Sejak kecil, seringkali kita membaca artikel atau mendengar kata-kata guru dan orang tua untuk menjadi orang yang percaya diri. Namun, tahukah Ibu dan Sister jika kita jarang sekali diingatkan untuk jangan percaya diri berlebihan? Hmmm, iya, juga, ya.
Lantas, memangnya mengapa jika kita percaya diri berlebihan?
Percaya diri berlebihan atau overconfidence adalah salah satu bias kognitif yang menghambat proses belajar. Menurut profesor di bidang psikologi, David Dunning dan Justin Kruger, pencetus Dunning-Kruger effect, overconfidence adalah kondisi di mana seseorang yang jelas-jelas tidak kompeten dalam suatu hal merasa sangat percaya diri dan yakin bahwa dirinya kompeten. Bahkan, orang tersebut cenderung tidak menyadari bahwa dirinya tidak kompeten. Dalam proses belajar, orang-orang yang overconfident biasanya merasa tidak perlu belajar lebih banyak bahkan cenderung menolak umpan balik (feedback) dari orang lain untuk dirinya sendiri. Mengapa demikian? Hal tersebut terjadi karena mereka berpikir telah kompeten dengan bidang yang mereka maksud, padahal nyatanya tidak.
Hal yang lebih miris adalah bias kognitif yang terjadi ini tidak hanya berdampak negatif bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Apa dampak negatif dari overconfidence tersebut kepada orang lain? Rasa percaya diri berlebihan yang tidak diiringi dengan kompetensi menjadikan orang-orang yang overconfident lebih lantang untuk berbicara. Sebuah peribahasa populer “tong kosong nyaring bunyinya” menggambarkan seseorang yang banyak bicara, namun tidak memahami apa pun alias sok tahu.
Pada era kecanggihan teknologi informasi saat ini, kita dengan mudah menemukan banyak sekali figur yang memberikan pengaruh dalam masyarakat atau yang biasa disebut sebagai influencer. Influencer akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat jika memberikan wawasan yang bermanfaat bagi masyarakat. Apa yang terjadi jika seorang influencer tersebut mengalami overconfidence? Tentu sangat berbahaya apabila seorang influencer memiliki overconfidence. Bisa jadi, konten yang disampaikannya misinformasi, namun tetap diyakini oleh para followers-nya sebagai sesuatu yang sahih. Oleh karena itu, Ibu dan Sister pun harus berhati-hati, ya, dalam menyampaikan informasi kepada orang lain. Jangan sampai Ibu dan Sister terjebak dengan bias kognitif ini. Nah, Ibu dan Sister sudah memperoleh gambaran tentang overconfidence, kan? Hmmm, kemudian, bagaimana caranya supaya Ibu dan Sister menjadi pribadi yang lebih reflektif dan tidak mengalami overconfidence? Penelitian yang dilakukan oleh Rusmana et al. (2020) di Kangwon National University Korea Selatan mengembangkan sebuah model bernama KAAR untuk mengatasi percaya diri berlebihan (overconfidence debiasing). KAAR adalah singkatan dari Knowledge, Awareness, Action, dan Reflection yang merupakan langkah-langkah debiasing. Apa saja aktivitas debiasing? Yuk, Simak rincian berikut!
1. Knowledge (Pengetahuan ‘Mengetahui’)
Langkah pertama untuk mengatasi overconfidence bias adalah mengetahui tentang adanya bias itu sendiri. Pengetahuan tentang overconfidence termasuk bahaya yang ditimbulkan dari bias ini menjadi peringatan awal bagi kita untuk menghindari bias tersebut. Congratulations, Ibu dan Sister! Dengan membaca artikel ini, Ibu dan Sister telah melakukan langkah pertama dalam debiasing.
2. Awareness (Kesadaran ‘Menyadari’)
Pada tahap ‘awareness’ kita harus merenung dan bertanya kepada diri sendiri (self-questioning) apakah kita berpotensi memiliki perilaku yang mengarah pada percaya diri berlebihan atau tidak. Self-questioning dapat dibantu dengan mengingat-ingat kejadian pada masa lalu. Ada beberapa pertanyaan yang dapat membimbing Ibu dan Sister dalam membangun kesadaran terhadap overconfidence bias. Contoh pertanyaan yang dapat digunakan sebagai berikut.
- Apakah saya pernah merasa sangat memahami sesuatu sehingga tidak perlu belajar lagi?
- Apakah saya pernah overestimate terhadap kemampuan sendiri padahal kenyataannya saya tidak sehebat itu?
- Apakah saya pernah menjelaskan hal-hal yang tidak dikuasai kepada orang lain tapi berusaha terlihat sangat percaya diri supaya orang lain percaya saya kompeten?
Jika jawabannya ‘ya’, yuk, Ibu dan Sister lanjut ke tahap selanjutnya untuk melakukan aksi debiasing.
3. Action (Aksi ‘Bertindak’)
Penerima nobel di bidang ekonomi, Daniel Kahneman, dalam penelitiannya menemukan bahwa memiliki awareness saja tidak cukup untuk mengatasi bias kognitif. Menurutnya, mengambil tindakan untuk debiasing adalah tahapan yang jauh lebih penting. Tahapan mengambil tindakan dapat dilakukan secara kolektif, lho, Ibu dan Sister. Bagaimana, ya, caranya? Ibu dan Sister dapat memperluas circle pertemanan sehingga membuka pikiran bahwa dunia tidak berpusat pada diri kita saja, di atas langit masih ada langit, ya, Ibu dan Sister. Selain itu, Ibu dan Sister juga dapat meminta umpan balik secara aktif dari orang-orang yang dapat memberikan evaluasi subjektif terhadap Ibu dan Sister.
4. Reflection (Refleksi ‘Berpikir Reflektif’)
Menurut Kahneman dalam bukunya “Thinking Fast and Slow”, ada dua sistem yang mendorong cara manusia dalam berpikir. Sistem yang pertama bersifat cepat, intuitif, dan didorong oleh emosi. Sementara itu, sistem kedua bersifat lambat, analitis, dan logis. Bias kognitif seperti overconfidence muncul sebagai konsekuensi dari berpikir sistem pertama. Untuk mengatasinya, Ibu dan Sister perlu menggunakan sistem kedua yang bersifat analitis dan reflektif. Berpikir reflektif berarti lebih mempertimbangkan berbagai sudut pandang, termasuk bukti pendukung dibandingkan mendahulukan emosi atau perasaan. Hal tersebut akan membuat Ibu dan Sister cenderung lebih objektif dan tidak melebih-lebihkan diri saat mengevaluasi diri sendiri.
Itulah tahapan-tahapan mengatasi percaya diri yang berlebihan, Ibu dan Sister. Semoga membantu, ya! Selamat berefleksi, Ibu dan Sister!
***
Referensi:
Dunning, D. (2011). The Dunning-Kruger Effect: On Being Ignorant of One’s Own Ignorance. In J. Olson and M. P. Zanna (Eds.), Advances in Experimental Social Psychology (vol. 44, pp. 247‒296). New York, NY: Elsevier.
Kahneman, D. (2011). Thinking Fast and Slow. New York, NY: Macmillan.
Kahneman, D., Lovallo, D., & Sibony, O. (2011). Before You Make That Big Decision. Harvard Business Review, 89(6): 50‒60.
Kruger, J., & Dunning, D. (1999). Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One’s Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77(6): 1121–1134. Rusmana, A. N., Roshayanti, F., & Ha, M. (2020). Debiasing Overconfidence Among Indonesian Undergraduate Students in The Biology Classroom: An Intervention Study of The KAAR Model. Asia-Pacific Science Education, 6(1): 228–254.
Penulis: Ai Nurlaelasari Rusmana
Desainer/Illustrator: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Dwi Martina Dewi