Memuji adalah salah satu bentuk apresiasi. Namun, sudah tepatkah cara kita memuji anak?
Ibu, siapa yang tidak suka memuji anak? Pujian memang dianggap sebagai bentuk menghargai seseorang. Tidak jarang juga menjadi salah satu cara untuk memotivasi. Namun, sebagian orang tidak suka memuji dengan alasan tidak mau membuat anak cepat puas. Harapannya, anak tersebut akan memiliki standar yang lebih tinggi untuk puas diri.
Dalam masyarakat sendiri, kata pintar, baik, atau bagus mungkin menjadi sebutan favorit untuk memuji seseorang, terutama anak-anak. Nilai ujiannya bagus? Pintar. Meminjamkan mainan ke temannya? Anak baik. Bisa menggambar? Bagus. Namun, sebenarnya apa, sih, makna pintar, baik, dan bagus itu? Memang agak sulit untuk dideskripsikan, apalagi bagi anak-anak. Apakah anak pintar adalah anak yang nilai sekolahnya bagus? Bagaimana jika nilai tersebut didapat dengan cara yang tidak baik? Mencontek, misalnya. Apakah tetap pintar? Toh, tidak ada yang tahu. Termasuk sang pemberi pujian.
Lalu, apakah melabeli anak dengan kata pintar sudah tepat? Pujian yang fokus pada atribut yang dimiliki seorang anak, seperti pintar, penampilan, atau sekedar istilah anak baik, ternyata lebih banyak efek negatifnya. Berikut beberapa di antaranya:
- Membuat anak berpola pikir fixed mindset. Anak percaya bahwa kepintaran adalah sesuatu yang tetap. Jika berhasil, ia merasa pintar. Begitu pun sebaliknya
- Membuat anak memilih pekerjaan yang mudah atau sudah pasti berhasil. Anak ingin mempertahankan predikat pintar tersebut. Sehingga fokusnya hanya pada hasil, bukan proses belajar itu sendiri.
- Meningkatkan kecenderungan berbuat curang. Berdasarkan penelitian, kecenderungan berbuat curang lebih tinggi pada anak yang dipuji pintar/bagus daripada anak yang dipuji usahanya atau bahkan tidak dipuji sama sekali.
Jika memuji pintar kurang tepat, bagaimana cara yang baik untuk mengapresiasi anak? Penelitian menunjukkan bahwa memuji usaha anak adalah cara yang terbaik. Pujian ini sangat mengutamakan proses. Karena usaha bersifat fleksibel, bisa ditambah dan bisa dikurangi. Anak yang terbiasa menerima pujian dari usahanya akan berpola pikir flexible mindset. Jika ingin berhasil, ia akan memberi usaha yang lebih. Jika gagal, dia tidak merasa bodoh, melainkan kurang usaha.
Memang lebih sulit daripada menyebut kata pintar, ya, Bu. Berikut beberapa tips agar memuji menjadi lebih mudah dan efektif:
- Deskripsikan apa yang Ibu lihat.
“Lantainya bersih ya, buku-buku dan mainan juga sudah rapi di tempatnya.”
- Deskripsikan perasaan Ibu.
“Mama senang sekali melihat ruang bermain ini kembali rapi.”
- Beri nama pada kelakuan baik anak.
“Tadi Adik abis main dan lantainya kotor kena cat, lalu Adik langsung beresin mainan dan mengepel lantainya. Itu namanya bertanggung jawab.”
- Puji usahanya.
“Walaupun susah, Adik berusaha keras untuk membersihkan kotoran di lantai, ya.”
***
Referensi:
Bayat, Mojdeh. (2011) Clarifying Issues Regarding the Use of Praise with Young Children. Sage Journal: Hammil Institute on Disabilities. Diakses dari https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0271121410389339
Faber, Adele & Elaine Mazlish. (1999) How to Talk so Kids will Listen & How to Listen so Kid will Talk. London: Piccadilly Press
Zhao, Li., Gail. D. Heyman., Lulu Chen., & Kang Lee. (2017) Praising Young Children for Being Smart Promotes Cheating. Sage Journal: Association for Psychological Science. Diakses dari https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0956797617721529
Penulis: Detta Devia
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa