“Pagi ini kaget banget dengar cerita dari mamanya teman anakku kalau anakku katanya lagi suka sama teman sekelasnya. Duh, yang jadi pikiran bukan karena anakku yang sedang kasmaran. tetapi kenapa anakku tidak cerita dan malah dapat curhatan dari mama temannya”
Kira-kira beginilah versi galaunya ibu-ibu yang tidak mendapatkan kesempatan mendengarkan curhat anak secara langsung tapi malah dapat dari cerita orang lain. Semacam ada rasa sedih mengapa bukan kita yang menjadi tempat anak untuk bercerita apa saja termasuk hal-hal kritis seperti ini. Kalau sudah begini jangan ragu untuk evaluasi hubungan kita dengan anak, ya. Setuju, nggak, Bu?
Skenario peristiwa diatas saat ini mungkin banyak terjadi. Salah satu penyebabnya adalah Kemajuan teknologi. Era digital akan memberikan tantangan tersendiri untuk kita para orang tua milenial. Terutama soal pengasuhan anak yang terkadang jadi serba tidak fokus disebabkan oleh gangguan yang datang akibat aktivitas di dunia maya yang dilakukan oleh orang tua secara tidak sadar atau juga oleh anak-anak yang over-focus pada gawainya sehingga less attention dengan lingkungan sekitar akibat pengawasan yang lemah dalam penggunaan gawai oleh orang tua. Hal ini tentu berdampak besar, salah satunya pada kualitas hubungan antara orang tua dan anak yang bisa saja memiliki penurunan komunikasi bahkan sampai hilangnya rasa perhatian antara orang tua dan anak secara tidak sadar. Menurut Bainar (2020) ada beberapa faktor anak memilih curhat dengan orang lain atau di media sosial, (1) karena orang tua pernah abai dan cuek dengan cerita yang pernah disampaikan, (2) lalu orang tua selalu mendominasi pembicaraan bukan lebih banyak mendengar, dan (3) orang tua tidak mampu membangun komunikasi intensif di sela kesibukannya.
Apabila kondisi ini dibiarkan secara terus menerus maka tidak mengherankan jika anak akan memilih memiliki dunianya sendiri di dalam gawai, seperti lebih memilih curhat lewat media sosial, atau berhubungan dengan orang asing melalui game community-nya hingga pada akhirnya tidak pernah bercerita apapun lagi kepada orang tua. Wah, kalau sudah begini tentu akan sangat repot jika kita tidak lagi menjadi tempat pertama yang anak cari untuk bercerita keluh kesahnya. Selain kita kehilangan golden memory untuk sharing each other, tentu kita akan sulit mengawasi apakah anak berada pada pergaulan, ideologi, atau pemahaman yang tepat sesuai dengan bunda dan ayah harapkan kalau bukan dari ngobrol bareng mendengarkan cerita anak.
Pada dasarnya, orang tua tentu menginginkan kelekatan yang harmonis dengan anak, namun fakta dilapangan sering sekali kita melupakan hal-hal penting pada soal gaya komunikasi yang tepat atau bagaimana cara memberikan perhatian yang disukai oleh anak, sebab ternyata akan berpengaruh pada preferensi anak untuk memilih tempat bercerita (Pandu dkk. 2014). Oleh sebab itu nih, Ibu dan Sister, ada tips untuk kita para orang tua agar dapat menjadi pilihan pertama tempat anak bercerita sejak kecil (Sihabudin, 2015) :
1. Menciptakan hubungan baik
Orang tua berwajah manis kepada anak, sering menanyakan hal-hal remeh yang merupakan tanda bahwa orang tuanya sangat perhatian walau terhadap hal-hal kecil, dan ketika anak datang kepada kita, kita harus membangun suasana nyaman dan terbuka siap mendengar, seperti contoh Wah, gimana hari ini? Apakah ada yang bisa Ibu bantu?”
2. Mendengarkan dengan sepenuh hati
Saat anak sudah datang dan berani bercerita, maka jangan pernah sekali-kali kita membagi waktu berceritanya dengan hal apapun. Bermain gawai, mengurus pekerjaan dsb. Respon paling tepat adalah segera letakkan gawai, dan tatap wajah anak dengan seksama.
3. Bukan asal potong
Nah, sering banget ya, Bu, kita para orang tua memotong cerita anak dan memberikan tanggapan, padahal mungkin masih banyak cerita yang ingin anak sampaikan. Jadi, mulai sekarang biarkan anak bercerita sampai pada akhirnya dia bertanya tentang tanggapan kita.
4. Berempati dengan ceritanya
Ayo buk belajar masuk kedalam perasaan anak kita saat mereka bercerita. Sehingga tanggapan kita bisa sesuai dengan sudut pandangnya, dan kita tidak melukai perasaannya, bisa dibilang kita harus mampu memvalidasi perasaan anak saat bercerita apakah dia sedih, senang, takut atau kecewa.
5. Menjadi pendengar yang baik
Soal ini kita harus banyak berlatih dengan anak, kita harus mulai belajar bisa membaca kehendak anak, apakah anak hanya ingin mendengar atau anak mencari solusi dari sisi kita. Jangan sampai ternyata anak hanya ingin cerita, tetapi kita malah memberi tanggapan berupa nasihat sepanjang kereta api. Hehehe…
6. Jangan jadi guru, tapi teman
Kita tidak perlu merasa lebih tahu untuk hal-hal tertentu dibandingkan anak. Anggaplah kita sedang berdiskusi dan sama sama tidak tahu persoalan ini.
7. Bisa menjaga rahasia
Nah ini lho, Bu, seringkali kita tidak tahan untuk cerita ke orang lain soal cerita anak kita. Padahal kita sudah jadi tempat kepercayaan anak lho, Bu. Jadi, jangan sampai anak malah tidak mau cerita ke kita lagi, ya.
***
Referensi:
Bainar. (2020). Urgensi Mendengarkan Pendapat Anak Dalam Pendidikan Islam Bagi Orang Tua Muslim Perpektif Al-Quran Di Era Digital. Al-Mutharahah: Jurnal Penelitian Dan Kajian Sosial Keagamaan. Vol. 17 No. 2. Juli-Desember 2020. P-Issn 2088-0871. Doi: 10.46781/Al-Mutharahah.V17i2.143
Pandu Me. Abbas Rr. Mengge B. (2014). Orang Tua Ideal Masa Kini (Studi Keharmonisan Orang Tua-Anak Pada Empat Etnik Di Makassar). J.Socius Volume Xv, Januari – April 2014.
Sihabudin M. (2015). Peranan Orang Tua Dalam Bimbingan Konseling Siswa. Jurnal Kependidikan, Vol. Iii No. 2
Penulis: Anisha Ayuning Tryas
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa