Judul buku: Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Penulis: Fumio Sasaki
Tebal buku: 242 halaman
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2018
“Kebahagiaan bukanlah memiliki apa yang kita inginkan, melainkan menginginkan apa yang kita miliki.”
(Rabbi Hyman Schachtel)
Saat menulis buku ini, Fumio Sasaki adalah seorang pria lajang berusia 35 tahun yang tinggal di Tokyo, Jepang. Ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbit. Dalam buku ini, ia menceritakan perjalanannya memaknai hidup dengan minimalisme.
Ia bercerita, sebagai manusia kita ingin bahagia. Jika dipikir-pikir, kita bekerja keras, belajar, berolahraga, mengasuh anak, melakukan hobi, dan semuanya karena kita mencari kebahagiaan. Energi yang mendorong kita adalah keinginan untuk bahagia. Sebelumnya, ia membeli banyak barang karena yakin bahwa segala sesuatu yang ia miliki akan meningkatkan harga diri dan tentunya memberikan hidup yang lebih bahagia. Tapi, mencoba membeli kebahagiaan hanya membuat kita senang untuk sementara waktu, kemudian tersesat saat hendak menemukan kebahagiaan sejati. Ketika menyadarinya, apartemennya sudah seperti kandang: penuh dengan barang dan benda-benda, dan membuatnya merasa semakin terbebani dan tidak bahagia. Menurutnya, rasa tidak bahagia bukan hanya akibat keturunan, trauma, atau hambatan karier. Rasa tidak bahagia timbul karena beban yang dibawa oleh semua barang-barang kita.
Pertanyaan-pertanyaan memenuhi kepala Fumio Sasaki. Mengapa kita punya begitu banyak barang yang bukan merupakan kebutuhan kita? Apa tujuannya? Ia berpikir bahwa jawabannya cukup jelas: kita begitu ingin memperlihatkan seberapa berharga diri kita kepada orang lain. Lewat benda, kita menyampaikan kepada masyarakat bahwa kita punya nilai. Hal-hal tersebut membawanya mengenal minimalisme, yang kemudian ia terapkan dalam kehidupannya.
Buku ini terbagi ke dalam 5 bab. Bab 1 menjelaskan apa definisi minimalisme dan apa maknanya jika kita memilih menjalani gaya hidup ini. Pada bab 2, ia mengajak kita untuk mempertanyakan kembali kebiasaan dan keinginan yang kita miliki sebagai manusia dan arti di balik benda-benda milik kita. Bab 3 meliputi sejumlah aturan dasar dan teknik untuk mengurangi barang yang kita punya. Pada bab 4, Fumio Sasaki bercerita tentang perubahan yang dialaminya secara pribadi dalam proses menerapkan gaya hidup minimalis. Pada bab terakhir yaitu bab 5, ia menjelaskan mengapa semua perubahan tersebut membuatnya lebih bahagia serta apa saja yang dipelajarinya secara umum tentang kebahagiaan.
Berbeda dengan buku-buku lain tentang minimalisme yang pernah saya baca, saya menyukai buku minimalisme karya Fumio Sasaki ini karena bahasa yang digunakan sederhana. Selain itu, yang membuat buku ini semakin menarik adalah karena pada bagian awal buku ini dihiasi foto-foto dokumentasi hasil jepretan Fumio Sasaki yang dapat memberikan gambaran prosesnya menerapkan minimalisme. Petunjuk, aturan, dan kiat-kiat untuk mengurangi barang yang ada dalam buku ini juga dengan terstruktur dan reasonable. Jika Marie Kondo menulis buku tentang bagaimana mengorganisasi, mengatur, dan merapikan barang, buku Fumio Sasaki ini mengajak kita selevel lebih tinggi lagi dengan menerapkan minimalisme dalam kehidupan. Dituturkan dengan gaya bercerita, buku ini tidak berkesan menggurui. Buku ini pula yang berhasil mengantarkan saya pada kesadaran baru agar lebih berkesadaran dalam mengadopsi barang-barang masuk ke hidup saya.
Buku self-improvement ini menurut saya cocok dibaca oleh siapa saja: orang-orang yang ingin mencari kebahagiaan dalam kesederhanaan, orang yang merasa kewalahan dengan segala barang dan benda-benda yang bertumpuk memenuhi kamar/ruangan/rumah, orang yang ingin menjalani hidup dengan lebih berkesadaran, atau orang yang sekadar ingin mengenal gaya hidup minimalisme ala orang Jepang.
***
Penulis: Dian Erika
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Fadlillah Octa