Category: Keluarga

coping with reverse culture
KeluargaResensi

Bergenggaman Tangan Melejitkan Potensi Bersama Saat Aku dan Dia Menjelma Menjadi Kita

Judul buku:  Awe-Inspiring Us: Sebuah Perjalanan Mengukir Cinta, Merenda Asa, Menggapai Pernikahan Mulia
Penulis: Dewi Nur Aisyah
Tebal buku: 370 halaman
Penerbit: Penerbit Ikon
Tahun terbit: 2020 (Cetakan ketiga)

“Setelah lulus kuliah lebih baik lanjut S2, menikah, atau bekerja, ya?”
“Lebih baik menikah via taaruf atau keluarga?”
“Bagaimana cara menentukan kriteria pasangan?”
“Jika setelah menikah aku ingin menggapai cita, apakah aku bisa?”

Sekelumit pertanyaan di atas terkadang membuat kita ragu untuk menjawabnya sehingga rasa khawatir akan masa depan yang tidak membahagiakan hadir dalam benak kita. Namun, hal tersebut dipecahkan oleh Dewi Nur Aisyah melalui bukunya “Awe-Inspiring Us: Sebuah Perjalanan Mengukir Cinta, Merenda Asa, Menggapai Pernikahan Mulia”. Ia menjabarkan bahwa status lajang, menikah, dan memiliki anak tidak akan menghentikan langkah kita dalam meraih cita-cita. 

Selama masa pandemi COVID-19 lalu, mungkin sebagian besar dari kita sudah akrab dengan sosok dirinya. Yup! Dewi Nur Aisyah, S.KM, M.Sc, PhD, DIC merupakan seorang epidemiologis sekaligus ibu tiga anak yang menjabat sebagai Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan COVID-19. Oh, ya, tahukah Ibu dan Sister? Ketika Dewi Nur Aisyah masuk gugus tugas demi panggilan negara pada Maret 2020, anak keduanya belum genap berusia 2 tahun, lho! Bahkan, ia hamil anak ketiga di tengah penugasan. Usai lima hari melahirkan, Dewi sudah melakukan presentasi dalam rapat koordinasi nasional mengingat gentingnya situasi kesehatan masyarakat saat itu.

That was soooo amazing! 

Selain berkiprah sebagai peneliti, ahli epidemiologi, dan pakar informatika penyakit menular dari Indonesia, Dewi juga seorang penulis yang telah menghasilkan tiga buku. Salah satu adalah buku yang akan kita bahas berikut ini. 

Buku “Awe-Inspiring Us: Sebuah Perjalanan Mengukir Cinta, Merenda Asa, Menggapai Pernikahan Mulia” terdiri atas lima bab yang saling berkesinambungan. Bab 1 berjudul “Masa Penantian” di mana Dewi memaparkannya  dalam enam subbab mengenai berbagai kiat, misalnya memaksimalkan masa lajang dengan tidak menjadi orang yang biasa-biasa saja. Ia juga memotret kegalauan dari seorang dewasa muda yang bimbang memilih antara melanjutkan hidup dengan bekerja, studi lanjut, atau menikah. Dalam ikhtiar menjemput takdir Tuhan sembari memetakan kriteria pasangan ideal, ternyata menunggu tak selamanya membosankan kok.

Selanjutnya dengan tajuk “Jodohmu Adalah Dia”, pada Bab 2 menceritakan mengenai berbagai dinamika kehidupan yang ternyata masih terus berjalan meskipun hilal jodoh sudah mulai tampak. Paparan itu diceritakannya dalam sub bab taaruf, drama beda suku, penyampaian rencana kepada orang tua, membangun visi dan misi kehidupan setelah bersama, hingga hal unik seperti menyematkan prinsip supermarket kepada calon pasangan, yakni dengan tidak menggantungkan ekspektasi terlalu tinggi kepada pasangan.

Pada Bab 3, Dewi lebih mengedepankan bagaimana perjalanan kehidupan selama berumah tangga. Di sini, Dewi memberikan judul “Membangun Rumah Tangga, Sebuah Jalan Menuju Surga” pada babnya. Isi pada bab ini menggambarkan bahwa menikah tidak sesederhana dunia milik berdua. Akan selalu ada konflik yang menyertai. Sebagai pasangan, baik suami maupun istri, harus memahami aturan dalam berkonflik dengan menggunakan gas dan rem. Tak hanya itu, Dewi juga membahas perihal cemburu, mengejar cita-cita, hingga memberi ruang antara satu sama lain.

Kehadiran anak dan segala bumbu mengenai pengasuhan dibahas oleh Dewi pada Bab 4 dalam tajuk “Another Miracles”. Dewi mengisahkan bagaimana ia berjuang hamil dalam keadaan hipertiroid, melahirkan dan membesarkan anak di negeri orang tanpa pengasuh, hingga bagaimana ia memaknai kehadiran sang anak sebagai hadiah sekaligus sumber amal. Dewi berpendapat, menikah dan memiliki anak menjadi sumber kekuatan potensi yang sebelumnya tak terbayangkan. Kuncinya hanya ada dalam satu frasa, yaitu kerja sama. Oleh karena itu,  Dewi menekankan pentingnya peran ayah dalam pengasuhan sehingga ia juga membagikan beberapa catatan bagi calon ayah serta tip merawat bayi yang baru lahir.

Bab 5 yang berjudul “PhD Mom and Dad: Sebuah Catatan Perjalanan” menjadi ejawantah dari karir Dewi selama ini. Ia menebas segala keraguan tentang menjalani pendidikan level tertinggi sambil berumah tangga. Menjadi student parent berarti juga melatih manajemen waktu, mengejar kebermanfaatan, menyelaraskan cita, dan tentu saja menjadi promotor kebaikan. Semua itu berakar dari niat dan perencanaan. Bagi Dewi yang juga sebagai honorary senior research associate di Institute of Epidemiology and Health Care, University College London ini, pernikahan tidak sekadar membangun satu menara, tetapi juga mengangkasa bersama.

Kesan saya setelah membaca buku ini rasanya ingin bersyukur tentang bagaimana Tuhan memelihara kita melalui rencana terbaik-Nya. Buku ini juga menjadi pelecut semangat ketika rasa lelah atau malas mendera. Sebagai student mom, saya sangat merasa terhubung dengan tulisan yang dipaparkan Dewi dan seolah diingatkan bahwa family study balance itu merupakan suatu keniscayaan selama hal itu terus diupayakan bersama pasangan. 

Menurut saya, buku ini dari sisi konten sudah mantap betul. Namun, saya agak menyayangkan beberapa hal minor yang cukup mengganggu dari sisi visual. Hal tersebut adalah penggunaan font berwarna hijau di atas kertas berlatar hitam pada bagian daftar isi. Kemudian, komposisi potret Dewi bersama suami dan sang anak yang menggunakan lahan hingga setengah bagian kover sehingga agak mengaburkan fokus sub judul dan gambar ilustrasi di belakangnya. 

Namun di luar hal tersebut, buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh siapa saja. Beneran, deh! Terutama untuk kamu yang masih kuliah atau sudah lulus dan berstatus lajang karena kamu akan memperoleh gambaran kehidupan pernikahan dengan kehadiran anak di dalamnya. Pun bagi yang sudah menikah dan memiliki anak, buku ini menjadi semacam motivasi dan pengingat diri bahwa nikmat Tuhan tuh ternyata ada di mana-mana, lho. Ingat, ya, Ibu dan Sister, tidak ada yang tidak mungkin dalam mengejar cita-cita, terlepas dari status apa yang kita sandang saat ini.


“…. karena hakikatnya pernikahan bukanlah saat kita mencari pasangan yang sempurna, melainkan saat mencari teman hingga ke surga.”

– Dewi Nur Aisyah

***

Penulis: Hanifa Paramitha Siswanti
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Dwi Martina Dewi

coping with reverse culture
HobiKeluarga

Menggali Kreativitas Melalui Hobi

Nyeni” dan artistik. Apa yang terlintas dalam benak Ibu dan Sister ketika mendengar dua kata tersebut? Bagi sebagian orang, istilah nyeni dan artistik cenderung ditujukan pada seseorang atau kelompok yang menggeluti bidang seni saja. “Nyeni” dan artistik juga seringkali dihubungkan dengan kreativitas. Kreativitas berasal dari kata sifat kreatif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kreatif bermakna memiliki daya cipta atau memiliki kemampuan untuk menciptakan. Kreatif juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru, baik itu solusi baru untuk sebuah masalah, metode atau perangkat baru, atau sebuah objek dan bentuk baru (Barbara, 1998). Berkaca pada definisi tersebut, tentu bukan hal yang mustahil bagi setiap orang untuk memiliki kreativitas, kan? Nah, bagaimana cara untuk menggali  kreativitas dalam diri kita?

Salah satu cara untuk menggali kreativitas dalam diri Ibu dan Sister adalah dengan melakukan hobi kreatif. Hmmmm, apa yang dimaksud hobi kreatif? Apakah hobi kreatif berbeda dengan hobi lainnya? Simak, yuk, penjelasan berikut.

Hobi kreatif (creative hobbies) dapat didefinisikan sebagai hobi atau kegemaran yang di dalamnya dapat menghasilkan sesuatu sebagai hasil dari buah pikiran. Hobi kreatif lebih menekankan pada adanya keahlian yang diasah, ilmu yang dipelajari, atau karya yang dibuat. Meskipun terlihat serius, namun kegiatan tersebut dilakukan secara menyenangkan dan tanpa tekanan. Hobi kreatif banyak macamnya. Contoh hobi kreatif yang dapat Ibu dan Sister lakukan adalah melukis, scrapbooking, dan lettering art.

Berbicara soal kreativitas, Dr. Kevin Eschleman, seorang profesor bidang psikologi di San Francisco State University pernah melakukan riset mengenai pengaruh kegiatan kreatif terhadap lebih dari 400 pekerja. Riset dilakukan dalam dua kelompok partisipan.  Satu kelompok dinilai oleh diri sendiri dan satu kelompok dinilai oleh rekan kerja. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pekerja yang melakukan hobi kreatif cenderung lebih mudah bekerja sama dan kreatif dalam kinerjanya. Selain itu, kegiatan kreatif juga memberikan dampak positif terhadap proses pemulihan psikologis pekerja (Eschleman, 2014).

Nah, bagaimana cara memilih hobi kreatif yang tepat untuk Ibu dan Sister?

Ibu dan Sister dapat memulai hobi kreatif dengan menggali sesuatu yang menjadi interest Ibu dan Sister, misalnya buku. Jika Ibu dan Sister sangat menyukai buku, Ibu dan Sister bisa mengembangkan hobi kreatif Ibu dan Sister sebagai bookstagram dan bookfluencer. Selain mengembangkan kreativitas Ibu dan Sister di bidang perbukuan, bookstagram dan bookfluencer juga dapat membantu meningkatkan ketertarikan masyarakat pada dunia literasi. Hobi kreatif dapat ditekuni dari berbagai bidang keahlian sekali pun bukan dari bidang keahlian Ibu dan Sister. Jika ada suatu bidang yang sedang atau ingin dipelajari, maka Ibu dan Sister bisa mengembangkan hobi kreatif dalam bidang tersebut. Tentu saja kunci utamanya adalah keinginan belajar yang tinggi pada diri Ibu dan Sister. Contoh sederhana yang dapat Ibu dan Sister lakukan adalah  memasak, menulis, menggambar/melukis, dan fotografi atau videografi. Ibu dan Sister bisa mempelajari berbagai macam teknik dalam kegiatan-kegiatan tersebut serta mencetuskan ide-ide baru yang membuat berbagai bidang keahlian dalam hobi kreatif tersebut makin menarik. Jika Ibu dan Sister memiliki beberapa interest dan keahlian, Ibu dan Sister bisa menggabungkannya dalam satu kegiatan. Sebagai contoh, Ibu dan Sister bisa menggabungkan kegiatan memasak dengan fotografi atau videografi serta botanical illustration dengan menulis blog.    

Oh, ya, hobi kreatif memiliki banyak manfaat, loh, Ibu dan Sister. Apa saja, ya, manfaat hobi kreatif itu? Beberapa manfaat hobi kreatif sebagai berikut. 

1. Menghilangkan stres.

Melakukan hobi kreatif memberikan waktu jeda dari rutinitas dan tekanan pekerjaan. Ketika melakukan hobi kreatif, ada proses penyaluran energi, emosi, dan pikiran yang kemudian dituangkan ke dalam karya. Hal tersebut dapat memunculkan perasaan rileks dan menurunkan stres.

2. Membuat diri kita merasa “utuh”.

Dalam melakukan hobi kreatif, Ibu dan Sister memilih kegiatan yang disukai. Ibu dan Sister tidak dituntut untuk menghasilkan karya yang sempurna, tetapi Ibu dan Sister bisa lebih mengenali diri, mengetahui hal yang diinginkan, dan menjadi diri sendiri dalam prosesnya. Hal-hal tersebut dapat memunculkan perasaan “utuh”. 

3. Memunculkan rasa kepuasan atas pencapaian dalam diri.

Ketika Ibu dan Sister melakukan pencapaian-pencapaian, baik besar maupun kecil, tentu muncul rasa kepuasan dalam diri sendiri yang didapat. Sebagai contoh, ada karya yang dibuat atau pengetahuan baru yang diperoleh.

4. Meningkatkan performa kita ketika bekerja.

Orang yang melakukan hobi kreatif cenderung lebih mudah dalam bekerja sama dan mampu berpikir kreatif dalam kinerjanya. Hobi kreatif juga dapat membantu proses pemulihan psikologis seseorang serta memiliki korelasi positif dengan kesehatan mental. Oleh karena itu, hal tersebut dapat meningkatkan performa Ibu dan Sister dalam pekerjaan.

Setelah mengetahui ulasan tentang hobi kreatif, Ibu dan Sister tentu ingin mengetahui cara mengembangkan hobi kreatif, kan? Bagaimana, ya, cara untuk mengembangkan hobi kreatif? Ide kegiatan dan tutorial untuk mengasah kemampuan dalam mengembangkan hobi kreatif saat ini bisa Ibu dan Sister akses dengan mudah dari banyak sumber. Ibu dan Sister dapat melakukan studi pustaka atau melakukan penelusuran melalui internet. Ibu dan Sister juga bisa memulai hobi kreatif tersebut dari satu kegiatan yang sederhana dan dilakukan secara konsisten.

Jika dalam pelaksanaannya Ibu dan Sister merasa jenuh, jedalah sejenak dan lakukanlah kegiatan dalam hobi kreatif tersebut secara “mengalir”. Ibu dan Sister juga bisa mengisi jeda tersebut dengan kegiatan lain yang bermanfaat. Sebuah tip dari buku Steal Like an Artist karya Austin Kleon: Practice Productive Procrastination! Menuturkan bahwa “Segala hal kecil yang kita lakukan dan kita anggap hanya main-main atau menjadi sebuah karya yang tidak penting sesungguhnya bukanlah hal yang akan sia-sia. Di sanalah keajaiban bisa terjadi. Dalam hal kegiatan kreatif, keterbatasan berarti kebebasan. Melalui keterbatasanlah Ibu dan Sister dituntut untuk berpikir kreatif. Jadi, Ibu dan Sister bisa mulai melakukan hobi kreatif saat ini dengan berbagai keadaan Ibu dan Sister.

Selamat melakukan hobi kreatif, Ibu dan Sister! 

***

Referensi:

Cowan, Cierra. (2022). 69 Creative Hobbies for a Better You in 2023. Diakses dari https://www.classpop.com/magazine/creative-hobbies tanggal 28 Februari 2023.

Eschleman, K.J., Madsen, J., Alarcon, G. and Barelka, A. (2014). Benefiting from Creative Activity: The Positive Relationships between Creative Activity, Recovery Experiences, and Performance-Related Outcomes. J Occup Organ Psychol. 87: 579–598. https://doi.org/10.1111/joop.12064

Kerr, Barbara. (2023) Creativity. Encyclopedia Britannica. Diakses dari https://www.britannica.com/topic/creativity tanggal 6 Februari 2023.

Kleon, Austin. (2012). Steal Like an Artist. 10 Things Nobody Told You About Being Creative. New York: Workman Publishing Company, Inc.

Lee, Kevan. (2014). The Science of Side Projects: How Creative Hobbies Improve Our Performance at Everything. Diakses dari https://buffer.com/resources/side-projects-creative-hobbies tanggal 6 Februari 2023.


Penulis: Syifa Rahmasari
Desainer/Illustrator: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Dwi Martina Dewi

7 cara menjadi tempat curhat anak
KeluargaUncategorized

7 Cara Menjadi Tempat Curhat Anak

“Pagi ini kaget banget dengar cerita dari mamanya teman anakku kalau anakku katanya lagi suka sama teman sekelasnya. Duh, yang jadi pikiran bukan karena anakku yang sedang kasmaran. tetapi kenapa anakku tidak cerita dan malah dapat curhatan dari mama temannya” 

Kira-kira beginilah versi galaunya ibu-ibu yang tidak mendapatkan kesempatan mendengarkan curhat anak secara langsung tapi malah dapat dari cerita orang lain. Semacam ada rasa sedih mengapa bukan kita yang menjadi tempat anak untuk bercerita apa saja termasuk hal-hal kritis seperti ini. Kalau sudah begini jangan ragu untuk evaluasi hubungan kita dengan anak, ya. Setuju, nggak, Bu?

Skenario peristiwa diatas saat ini mungkin banyak terjadi. Salah satu penyebabnya adalah Kemajuan teknologi. Era digital akan memberikan tantangan tersendiri untuk kita para orang tua milenial. Terutama soal pengasuhan anak yang terkadang jadi serba tidak fokus disebabkan oleh gangguan yang datang akibat aktivitas di dunia maya yang dilakukan oleh orang tua secara tidak sadar atau juga oleh anak-anak yang over-focus pada gawainya sehingga less attention dengan lingkungan sekitar akibat pengawasan yang lemah dalam penggunaan gawai oleh orang tua. Hal ini tentu berdampak besar, salah satunya pada kualitas hubungan antara orang tua dan anak yang bisa saja memiliki penurunan komunikasi bahkan sampai hilangnya rasa perhatian antara orang tua dan anak secara tidak sadar. Menurut Bainar (2020) ada beberapa faktor anak memilih curhat dengan orang lain atau di media sosial, (1) karena orang tua pernah abai dan cuek dengan cerita yang pernah disampaikan, (2)  lalu orang tua selalu mendominasi pembicaraan bukan lebih banyak mendengar, dan (3) orang tua tidak mampu membangun komunikasi intensif di sela kesibukannya.

Apabila kondisi ini dibiarkan secara terus menerus maka tidak mengherankan jika anak akan memilih memiliki dunianya sendiri di dalam gawai, seperti lebih memilih curhat lewat media sosial, atau berhubungan dengan orang asing melalui game community-nya hingga pada akhirnya tidak pernah bercerita apapun lagi kepada orang tua. Wah, kalau sudah begini tentu akan sangat repot jika kita tidak lagi menjadi tempat pertama yang anak cari untuk bercerita keluh kesahnya. Selain kita kehilangan golden memory untuk sharing each other, tentu kita akan sulit mengawasi apakah anak berada pada pergaulan, ideologi, atau pemahaman yang tepat sesuai dengan bunda dan ayah harapkan kalau bukan dari ngobrol bareng mendengarkan cerita anak.

Pada dasarnya, orang tua tentu menginginkan kelekatan yang harmonis dengan anak, namun fakta dilapangan sering sekali kita melupakan hal-hal penting pada soal gaya komunikasi yang tepat atau bagaimana cara memberikan perhatian yang disukai oleh anak, sebab ternyata akan berpengaruh pada preferensi anak untuk memilih tempat bercerita (Pandu dkk. 2014). Oleh sebab itu nih, Ibu dan Sister, ada tips untuk kita para orang tua agar dapat menjadi pilihan pertama tempat anak bercerita sejak kecil (Sihabudin, 2015) :

1. Menciptakan hubungan baik

Orang tua berwajah manis kepada anak, sering menanyakan hal-hal remeh yang merupakan tanda bahwa orang tuanya sangat perhatian walau terhadap hal-hal kecil, dan ketika anak datang kepada kita, kita harus membangun suasana nyaman dan terbuka siap mendengar, seperti contoh Wah, gimana hari ini? Apakah ada yang bisa Ibu bantu?”

2. Mendengarkan dengan sepenuh hati

Saat anak sudah datang dan berani bercerita, maka jangan pernah sekali-kali kita membagi waktu berceritanya dengan hal apapun. Bermain gawai, mengurus pekerjaan dsb. Respon paling tepat adalah segera letakkan gawai, dan tatap wajah anak dengan seksama.

3. Bukan asal potong

Nah, sering banget ya, Bu, kita para orang tua memotong cerita anak dan memberikan tanggapan, padahal mungkin masih banyak cerita yang ingin anak sampaikan. Jadi, mulai sekarang biarkan anak bercerita sampai pada akhirnya dia bertanya tentang tanggapan kita.

4. Berempati dengan ceritanya

Ayo buk belajar masuk kedalam perasaan anak kita saat mereka bercerita. Sehingga tanggapan kita bisa sesuai dengan sudut pandangnya, dan kita tidak melukai perasaannya, bisa dibilang kita harus mampu memvalidasi perasaan anak saat bercerita apakah dia sedih, senang, takut atau kecewa.

5. Menjadi pendengar yang baik

Soal ini kita harus banyak berlatih dengan anak, kita harus mulai belajar bisa membaca kehendak anak, apakah anak hanya ingin mendengar atau anak mencari solusi dari sisi kita. Jangan sampai ternyata anak hanya ingin cerita, tetapi kita malah memberi tanggapan berupa nasihat sepanjang kereta api. Hehehe…

6. Jangan jadi guru, tapi teman

Kita tidak perlu merasa lebih tahu untuk hal-hal tertentu dibandingkan anak. Anggaplah kita sedang berdiskusi dan sama sama tidak tahu persoalan ini.

7. Bisa menjaga rahasia

Nah ini lho, Bu, seringkali kita tidak tahan untuk cerita ke orang lain soal cerita anak kita. Padahal kita sudah jadi tempat kepercayaan anak lho, Bu. Jadi, jangan sampai anak malah tidak mau cerita ke kita lagi, ya.

***

Referensi:

Bainar. (2020). Urgensi Mendengarkan Pendapat Anak Dalam Pendidikan Islam Bagi Orang Tua Muslim Perpektif Al-Quran Di Era Digital. Al-Mutharahah: Jurnal Penelitian Dan Kajian Sosial Keagamaan. Vol. 17 No. 2. Juli-Desember 2020. P-Issn 2088-0871. Doi: 10.46781/Al-Mutharahah.V17i2.143

Pandu Me. Abbas Rr. Mengge B. (2014). Orang Tua Ideal Masa Kini (Studi Keharmonisan Orang Tua-Anak Pada Empat Etnik Di Makassar). J.Socius Volume Xv, Januari – April 2014.

Sihabudin M. (2015). Peranan Orang Tua Dalam Bimbingan Konseling Siswa. Jurnal Kependidikan, Vol. Iii No. 2 

Penulis: Anisha Ayuning Tryas
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa

healing with journaling
Keluarga

Coping with reverse culture shock as a PhD mama: An Interview with Dr. Abeer Bar

Introduction

Hi, I am Dr. Abeer Bar from KSA. I spent about 7 years in the US to complete my PhD at Indiana University Bloomington. My academic journey was exciting and had a profound effect on my life. It was unique and unexpected in many ways, for example I did not go through a normal culture shock experience. Although I lived in the US as a child, to my surprise, I experienced reverse culture shock when I came back as an adult. I then experienced reverse culture shock again after I graduated and returned to my home country Saudi Arabia. During my adjustment process I found supportive tools and met wonderful kind people that eventually indirectly shaped a new resilient identity.

The first step in my PhD journey

I packed my suitcases with toys, pots, and clothes in my preparation to start an exciting PhD journey along with my son and daughter. They were in grades 1 and kindergarten, respectively. My husband had a very good job in KSA, so it was impossible to leave. Hence, we decided to choose a long-distance marriage with a plan that my husband visited us every two months or so. Our decision was based on the fact that I was confident of my ability to handle being on my own. After all, I was independent, strong, highly motivated and I lived in the US before. I believed I could finish my PhD in a short period of time and be back in a couple of years. In short, it wouldn’t be a problem for me or my family “I can do it, why couldn’t I?”. 

Challenges and difficulties (culture shock)

However, soon after settling and my husband returning home, I began to feel a little less confident. Living in a western country is very different. In comparison to life back home, I struggled with constantly being on my own. Before I came to the US, I relied so much on my support system, be it from my husband, family, friends, or nannies and helpers at home. Things were different for me in the US. I would shop for groceries, do the laundry, cook, throw out garbage, pay bills, and take care of my kids schooling all by myself. No one else was there. I was used to having everything ready and set and clean. I was frustrated because I wanted to make sure everything was done in the same way I was used to, and it was too overwhelming. On top of that, I had to be always ready as a student too, after all it was the reason we were all there. It was all a huge responsibility, and at one point I was scared and felt like giving up.

Most of my classmates were locals, and the majority were single. Can you imagine being the only mother in the class? At the beginning, I couldn’t connect with any of my cohort. I could not participate in the after-class group discussion as I had to hurry back home to my children. Since I was not part of the cohort’s social group, I was missing out on study sessions and sharing of class notes. I was afraid to fall behind in class and there were even a couple of times when I wanted to quit my program, but my supervisor was supportive and encouraged me to finish what I started. His understanding of my overwhelmedness was a huge relief for me, he had experience with international culture and went through a study abroad experience himself. Academically and socially, I felt left out. I realized my initial life and study abroad plan needed revision. I needed a survival plan and to take action.

Overcoming the hurdles

That all happened in the beginning, and I realized that this must just be part of the transition period.  I then started to try to find other Muslims, connect with other mothers, and start reaching out to myself, which was something new to me. Although I communicated via email with an online mom group, I didn’t reach out to them after I moved to the US. They gave me great advice on schools and family residences, however, I didn’t connect with them after the move because they were not graduate students and thought we wouldn’t connect. I wish I had, it might have helped with the transition. Fortunately, within 7 years in the US, I was blessed to make friends with a few graduate student moms and they have been great friends ever since. I increased my social circle by joining the international student community, which helped me overcome difficulties on campus. The most important lesson I learned was how much communities meant to us and how valuable it was that they were available as a support system.

After that first tough year, my husband and I started to realize that our family relationships could deteriorate when our family was not together. Our kids came first and the experience showed us that they needed both their mom and dad in the same place all the time. My husband generously chose to leave his job and unite with us. I felt our family change, we appreciated each other more, and our family values took precedence much more than before. This was a big step for us, and I learned that the foundation of our support system is my own family.

Another realization, which came after connecting with other graduate student moms, was that I had to be more lenient with myself in terms of housework and chores and allow the help of my husband and people around me, even though it’s not like I was used too. Good enough is good enough (I have that as a magnet on my fridge). Since then, some of my burdens were relieved, and I felt I could start anew from home and continue my journey with less stress.

I finally started to feel more confident that I could finish my PhD!

Preparing to go home

I was familiar with the reverse culture shock associated with returning home to Saudi because I had experienced it before when I was young. I also had theoretical knowledge of the existing literature because it was also part of my doctoral research interest. My background knowledge helped my expectations but the reality is that no matter how much you prepare, going back home to your country will always have its challenges.

I started to prepare my children a year before we intended to move back. I told them that the experience was not going to be like summer vacation, all fun and gatherings and outings. I made sure that there would be more social obligations than before and that the way they dress, walk, talk, and more will be seen as different and that they should think carefully about their values and their surroundings before they made a decision. I prepared them for the worst scenarios and I believe their transition was a healthy one because of it. It took a few weeks but they made new friends, were happy in their school, enjoyed after school activities and looked forward to family gatherings. I was very happy with their adjustment process. My experience was a bit different and I felt I should have prepared myself better. It took me a longer time to adjust.

Reverse Culture Shock: The hardest part of going back home.

Changes in the workplace

I came back after many years to find that naturally the people that I networked with before were not in the same positions. I maintained connection with past colleagues while I was abroad and that served me well as I was hired a few months after graduation. However, the network I used to support my work was outdated and I needed to make an effort and engage socially to create a new one. That meant joining new business groups, reintroducing myself in my field and more time socializing and networking. I came back to an environment where men and women were working together, which was something that I wasn’t used to as I have previously always worked in an all female work environment. I had to wear my abaya and headcover all the time (which honestly wasn’t bad as it saved me from the hassles of choosing outfits every morning). With a new workplace comes the usual adjustment of understanding the institution’s goals, values and mission. The dynamics were different and the administration had a more diverse approach than what I was used to. One struggle of returning to work after a study abroad experience was adjusting to a fixed schedule. Before, as a student, I was mostly at home writing my thesis or attending classes no more than three times a week. Working, on the other hand, meant an 8 to 4 shift and then with my new job I also had weekends when I had to work.

Changes in society and the community

I left mid 2011 and came back early 2018, and since then, there has been an incredible amount of positive transformation in my country. Women are allowed to drive, transformation of education and training in an effort to develop excellent human resources, women in leadership positions, global and economical advances, the changes are so big and so small that even the color of our abayas changed! As a Saudi and a Saudi woman specifically these changes make me feel proud and blessed and witnessing them all at once was overwhelming.I had to make sure I was up to date and adjust to these positive changes. Literature on reverse culture experience highlights the process of the Sojourner’s adjustment to the changed community and adjustment of the community to the changed Sojourner. This means that not only has the community changed physically, socially and/or economically, but the experiences the student faced abroad has changed them too. I mentioned some of the changes I went through earlier. My new developed self had to find its place in society again. It was exciting and scary and felt similar to the panic I had when I moved to the US. I wanted to be a confident and strong member of my present/past home society, I wanted to have an effective role in supporting my country’s development plan “Vision 2030”. I came back for that exact reason and (like before) I needed a plan to support and help me succeed. I got the job, now I need to adjust and be at peace with myself in my present/past home. This time I was prepared, I knew it was going to take effort, I knew it was going to take time but this time my family was present and ready to support me. It did take time for me to change my habits and choose and adopt new ones. It was not easy but I was motivated by the knowledge that my stability was important to my children (even if it meant pretending some days). I was their guide to our present/past home.

How to overcome reverse culture shock

I was fortunate to meet moms who went through my experience before me. I met them through my kids after school activities, their kids also went through the transition and the parents found activities to have a positive effect on their transition. Their advice to me started off with a reminder to take my time and that adapting and transitioning will take at least 3 years. For me, it has been 4 years, and I have days where I feel great and other days where I feel like I’m still going through the process. They also mentioned attending various classes and workshops which will help with socializing and learning from the community. I took classes ranging from dancing, stitching to leadership and digitalization. I definitely feel like I am happier the more involved I am with the community. 

For my children, I let them experience reverse culture shock in a way where they feel they are part of society and still maintain who they are. I allow them to practice the same activities that gave them comfort when they were in the US, like going out and playing outside. I initially felt apprehensive that some of their activities like biking to school might not be typical and strange to some, but I have to say that they are fortunate that the changes that happened in the country have been encouraging and supportive of their activities. They even developed a biking community!   

One of the things that I believe helped my children’s transition is that I didn’t change my children’s education system. They continued to study under an American educational system. The main reason behind the decision was that they were both in high school, and I felt changing the system would affect their academic success and therefore affect their university applications. I also wanted them to be part of an international community where they can connect with other students who also developed their character by living in different cultures (and hopefully) still maintain their own values and personalities (they have made amazing friendships Alhamdulillah). 

Additionally, we do keep in mind the importance of building a strong religious and familial foundation at home. We made sure that our home was the center. We don’t have help at home and everybody is involved in keeping the house running. 

Eventually, I felt at peace and relieved that at my return I did not come back the same person as I was before I left.  I changed because I experienced living abroad. It’s not only the society that has changed; it’s me that has changed and I had to find a new way to adjust, adapt, and acculturate.  I accept and am proud that my path was not linear, I will always be unique and I will find my place in society as I am because my society needs my unique and creative outlook. 

This time around, I felt that I dealt with it better than the first time I came back.

My main source of motivation

From the start, I knew that I wanted to come back home and create student leadership programs. The whole idea of getting a PhD was to make sure that I actually design quality programs built on experience and theoretical knowledge. I wanted to craft students’ journeys and ensure they have the tools that lead to their success.  I wanted to have a decision-making position and constantly determining the skills and experiences that benefit the students in their ever-changing environment

For me, it’s always been about the students. Supporting and guiding them towards achieving their goals while ensuring they have the tools to succeed. I use the skills I learnt during my studies to give them a learning environment that teaches them how to be the best version of themselves without compromising their values and become leaders true to themselves and powerful servants to their country. For my studies to give me that opportunity is a blessing that truly makes me happy. I strongly believe that all this knowledge, education and experience is a gift and an amanah, and since Allah SWT gave me these blessings, I have a duty to make sure that they are used in the right way.

Messages for other mothers out there who wish to continue their education or career

I believe you will not only light up your own path but also your children’s. Whether you work or study, you are gaining knowledge and experiences everyday and, therefore, supporting yourself to become a better person and, eventually, a better mother as you support your children to become better people in the community. By going out and experiencing the outside world you understand more about the things that are happening around you, and therefore, you can prepare your children better for the world they live in. It is important to acknowledge that whether you are a stay-at-home mom or you work or study, it is a choice, and there is beauty and generous giving in each one of those roles. My choice to study abroad has been the best one I made. I am forever grateful to Allah for his guidance and support to be where I am today. My study abroad experience was an exciting journey that involved leaving the comfort of my home, studying until dawn, gaining new knowledge and experiences, meeting new people, learning about my strengths, my weaknesses, and becoming aware of the things that are most important to me. I learned that my family is very important, and appreciating them more came through this experience. The possibility of growing and adopting an exciting new and different identity through learning opened new doors not only for myself but also for my children. Simply put, because of the journey  I’ve been through, it’s made me a better mother. I am a better person for my children, my husband, and myself.

***

Author: Tami Astie Ulhiza & Tera Wednes Oktireva Harsa

menyerahkan pendidikan anak
Keluarga

Kolaborasi Peran Guru dan Orang Tua dalam Pendidikan Anak

Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa mendidik anak itu adalah dengan memasukkan anak mereka ke sekolah. Terlebih di era modern dan canggih seperti sekarang, para orang tua seakan berlomba-lomba mencari sekolah terbaik dan favorit untuk anak-anaknya agar mendapatkan pendidikan yang terbaik pula. Memang tidak salah, namun jika kita renungi lagi, fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab pendidikan anak. Ketika anak memasuki masa sekolah, lantas bagaimana peran orangtua dalam pendidikannya? Apakah tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya diserahkan ke sekolah?

Belum lepas dari situasi pandemi COVID-19 di mana kebijakan pendidikan dalam bentuk pembelajaran secara daring, yang mengubah seluruh paradigma dan kebiasaan dalam pembelajaran yang selama ini dipahami oleh anak dan para orang tua. Selama pembelajaran daring, orang tua merasa mendadak menjadi “guru” bagi anak-anaknya, merasa kewalahan, bahkan anak pun merasakan dampak buruk.

Hal ini seperti laporan penelitian oleh yayasan kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (2020) mengemukakan data bahwa selama pembelajaran daring dari rumah sebanyak 61,5% anak-anak merasa mengalami kekerasan verbal dan 11,3% anak-anak merasa mengalami kekerasan fisik. Sebaliknya, sebanyak 64% orang tua merasa sudah melakukan praktik pengasuhan positif tanpa kekerasan. Hasil ini tentu sebagiannya mendapat pengaruh situasi pandemi COVID-19 yang cukup menantang dan menekan secara psikologis bagi orang tua maupun anak. 

Namun terlepas dari itu, faktanya kebanyakan orang tua belum memahami peran sebagai orang tua dalam pendidikan anak ketika anak memasuki masa sekolah. Sebagian besar orang tua menyerahkan peran pendidikan anak kepada sekolah, anak tidak mendapatkan bimbingan dan dukungan yang cukup baik di rumah. Wajar jika anak-anak mengalami demotivasi atau kehilangan semangat dan minat mereka dalam belajar.

Menurut Ki Hajar Dewantara dalam banyak literatur disebutkan bahwa peran orang tua dalam pendidikan anak yaitu ada tiga:

1. Orang tua sebagai penuntun; orang tua adalah pendidik yang senantiasa berusaha sebaik mungkin untuk kemajuan anak-anaknya. 

2. Orang tua sebagai pengajar; orang tua dapat bertindak sebagai pengajar bila memiliki pengetahuan.

3. Orang tua sebagai teladan (role model); orang tua sebagai pemimpin pekerjaan atau pemberi contoh teladan, pembentukan karakter baik secara individu dan sosial.

Di sisi lain peran sekolah merupakan tempat mengajar, mendidik, dan melatih peserta didik agar memiliki kompetensi yang telah ditentukan. Dari sini, terlihat jelas perbedaan antara peran orang tua dan sekolah dalam pendidikan anak di mana kedua peran ini berbeda namun sangat beririsan. Maka, terjawab sudah bahwa pendidikan anak yang utama adalah ada pada orang tua. Sekolah sebagai salah satu wadah atau institusi yang membantu dan mendukung para orang tua dalam mendidik anak.

Orang tua tidak dapat lepas tangan begitu saja, saat memasukkan anak ke sekolah karena pendidikan di rumah dari orang tua akan menjadi peran sentral bagi perkembangan anak baik secara individu, sosial, maupun akademik. Agar pendidikan anak mencapai optimal sesuai perkembangannya, harus adanya sinergi antara peran orang tua dan sekolah.

Dalam ilmu psikologi pendidikan disebut dengan istilah family-school partnership, yaitu hubungan kolaborasi dan aktivitas siswa di sekolah yang melibatkan staf sekolah, orang tua, dan anggota keluarga lainnya. Kolaborasi atau kemitraan yang efektif didasarkan pada rasa saling percaya dan saling menghormati, dan tanggung jawab bersama untuk pendidikan anak-anak di sekolah.

Kunci dari kolaborasi antara peran orang tua dan guru (peran sekolah) yaitu 3R: respect, responsibility, dan relationship. Respect (rasa hormat), di mana sekolah memberikan akses layanan, dukungan, sumber daya, dan pertemuan di waktu dan tempat yang berfungsi untuk mempertemukan orang tua dan sekolah. Responsibility (tanggung jawab), dengan “terciptanya sekolah yang ramah bagi orang tua dan rumah yang ramah bagi sekolah” (Joyce Epsteen, John Hopkins University Amerika). Kunci yang terakhir relationship (hubungan) adalah hubungan yang bermakna antara sekolah dan orang tua atau hubungan yang membangun kepercayaan yang mendukung kemitraan berkualitas. Kunci kolaborasi ini tentu harus dapat dipahami dan dilaksanakan oleh keduanya, baik sekolah maupun orang tua agar perkembangan anak mencapai hasil optimal di setiap fasenya.

***

Referensi

American Federation of Teachers. (2007). Building Parent-Teacher Relationships. [Online]. Diakses dari  https://www.readingrockets.org/article/building-parent-teacher-relationships

Departement of Education, Employment and Workplace Relations. (2017). Family – School Partnerships Framework. Australia Government

Jantika, Y. (2018). Tiga R untuk Kemitraan Sekolah dengan Orangtua. [Online] Diakses dari https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/view&id=4830 

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Salinan Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Jakarta: Kemdikbud

Pusitaningtyas, A. (2016). Pengaruh Komunikasi Orangtua dan Guru Terhadap Kreativitas Siswa. Proceeding of ICECRS Universiti Utara Malaysia. 1 935-942. DOI: http://dx.doi.org/10.21070/picecrs.v1i1.632

Wahana Visi Indonesia. (2020). Pandemi Covid dan Pengaruhnya Terhadap Anak Indonesia. Jakarta: Wahana Visi Indonesia

Penulis: Tuti Azizah
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa