Tahukah Ibu dan Sisters hal yang bisa menjaga masa depan? Salah satu jawabannya adalah pelajaran hidup yang tersirat dalam berbagai peninggalan sejarah, seperti karya seni rupa, karya arsitektur, atau bahkan sebuah kalimat. Dari tiga bentuk peninggalan yang dikenal, peninggalan berupa nilai-nilai kehidupan dinilai lebih penting daripada peninggalan dalam bentuk fisik tubuh (gen, kesehatan dan bentuk tubuh) dan peninggalan dalam bentuk material (harta pusaka, harta benda, dan status) (Hunter and Rowles, 2005).
Menulis barangkali bisa diklaim sebagai salah satu jalan termudah mengabadikan peninggalan tersebut, bahkan jika hanya dalam bentuk sebuah kalimat, nilai-nilai yang tersemat bisa hidup melebihi umur pengarangnya. Coscarelli (2010) menyebutkan peninggalan berupa tulisan nilai-nilai kehidupan dapat menjadi hadiah yang bernilai untuk seseorang yang disayangi.
Peninggalan berupa petuah kehidupan biasanya melebur menjadi satu entitas dari identitas seseorang. Tak jarang apabila ada yang mengutip kalimat tertentu tanpa perlu menulis siapa pengarangnya, orang akan langsung tahu siapa oratornya. Misalnya pada kalimat Soekarno, “Berikan aku 1000 orang tua, maka akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, maka akan kuguncangkan dunia,” kalimat ini masih sering jadi jargon penyemangat yang dikutip dalam teks di hari sumpah pemuda.
Di kalangan milenial saat ini, ketenaran sebuah kalimat tak lagi bergantung pada siapa yang mulai membicarakannya. Contohnya seperti kalimat unik di belakang truk yang juga memiliki panggungnya sendiri. Kalimat tersebut kadang bisa disamakan dengan pepatah atau kata-kata mutiara (Sunu dalam Rizal, 2020). Sebuah makna yang terbungkus dalam satu kalimat sederhana yang akrab dengan kehidupan sehari-hari, “Hidup kami memang kurang tidur, tapi kami punya banyak mimpi.” Sebaris kalimat petuah kehidupan itu bisa dinikmati semua orang dan tak jarang membuat tersenyum saat membacanya.
Keabadian dari nilai sebuah kalimat juga tak melulu soal isi, tapi soal rasa yang mewakili banyak orang. Kalimat “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” dari penulis Marchella F.P. cukup menjadi bukti bahwa satu kalimat saja bisa menggerakkan orang untuk bersyukur dengan mengambil hikmah hari ini. Dari satu kalimat tersebut bahkan melahirkan berjuta karya lain, seperti konten cerita di media sosial, buku, bahkan film. Tentu saja kualitas sebuah kalimat tergantung dari penulisnya, tetapi penerimaan makna juga tergantung dari konteks situasi penerimanya.
Sebuah pepatah terkenal “air beriak tanda tak dalam” dan “air yang tenang tanda menghanyutkan” lahir dari kristalisasi nilai-nilai seorang anonim terkait penilaian terhadap perilaku sebagian orang, tetapi konteks dari nilai yang tersemat dalam kalimat tersebut tak akan relevan jika diterapkan pada profesi yang perlu banyak komunikasi seperti penulis, penyair, dan politikus. Tentu saja setiap tindakan memerlukan kompas moral sebagai dasar untuk menjaga nilainya tetap baik dan benar.
Mulai hari ini jangan ragu untuk menulis, ya, Ibu dan Sisters, terutama mengabadikan nilai kehidupan untuk kebaikan di masa depan. Mari penuhi dunia dengan nilai-nilai kebaikan di mana kalimat Ibu dan Sisters bisa mengambil peran.
***
Referensi:
Coscarelli, Anne. (2010). Written Legacies: A Valuable Gift for Those You Love. Diakses dari https://www.simmsmanncenter.ucla.edu/resources/articles-from-the-founding-director/written-legacies-a-valuable-gift-for-those-you-love/.
Hunter, Elizabeth G dan Rowles, Graham D. (2005). Leaving a Legacy: Toward a Typology. Journal of Aging Studies. 327–247. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/248345975_Leaving_a_Legacy_Toward_a_Typology.
Rizal Jawahir Gustav. (2020). Melihat Tulisan-Tulisan Menggelitik di Bak Truk dari Kacamata Budaya. Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/15/190500365/melihat-tulisan-tulisan-menggelitik-di-bak-truk-dari-kacamata-budaya-?page=all.
Penulis: Anisatun Nikmah
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Nur Fauziah