layanan Evaluasi Psikologis di lembaga pelayanan psikologi. Bagaimana dengan tes psikologis yang banyak tersedia secara online? Para ahli ternyata tidak merekomendasikan tes psikologi secara online. Ketika Ibu dan Sister mencoba untuk mengikuti tes dengan cara tersebut, jawaban dalam tes mungkin tidak konsisten serta membuat Ibu dan Sister tampak memiliki lebih banyak masalah daripada yang sebenarnya terjadi. Ibu dan Sister boleh saja untuk mencoba mengikuti tes psikologis secara online. Namun, jangan lupa untuk mengonsultasikan hasilnya dengan psikolog, ya.

Bagaimana informasi tentang Evaluasi Psikologis, Ibu dan Sister? Setelah memperoleh informasi tersebut, Ibu dan Sister tidak perlu takut lagi untuk melakukan Evaluasi Psikologis jika memang diperlukan. Ini bukanlah sesuatu yang perlu Ibu dan Sister pelajari terlebih dahulu layaknya ujian akhir. Sebaliknya, Evaluasi Psikologis adalah kesempatan bagi psikolog untuk menentukan cara terbaik untuk membantu para kliennya agar sehat secara fisik dan psikis.

Salam sehat, Ibu dan Sister!

***

Referensi:

Protenzia Consulting. 2020. Memahami Pengujian dan Assessment Psikologis. Diakses dari http://www.protenziaconsulting.com/news/memahami-pengujian-dan-assesment-psikologis/ tanggal 02 Oktober 2022.

Rudlin, Kathryn. 2022.. What Is a Psychological Evaluation? Diakses dari https://www.verywellmind.com/get-your-teen-a-psychological-evaluation-2610450 tanggal 30 September 2022.

Penulis: Shinta Nastiti
Desainer/Illustrator: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Dwi Martina Dewi

healing with journaling
KeluargaKesehatan

Healing dengan Journaling

Sebagai wanita, Ibu mungkin sudah terbiasa dengan task-switching atau mengerjakan hal berbeda secara bergantian dalam satu waktu. Contohnya saat Ibu menyelesaikan pekerjaan kantor sembari memikirkan weekly menu untuk minggu depan dan mengingat-ingat bahan makanan yang habis dan perlu dicatat di dalam daftar belanja minggu ini.

Aktivitas task-switching ini menambah beban kerja otak sehingga otak memerlukan lebih banyak energi. Tidak heran jika Ibu seringkali merasa lelah meski sudah beristirahat dengan waktu yang cukup. Salah satu kegiatan healing yang dapat membantu meringankan beban kerja otak adalah dengan menulis jurnal.

Menulis jurnal atau journaling adalah suatu kegiatan rutin menjabarkan hal-hal yang dipikirkan dan dirasakan secara sistematis. Journaling bisa dimulai sesederhana menulis di buku catatan atau menggunakan aplikasi di laptop atau smartphone Ibu.

Selain mengurangi kepenatan di kepala, ada banyak tujuan journaling, seperti untuk mengabadikan pengalaman dan perasaan, hingga untuk menerapkan kesadaran penuh atau mindfulness.

Manfaat dari journaling pun tidak kalah banyaknya, terutama bagi pengembangan diri dan kesehatan mental. Journaling membantu mengurai pikiran menjadi runut dan terorganisir ke dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan inilah yang kemudian akan membantu dalam proses mengenal diri sendiri hingga menemukan aspirasi diri. Selain itu, journaling juga membantu dalam mempertimbangkan dan menentukan langkah selanjutnya dalam kehidupan.

Dari sisi kesehatan mental, journaling berperan sebagai wadah yang menampung keluh-kesah, keraguan, dan ketakutan dalam diri. Journaling membantu mengelola emosi secara sehat. Ketika kita mengurai dan memindahkan berbagai pemikiran dan emosi tersebut dari kepala ke dalam bentuk tulisan, maka kita akan merasa lega.

Berikut adalah beberapa jenis journaling yang dapat dicoba:

1.    Daily Journal

Jurnal harian yang berisikan hal-hal yang dilakukan atau pengalaman yang dirasakan hari itu. Umumnya jurnal harian juga berisikan to-do list, sehingga jurnal ini cocok jika kita ingin mengingat suatu momen secara rinci.

2.    Atomic Journal

Atom adalah unsur terkecil yang membentuk senyawa. Seperti namanya, atomic journal mengajak kita menulis satu kalimat sederhana untuk mendeskripsikan perasaan dan pengalaman hari itu. Meski terdengar sulit, namun atomic journal bisa memantik Ibu untuk memperkaya kosa kata.

3.    Gratitude Journal

Cara sederhana untuk memulai gratitude journal adalah dengan menuliskan 5-10 hal yang disyukuri setiap harinya. Mulai dari hal-hal besar, seperti sembuh dari sakit, dan berhasil mendapat pekerjaan baru, hingga hal-hal sederhana namun membuat hati terasa hangat, seperti menempuh perjalanan tanpa terjebak kemacetan, dan pelukan ekstra dari anak-anak. Gratitude journal melatih optimisme dan kemampuan bersyukur Ibu dalam menjalani kehidupan.

4.    Visual Journal

Jika Ibu menyukai hal-hal yang bersifat artistik, maka Ibu bisa mencoba membuat visual journal. Visual journal berisikan satu foto atau gambar setiap harinya. Ibu bisa memotret diri sendiri, keluarga, pemandangan, atau aktivitas yang Ibu lakukan hari itu. Jika dilakukan dengan rutin, pada akhir tahun Ibu bisa memiliki kaleidoskop sendiri.

5.    Bullet Journal

Bullet Journal atau BuJo merupakan metode journaling yang diciptakan oleh Ryder Carroll dan menekankan pada intensi penulisnya. Secara umum, BuJo berisikan future log untuk mencatat aspirasi atau tujuan, monthly planner untuk mencatat deadline dan goals jangka pendek, serta daily log untuk mencatat aktivitas harian. Namun Ibu juga bisa menambahkan kategori lain sesuai kebutuhan. Berbeda dari jenis journaling lainnya, BuJo biasanya menggunakan jurnal yang halamannya menggunakan titik-titik. Ini karena kita akan mengatur, menggaris, bahkan menggambar sendiri jurnal tersebut sesuai preferensi atau intensi kita.

Wajar jika journaling menjadi salah satu kegiatan yang populer. Selain menyenangkan, journaling juga hemat waktu dan biaya, serta memiliki banyak manfaat, terutama dalam mengorganisir kehidupan.

Untuk mendapatkan manfaatnya, jadikan journaling sebagai suatu kebiasaan atau rutinitas Ibu. Sebelum mengakhiri hari, dedikasikan beberapa menit waktu Ibu untuk menulis. Jika Ibu merasa bingung atau canggung, ingatlah bahwa tidak ada peraturan saklek dalam journaling, sehingga Ibu tidak perlu takut salah.

Jadi metode journaling mana yang ingin Ibu coba?

***

Referensi:

Hirsch, P. ,Koch, I., et al. (2019, 14 Agustus). Putting a stereotype to the test: The case of gender differences in multitasking costs in task-switching and dual-task situations. Diakses dari https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0220150

Murray, B. (2002, Juni). Writing to heal. Monitor on Psychology, 33, (6). https://www.apa.org/monitor/jun02/writing

Phelan, H. (2018, 25 Oktober). What’s All This About Journaling?. Diakses dari https://www.nytimes.com/2018/10/25/style/journaling-benefits.html

Tartakovsky, M. (2022, 22 Februari). 6 Journaling Benefits and How to Start Right Now. Diakses dari https://www.healthline.com/health/benefits-of-journaling#how-to-start

Penulis: Yoanda Pragita
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Sucia Ramadhani

Healing
Kesehatan

Customize Your Healing Activity

Rani namanya, wanita yang baru saja ikut suaminya ke negara lain. Sebelum keberangkatannya, Rani telah bersepakat dengan rekan bisnisnya untuk pindah dari bagian pengembangan produk dan pemasaran ke bagian advisor perencanaan produk dan marketing. Keputusan itu diambil dengan pertimbangan tugas pokok Rani yang masih beririsan dengan tugas sebelumnya.

Rani menjalani aktivitasnya sebagai istri dan advisor dengan antusias. Tidak ada masalah yang berarti. Timnya bekerja dengan baik meskipun zona waktu mereka jauh berbeda. Semua baik-baik saja, pikirnya saat itu. Zoom meeting demi meeting berlalu, tetapi Rani merasa semakin kosong. Rani berbicara dengan suaminya dan rekan bisnis yang juga sahabatnya, “Kira-kira apa yang salah, ya?” tanyanya saat itu.

Apakah Ibu dan Sisters pernah mendengar atau mengalami kisah serupa? Meskipun mirip, kebutuhan mengekspresikan diri setiap orang ternyata berbeda. Berbelanja, membaca buku, interaksi dengan orang lain merupakan sesuatu yang membuat orang lain hidup. Ada yang merasa bahagia setelah membersihkan rumah dan melihatnya rapi. Di sisi lain, ada pula seseorang yang merasa hidupnya produktif setelah berhasil menolong orang lain.

Apa yang membedakan masing-masing orang? Dalam kajian psikologi positif, setiap orang dianggap memiliki potensi untuk dapat hidup optimal (Gable dan Haidth, 2005). Gallup dalam teorinya menyebut potensi sebagai bakat. Bakat ini membutuhkan ruang berekspresi untuk tumbuh dan hidup. Dalam teorinya, kelebihan adalah kemampuan seseorang dalam menyelesaikan tugasnya dengan kondisi yang selalu tinggi. Komponen untuk menjadikan seseorang selalu dalam kondisi tersebut adalah pengetahuan, skill, dan bakat.

Rani adalah seorang pekerja keras, dia butuh ruang untuk menyalurkan bakatnya yang ternyata tak hanya pada proses berpikir, tetapi juga beraktivitas. Proses pengembangan produk dan pemasaran merupakan aktivitas yang melibatkan Rani untuk terjun secara langsung. Maka tak heran, saat pindah, Rani menjadi kosong karena bakatnya kurang terekspresikan.

Setelah berdiskusi, Rani memutuskan mengikuti saran suaminya untuk terlibat dalam ekosistem baru. Ekosistem yang membuatnya melakukan aktivitas yang sebelumnya tak pernah dilakukan. Rani akhirnya terlibat dalam kegiatan kerelawanan di salah satu panti asuhan anak berkebutuhan khusus. Di sana dia merasa hidupnya produktif karena bisa mengeksekusi berbagai ide untuk membuat mainan edukasi anak. Dia menemukan kebahagiaan dengan merakit berbagai hal dari ide-ide yang dihasilkannya. Rani masih aktif menjalankan bisnisnya, dia juga hidup bahagia dengan suaminya.

Jika Ibu dan Sisters adalah Rani, maka proses pertama yang harus dilakukan adalah berkenalan kembali dengan diri sendiri. Pahami aktivitas apa dan bagaimana aktivitas tersebut bisa membuat diri merasa hidup. Jika merasa kesulitan, ada banyak tes baik gratis maupun berbayar yang bisa membantu menemukan bakat dalam diri. Terakhir, Rani berhasil melengkapi kekosongan dirinya setelah mengambil langkah untuk mencoba aktivitas yang baru baginya. Begitu juga untuk Ibu dan Sisters, melakukan aktivitas baru mungkin bisa menjadi solusi yang patut dicoba.

***

Referensi:

Gable, Shelly L dan Haidth, Jonathan. 2005. What (and Why) is Positive Psychology?. Review of General Psychology. Vol 9. No. 2. pp  103-110. Diakses dari: https://www.researchgate.net/publication/228341568_What_and_Why_Is_Positive_Psychology

Clifton, D.O dan Harter, J.K (2003). Investing in strengths. In A. K S. Cameron, B J. E Dutton & C. R. E Quinn (Eds), Positive Organizational Scholarship: Foundation of a New Discipline (pp, 111-121). San Fransisco: Berrett Koehler Publishers, Inc.

Penulis: Anisatun Nikmah
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Fadlillah Octa

Lab Belajar Ibu – Post Partum Depression
Kesehatan

Pentingnya Diagnosis Dini Postpartum Depression (PDD) pada Ibu Melahirkan

Hamil dan melahirkan merupakan kejadian fisiologis yang dialami oleh para ibu yang umumnya membahagiakan. Namun, proses kehamilan dan penambahan anggota baru keluarga ini merupakan peristiwa yang menuntut proses adaptasi yang besar sehingga berisiko mencetus berbagai jenis gangguan emosi, salah satunya adalah postpartum depression (PPD) (Aridyanti et al., 2018). PPD merupakan kondisi gangguan emosi yang biasanya muncul pada enam minggu pertama pascamelahirkan dan memerlukan penanganan medis (Stewart et al., 2003). Jika tidak diobati, PPD dapat menimbulkan efek jangka panjang yang membuat ibu mengalami depresi kronis berulang (Wuriastuti dan Rofingatul, 2020).

Selain membahayakan ibu, beberapa penelitian menunjukan bahwa PPD dapat menyebabkan gangguan tingkah laku pada anak di usia tiga tahun, adanya kerusakan kognitif pada anak usia empat tahun, dan penurunan kepuasan perkawinan selama periode postpartum yang dapat menyebabkan ketidakharmonisan dengan suami dan dampak negatif jangka panjang di antara keseluruhan anggota keluarga. Sayangnya, PPD masih dianggap sebagai hal yang wajar, sehingga seringkali terabaikan dan tidak ditangani dengan baik. Hal ini terjadi karena pihak penyedia layanan kesehatan biasanya menganggap masalah ibu pascamelahirkan sekadar aktivitas hormon atau postpartum blues yang bersifat sementara dan akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari setelah persalinan (Bellatrix, 2011).

Prevalensi kejadian PPD di Asia cukup tinggi dan bervariasi antara 26-85%. Sedangkan di Indonesia angka kejadian tersebut antara 50-70% dari wanita pascamelahirkan (Sari, 2020). Tahun 2017, penelitian di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta menunjukan bahwa persentase PPD pada ibu primapara adalah 70.59% dan ibu multipara adalah 58.82% (Kusuma, 2017). Dalam wawancaranya dengan BBC News, Elvine, dokter spesialis kejiwaan menyebutkan jika gangguan emosi ini berlangsung lebih dari dua minggu maka gangguan tersebut sudah masuk fase depresi. Fase depresi ini tidak akan hilang dengan sendirinya, justru akan menyebabkan perburukan apabila tidak ditangani dengan tepat.

Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia menjadi bukti bahwa PPD adalah kondisi nyata yang memerlukan penanganan serius. Nur Yanariah, pendiri komunitas MotherHope Indonesia menceritakan kisahnya pada BBC News tentang PPD yang sempat ia alami. Yana mengatakan bahwa dirinya pernah dengan sengaja pergi ke danau bersama bayinya pada malam hari dengan pikiran kosong dan perasaan ingin bunuh diri. Selain itu, Yana mengaku pernah menawarkan bayinya yang baru berusia sembilan bulan untuk diadopsi melalui Facebook karena merasa dirinya tidak bisa menjadi ibu yang baik bagi anaknya.

Selain Yana, kisah seorang perempuan di Bandung yang membunuh bayinya setelah merasa mendapat bisikan gaib, juga menjadi contoh lain kasus gangguan emosi pascamelahirkan. Elvine menyebutkan bahwa gangguan kesehatan mental pascamelahirkan merupakan kasus terselubung yang seringkali terlambat disadari dan ditangani. PPD yang tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala psikotik seperti mendengar suara-suara negatif yang mengancam nyawa ibu dan anak.

Meninjau berbagai efek negatif yang terjadi karena PPD, penting dilakukan diagnosis dini untuk mencegah terjadinya PPD maupun memanajemen ibu yang sudah terdiagnosis agar kondisinya tidak memburuk. Banyak instrumen yang dapat digunakan untuk skrining dalam penegakan diagnosis PPD, salah satunya adalah kuesioner EDPS (Sari, 2020). Selain melakukan screening, mengenal ciri-ciri awal PPD merupakan salah satu langkah pencegahan yang bisa dilakukan oleh ibu dan keluarga terdekat.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual Mental Disorders edisi keempat (DSM IV), ciri-ciri ibu yang mengalami PPD adalah mood yang tertekan, gangguan tidur dan nafsu makan, agitasi fisik, penurunan energi dan konsentrasi, serta adanya keinginan bunuh diri yang berlangsung sejak 4-6 minggu pascamelahirkan (Pradnyana, 2013). Jika ibu atau lingkungan di sekitar ibu menemukan ciri-ciri di atas, jangan ragu untuk meminta bantuan medis agar keselamatan ibu dan bayi tetap terjaga.

***

Referensi:

Aridyanti, D dan Siti Muthia Dinni. (2018). Aplikasi Model Rasch dalam Pengembangan Instrumen Deteksi Dini Postpartum Depression dalam Jurnal Psikologi Volume 45(2), 82 DOI: 10.22146/jpsi.29818.

Bellatrix, Nansa Cahyani. (2011). Dinamika Emosi pada Ibu yang Mengalami Depresi Pasca Persalinan. Surabaya: Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Pendahuluan, halaman: 8–10.

Kusuma, P. D. (2017). Karakteristik Penyebab Terjadinya Depresi Postpartum pada Primipara dan Multipara dalam Jurnal Keperawatan Notokusumo, 5(1), 36–45.

Lestar, Sri. (2018). Depresi Pasca Melahirkan Membuat Saya Ingin Bunuh Diri Bersama Anak. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43355369

Pradnyana, Esa et al. Diagnosis dan Tata Laksana Depresi Pospartum Pada Primapara. Bali: SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah. Saputra, Yulia. (2021). Kesehatan Mental: Depresi Perinatal, Pembunuh Senyap yang Mengintai Keselamatan Jiwa Ibu dan Anaknya. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56714093

Penulis: Novia Rahmawati
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Nur Fauziah