Sistem pangan merupakan kombinasi dari semua proses yang diperlukan untuk memproduksi dan mengkonsumsi makanan sehari-hari. Proses ini dapat memengaruhi nutrisi, pola makan, kesehatan, dan lingkungan. Layaknya dua sisi mata uang koin, sistem pangan dapat menjadi penyebab sekaligus pencegah krisis iklim.
Penyebab Krisis Iklim secara Global
Perubahan iklim, atau yang saat ini lebih dipertegas dengan istilah krisis iklim, merupakan suatu kondisi global yang mengacu pada perubahan ekstrem dalam jangka panjang terkait suhu dan pola cuaca. Eskalasi gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan peningkatan panas matahari yang terperangkap di bumi. Kenaikan suhu permukaan bumi menimbulkan perubahan cuaca di berbagai wilayah dunia.
Penyebab utama krisis iklim adalah ketidakseimbangan siklus karbon dunia yang berimbas pada siklus hidrologi dan siklus batuan. Siklus karbon menunjukkan pembentukan dan pertukaran karbon pada setiap lapisan bumi. Ketidakseimbangan siklus karbon ditandai dengan; 1) terlalu banyak karbon yang terperangkap di setiap lapisan bumi, dan 2) ketidakmampuan reservoir karbon dalam menyerap karbon. Reservoir karbon merujuk pada istilah penyerap dan penyimpan karbon seperti; hutan, lahan basah, laut dan hewan-hewan.
Sistem Pangan sebagai Penyebab Krisis Iklim
Jumlah karbon yang terus menerus meningkat di permukaan bumi salah satunya disebabkan oleh sistem pangan kita. Berikut ini bentuk-bentuk dari sistem pangan yang menyebabkan krisis iklim;
- Budaya ‘Makan Nasi’
Istilah “belum kenyang kalau belum makan nasi” tampaknya sangat melekat dengan budaya makan orang Indonesia. Nasi saat ini memang menjadi makanan pokok kita. Namun, budaya makan nasi ini ternyata dapat menjadi penyebab sekaligus sektor yang paling terdampak krisis iklim.
Nasi diperoleh dari beras yang merupakan biji-bijian sumber karbohidrat dari tanaman padi. Masa penanaman dan panen padi sangat bergantung pada kondisi cuaca dan lingkungan. Perubahan iklim ekstrim yang diperparah dengan El-Nino menyebabkan terjadinya gagal panen. Dampak selanjutnya adalah inflasi pangan dan kenaikan harga beras. Kenaikan harga beras tentunya membuat masyarakat menjerit. Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk menurunkan harga beras, seperti food estate dan impor beras.
Proyek food estate di Indonesia sejatinya telah lama dilakukan. Proyek ini pertama kali dilakukan oleh Presiden RI Soeharto, yaitu Revolusi Hijau. Proyek ini berhasil mengantarkan ketahanan pangan bagi Indonesia, namun bukan sebagai upaya kemandirian pangan. Selain itu, proyek Revolusi Hijau menjadi penyumbang karbon dalam jumlah besar dari tahun 1997. Hal ini disebabkan adanya pembukaan lahan yang menyebabkan lepasnya emisi karbon dari hutan dan tanah gambut di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Hingga saat ini, proyek food estate belum mencapai keberhasilan.
Tahun 2023, Indonesia mengimpor beras hingga 3 juta ton sehingga bahan pangan tercukupi. Namun, impor beras juga bukan solusi. Mendatangkan beras dari luar tentunya menghasilkan emisi karbon berlebih yang berasal dari proses pengiriman menggunakan kendaraan besar dengan bahan bakar fosil.
- ‘FOMO’ terhadap Makanan Viral
Masyarakat Indonesia umumnya sangat kental dengan istilah fomo (fear of missing out), yakni takut ketinggalan tren. Akhirnya harus mencoba hal yang baru, termasuk makanan viral hasil rekomendasi influencer. FOMO terhadap makanan viral tidak hanya merusak sistem pangan, namun juga berimbas pada lingkungan, kesehatan, hingga perekonomian Indonesia.
Salah satu fenomena fomo paling viral yaitu ikut-ikutan mengkonsumsi ikan shisamo dan salmon. Diketahui kedua jenis ikan tersebut kaya nutrisi yang bagus untuk pertumbuhan. Namun, ikan-ikan tersebut hanya hidup di negara tertentu. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan pasar sehingga muncul emisi karbon yang berlebihan, baik dari proses pengiriman maupun siklus hidup ikan tersebut.
Kasus lainnya, yaitu fomo terhadap makanan ringan impor. Makanan ringan impor selalu ditampilkan dengan inovasi rasa dan tekstur yang dianggap lebih berkualitas dibanding makanan lokal. Buruknya, Indonesia sendiri masih impor dalam hal makanan pokok, lantas ditambah dengan impor makanan ringan.
- Fenomena makan dalam Jumlah Besar
Fenomena makan dalam jumlah besar atau dikenal dengan istilah Mukbang tampaknya sudah menjamur di Indonesia. Ada yang dilakukan dengan alasan pekerjaan (content creator) atau hanya ikut-ikutan (red. FOMO).
Fenomena ini juga menyebabkan krisis iklim yang terjadi akibat pengambilan sumber bahan makanan dari alam secara berlebih. Hal ini menyebabkan berkurangnya reservoir karbon, seperti tumbuhan dan hewan. Selain itu, konsumsi berlebih juga menyebabkan peningkatan volume sampah. Pada sampah makanan yang menumpuk akan terjadi proses pembusukan. Dari proses pembusukan dapat menghasilkan emisi karbon. Semakin banyak sampah makanan yang dihasilkan, maka emisi karbon juga semakin banyak terbentuk.
Sistem Pangan sebagai Pencegah Krisis Iklim
Ternyata dari sistem pangan ‘biasa dan dianggap biasa’ oleh orang Indonesia telah menyebabkan krisis iklim global. Namun, sistem pangan juga dapat menjadi pencegah krisis iklim. Bahkan, Ibu dan Perempuan dapat menjadi pahlawan iklim dengan melakukan 5 langkah mudah berikut ini;
- Melatih dan membiasakan untuk diversifikasi karbohidrat lokal
- Memilih bahan makanan lokal
- Mengurangi makanan instan dan berkemasan
- Mengurangi sampah sisa makanan
- Menjaga lingkungan
Dengan memilih pangan lokal, kita tidak hanya mengurangi emisi karbon di dunia, tetapi juga melestarikan pasar tradisional, menyejahterakan para penggerak pasar lokal, dan ikut menumbuhkan perekonomian negara. Hal terpenting lainnya adalah menjaga kelestarian lingkungan. Adanya aksi mengelola sampah, mengkompos sisa bahan makanan, dan berkebun juga merupakan langkah kecil sebagai pahlawan iklim dari rumah.
Referensi
Arumingtyas, L., 2023, Food Estate Bukan Jawaban Atasi Persoalan Pangan di Indonesia. Diakses pada 07/05/2024, melalui: https://www.mongabay.co.id/2023/03/15/food-estate-bukan-jawaban-atasi-persoalan-pangan-di-indonesia/
Badan Pusat Statistik, 2024, Impor Beras Menurut Negara Asal Utama 2017-2024. Diakses pada 07/05/2024, melalui: https://www.bps.go.id/id/statistics-table/1/MTA0MyMx/impor-beras-menurut-negara-asal-utama–2017-2023.html
Climate Impacts on Agriculture and Food Supply | Climate Change Impacts | US EPA. (n.d). Climate Change. Retrieved Nov. 4, 2022, from https://climatechange.chicago.gov/climate-impacts/climate-impacts-agriculture-and-food-supply
Dey, S.P., and Sepay, N., 2021, A Textbook of Green Chemistry, 1st edition, Techno World, Kolkata.
Fatma, N., Metusalach, Taslim, N.A., and Nurilmala, M., 2020, The protein and albumin contents in some species of marine and brackishwater fish of South Sulawesi, Indonesia, AACL Bioflux, 13(4), 1976-1986.
Lee, D., and Wan, C., 2023, The Impact of Mukbang Live Streaming Commerce on Consumers Overconsumption Behavior, Journal of Interactive Marketing, 58, (2-3), 198-221.
Manahan, S.E., 2006, Green Chemistry and the Ten Commandments of Sustainability, 2nd edition, ChemChar Research, Inc., USA.
McManus, M., 2022, The ‘carbon footprint’ was co-opted by fossil fuel companies to shift climate blame – here’s it can serve us again. Diakses pada 08/05/2024, melalui: https://theconversation.com/the-carbon-footprint-was-co-opted-by-fossil-fuel-companies-to-shift-climate-blame-heres-how-it-can-serve-us-again-183566 .
MeiditaKS, 2023, Mengenal Jenis dan Sumber Karbohidrat pada Pangan Lokal. Diakses pada 28/04/2024, melalui: https://warstek.com/mengenal-jenis-dan-sumber-karbohidrat-pada-pangan-lokal/ .
MeiditaKS, 2024, Peranan Laut dalam Siklus Karbon Dunia: Pompa Biologi, Pompa Karbonat dan Pompa Kelarutan. Diakses pada 07/05/2024, melalui: https://warstek.com/laut-dalam-siklus-karbon/ .
Priatni, S., Ratnaningrum, D., Kosasih, W., Sriendah, E., Sri Kandace, Y., Rosmalina, T., and Pudjiraharti, S., 2018, Protein and fatty acid profile of marine fishes from Java Sea, Indonesia, BIODIVERSITAS, 19(5), 1737-1742.
Purnamasari, R.A., 2024, Hikayat beras nusantara dan mengapa Indonesia amat tergantung dengan nasi. Diakses pada 07/05/2024, melalui: https://theconversation.com/hikayat-beras-nusantara-dan-mengapa-indonesia-amat-tergantung-dengan-nasi-226035 .
Suryandari, R., 2022, Kenapa Krisis Iklim dapat Menyebabkan Inflasi Pangan?. Diakses melalui: https://pslh.ugm.ac.id/kenapa-krisis-iklim-dapat-menyebabkan-inflasi-pangan/#:~:text=Perubahan%20iklim%20atau%20yang%20saat,perubahan%20ini%20terjadi%20lebih%20cepat.
Penulis: Meidita Kemala Sari dan Riska Ayu Purnamasari
Ilustrator: Meidita Kemala Sari
Editor: Ilma Fistannisa Zette