Category: Uncategorized

banner – Kembali Setelah Melahirkan
Uncategorized

7 Tips Penting untuk Kembali Bekerja Setelah Cuti Melahirkan

Kembali ke dunia kerja setelah cuti melahirkan adalah momen penting yang dihadapi oleh banyak ibu. Transisi ini seringkali diiringi dengan berbagai tantangan yang kompleks. Mulai dari kebingungan membagi waktu antara pekerjaan dan peran baru sebagai ibu, hingga dilema menjaga keseimbangan emosional dan fisik. Dilansir dari Harvard Business Review, Denise Rousseau, seorang professor perilaku organisasi dan kebijakan publik Universitas Carnegie Mellon menyatakan momen transisi dengan peran baru sebagai Ibu adalah momen penyesuaian fisik dan psikologis yang intens. Dalam menghadapi perjalanan ini, seorang Ibu membutuhkan bantuan dan dukungan yang luar biasa dari sekelilingnya. 

Maka, artikel ini menghadirkan beberapa langkah yang dapat dilakukan, khususnya untuk Busist yang sedang menghadapi momen ini. 

  1. Memperbanyak doa. 

Pondasi awal agar diberi kewarasan adalah dengan mendekatkan diri dengan yang memiliki hati. Betul atau betul, Busist? Doa bukan hanya menjadi sumber kekuatan spiritual, tetapi juga dapat memberikan ketenangan batin dalam menghadapi perubahan besar ini. Sebuah doa yang tulus dan konsisten dapat membantu Busist menemukan kedamaian dalam diri sendiri. Dalam melewati momen transisi, mungkin akan banyak gejolak emosi yang tak terkontrol. Setidaknya itu juga yang pernah secara pribadi saya alami. Namun, selagi masih berpegang dengan kekuatan dan kedekatan dengan yang Maha Pencipta, seharusnya semua tantangan tak lagi terasa sulit kan, Busist? Semangat!

  1. Berkomunikasi dengan suami untuk mendapatkan dukungan yang diperlukan. 

Dukungan pasangan merupakan landasan penting dan utama dalam menyeimbangkan tugas sebagai ibu dan tuntutan pekerjaan. Komunikasi terbuka dan jujur antara suami dan istri akan membantu menciptakan kerjasama yang solid dalam menghadapi tantangan bersama. Sebisa mungkin, tetaplah intens dalam mengungkapkan kegelisahan hati kepada pasangan. Selain untuk mendapatkan bantuan, perasaan pun juga akan lebih lega saat semua keluh kesah telah tersalurkan.

  1. Mempersiapkan support system yang matang. 

Setidaknya satu bulan sebelum Busist kembali bekerja, mulailah untuk mencari jasa pengasuhan anak baik dalam bentuk asisten atau daycare.  Hal ini dapat dilakukan dengan riset daycare atau pengasuh yang terpercaya. Persiapkan juga beberapa pendukung lain seperti pemasangan CCTV untuk memantau kondisi anak, persiapan kebutuhan bayi seperti ASI pump, serta membuat jadwal makan atau bermain yang dapat kita sampaikan ke support system. Dengan memastikan anak dalam perawatan yang baik, Busist dapat fokus pada pekerjaan tanpa kekhawatiran yang berlebihan.

  1. Bangun kepercayaan dengan orang-orang yang terlibat dalam pengasuhan anak. 

Tak hanya menyiapkan fasilitasnya, kita sebagai Ibu pun harus mulai belajar untuk percaya dan membangun hubungan baik dengan mereka yang kita beri kepercayaan. Kepercayaan dan komunikasi yang baik dengan pengasuh, anggota keluarga, atau daycare akan memberikan rasa nyaman dan keyakinan bahwa anak dalam perawatan yang aman dan terjaga. Jika memang merasa ada kendala atau hambatan di tengah jalan, segera komunikasikan dan temukan solusinya. Buat rencana cadangan jika nyatanya pengasuh atau daycare yang kita pilih tidak sesuai dengan harapannya. 

  1. Membangun komunikasi yang baik dengan atasan dan rekan kerja sejak sebelum bekerja kembali

Setidaknya satu minggu sebelum mulai bekerja, bangunlah komunikasi dengan atasan dan rekan kerja. Berkomunikasi sejak awal akan membantu mempersiapkan diri dengan lebih baik. Khususnya dalam menyesuaikan kembali dengan lingkungan kerja, serta memastikan pekerjaan yang diberikan sesuai dengan ekspektasi kita. Terlebih kondisi kita sudah berbeda dengan yang sebelumnya, tentu akan banyak penyesuaian yang perlu dikomunikasikan. Seperti harus izin memompa ASI disela-sela jam kerja atau menjenguk anak di daycare, dan lain sebagainya. 

  1. Jangan terlalu keras pada diri sendiri dalam proses transisi ini. 

Busist perlu memahami bahwa perubahan memerlukan waktu. Maka, dalam hal ini Busist perlu memberi diri waktu untuk beradaptasi dengan jadwal baru, menyesuaikan diri dengan tugas-tugas baru, dan tidak terlalu menekan diri sendiri untuk langsung berperforma maksimal. Tidak ada Ibu yang langsung bisa menyesuaikan diri dengan optimal, tapi setidaknya kita tetap berupaya untuk menjadi Ibu yang terbaik. Maka, percayalah, Bu, tanpa kita meminta pun sejatinya kita telah menjadi Ibu yang sempurna di mata anak-anak kita. 

  1. Tentukan batasan prioritas dan waktu yang jelas antara pekerjaan dan urusan rumah.

Menetapkan batasan yang jelas akan membantu menjaga keseimbangan antara kebutuhan pekerjaan dan keluarga. Dengan memprioritaskan waktu dan tugas dengan bijak, Busist dapat mengelola peran ganda tersebut dengan lebih efektif dan meraih keseimbangan yang sehat antara kehidupan pribadi dan profesional. Dengan kesadaran, komunikasi yang baik, dan perencanaan yang matang, kembali bekerja setelah cuti melahirkan dapat menjadi fase yang produktif dan bermakna. 

Referensi: 

Kembali Bekerja Secara Maksimal Setelah Cuti Melahirkan. ITB Career Center. Diakses pada 2 Desember 2024 melalui https://karir.itb.ac.id/career-tips/read/1161

Arina Yulistara. (2023, 19 Juni). 7 Hal yang Perlu Dipersiapkan Bunda Sebelum Kembali Bekerja Usai Melahirkan. Diakses pada 1 Desember 2023 melalui https://www.haibunda.com/moms-life/20230616045113-76-308067/7-hal-yang-perlu-dipersiapkan-bunda-sebelum-kembali-bekerja-usai-melahirkan

Penulis: Vianida Hardiningsih

Ilustrator: Anggita G. Putri

Editor: Elfita Rahma Aulia

banner Quantity Quality Time
Uncategorized

Quality Time vs Quantity Time

Keseimbangan antara quality time dan quantity time dalam keluarga seringkali menjadi tantangan yang kompleks. Quality time menekankan pada momen berkualitas yang penuh makna dan mendalam, sementara quantity time menyoroti keberadaan fisik secara kuantitatif tanpa selalu menjamin kedalaman interaksi. Dalam dinamika kehidupan modern, banyak orang yang cenderung merasa terjebak dalam kebingungan untuk memprioritaskan kuantitas atau kualitas dalam waktunya. Terutama untuk menghabiskan waktu dengan keluarga dan memenuhi kebutuhan interaksi sehari-hari. Apakah Busist salah satu yang mengalaminya? 

Dalam konteks kebersamaan dengan keluarga, quality time mengacu pada waktu yang dihabiskan bersama dengan penuh kesadaran dan kedalaman emosional. Melalui quality time, anggota keluarga dapat merasa saling terhubung, saling mendukung, dan mempererat ikatan emosional. Contohnya adalah dengan berbagi cerita atau sekadar duduk menikmati waktu secara penuh. Di sisi lain, quantity time lebih menekankan pada keberadaan fisik dalam hitungan kuantitatif. Meskipun konteksnya mungkin tidak selalu intens atau mendalam, tetapi waktu ini memberi momen untuk hadir secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran fisik yang terus-menerus ini dapat memberi rasa keamanan dan keterhubungan yang konstan bagi anggota keluarga.

Dr. John DeFrain, seorang Profesor Emeritus di bidang Family Studies di University of Nebraska – Lincoln, bersama rekan-rekannya mendefinisikan kekuatan sebagai atribut positif yang menjadi dasar bagi sebuah keluarga dalam menghadapi berbagai situasi dan tantangan kehidupan. Dalam hasil penelitian mereka, ditemukan bahwa struktur keluarga tentu bervariasi di berbagai negara. Faktor lingkungan tempat keluarga tinggal juga beragam dari kota hingga desa. Meskipun demikian, Tim Peneliti menemukan pola kekuatan keluarga yang serupa terkait bagaimana memahami kondisi keluarga (Olson & DeFrain, 2006). Sejatinya, tidak ada keluarga yang sempurna. Namun, dengan pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan, kita dapat mengupayakan yang terbaik untuk menciptakan keseimbangan. Dalam menentukan prioritas, pertimbangkanlah berbagai aspek yang mempengaruhi keluarga. Misalnya, apakah ada anggota keluarga yang membutuhkan perhatian ekstra, adakah tugas rumah tangga yang mendesak, atau apakah ada komitmen lain yang harus dipenuhi. 

Untuk mengatasi dilema ini, akhirnya penting untuk menemukan strategi yang optimal. Dalam meningkatkan quantity time, beberapa langkah berikut dapat dilakukan. Pertama, rencanakan jadwal rutin untuk melakukan sesuatu bersama, setiap harinya. Jika Busist adalah Ibu pekerja, momen golden hour, waktu bangun tidur dan sebelum tidur, adalah masa terbaik untuk menghabiskan waktu lebih banyak dengan anak dan pasangan. Kedua, kurangi kesibukan yang tidak perlu dan menggunakan waktu senggang di rumah bersama yang tercinta. Ketiga, manfaatkan momen sederhana bersama seperti sarapan atau makan malam bersama secara rutin. 

Sementara untuk meningkatkan quality time, langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan adalah dengan menjadi lebih sadar akan kehadiran dan interaksi. Being mindfulness adalah kunci utama untuk menjadikan waktu menjadi berkualitas untuk keluarga. Dalam hal ini, hadir secara fisik tidak menjamin adanya kualitas jika masih sarat dengan distraksi. Maka, berikan niat yang tulus dan penuh kasih dalam setiap momen dan jauhkan hal yang mengganggu seperti gadget atau hal lain. Selanjutnya, merencanakan aktivitas yang melibatkan semua anggota keluarga adalah hal rutin yang dapat dilakukan setiap minggunya dengan menjalin komunikasi yang sarat akan makna dalam prosesnya. 

Terakhir, penting untuk mengenali bahwa keseimbangan antara quality time dan quantity time adalah proses yang berkelanjutan. Berikan diri kita kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan menyesuaikan diri dengan dinamika keluarga yang terus berubah. Dengan kesadaran, komunikasi yang baik, dan komitmen untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga, keseimbangan antara quality time dan quantity time akan membawa dampak positif.

Referensi:

Pia Christensen. 2002. Why More ‘Quality Time’ Is Not on the Top of Children’s Lists: The ‘Qualities of Time’ for Children. Children & Society 16(2):77 – 88 DOI:10.1002/chi.709

Hanlie Muliani, M. Psi, Psi. 2022. Membangun Keluarga Kuat. Diakses pada 7 Desember 2024 melalui https://soa-edu.com/membangun-keluarga-kuat/ 

Ibu bekerja, Bagaimana Quality Time dengan Anak?. Redaksi Halodoc.com. Diakses pada 7 Desember 2024 melalui https://www.halodoc.com/artikel/ibu-bekerja-bagaimana-quality-time-dengan-anak?srsltid=AfmBOoraXd7CDsGZKedaYXBFq6o__W5l6qBGdI8T6Yu31kGKzn6SEF_7

Penulis: Vianida Hardiningsih

Ilustrator: Anggita G. Putri

Editor: Elfita Rahma Aulia

Banner Kalimat Positif
Uncategorized

Pentingnya Kalimat Positif untuk Perkembangan Anak

Sebagai orang tua, kita pasti akan mengalami fase eksplorasi anak yang seringkali menguji emosi. Dalam situasi yang tidak kondusif, saat ibu sedang lelah ataupun sedang memiliki masalah, perilaku anak sering memicu kita untuk meledak dan akhirnya mengeluarkan kata atau kalimat yang buruk. Meski seringkali kondisi ini tidak disengaja, namun tahukah ibu jika anak terus menerus terpapar kata – kata negatif, ternyata dapat memberikan pengaruh yang buruk pada anak bahkan mempengaruhi cara kerja organ tubuh anak tersebut?

Sebuah studi membuktikan bahwa pengaruh kata dalam hidup itu bukan hanya sebuah metafora. Dalam studi tersebut didapatkan bahwa terdapat perbedaan hasil pencitraan dari otak yang terpapar kata-kata positif, negatif, dan netral. 

Hasil pencitraan otak yang terpapar kalimat negatif menunjukkan adanya aktivasi mekanisme pertahanan otak di bagian lobus frontal. Stimulasi yang terus berulang dalam jangka waktu lama akan berpengaruh terhadap persepsi manusia terhadap sesuatu. Mirip dengan proses “programming” pada komputer. Selain itu, paparan kalimat negatif juga bisa mengaktifkan amigdala yaitu bagian otak yang merupakan pusat rasa takut, dan bisa memicu hormon stress berlebih. 

Sebaliknya, paparan kalimat positif menunjukkan adanya aktivasi di bagian otak yang bertanggung jawab untuk pelepasan hormon yang berpengaruh terhadap kesehatan mental, salah satunya hormon dopamin dan serotonin. Hal ini menunjukkan bahwa manusia mencerna kata – kata yang ditujukan kepadanya kemudian dapat memberikan imbas atau efek pada sistem tubuh yang lainnya. 

Dalam aspek pengasuhan, anak yang sering terpapar kalimat negatif, akan membentuk persepsi negatif terhadap dirinya. Kalimat seperti “Kok gitu saja ga bisa?”, “Jangan cengeng ya, merepotkan sekali”, atau “Kamu bikin malu ibu saja tidak seperti si A”, hingga ke kalimat yang diikuti kata-kata kasar akan secara tidak sadar diproses di dalam otaknya. Otak anak yang masih berkembang akan membentuk jaringan saraf yang salah satunya dipengaruhi oleh pola asuh. Hal ini sering juga disebut Neuroplastisitas. Neuroplastisitas adalah konsep neurosains untuk perkembangan otak dan sistem saraf yang didasari oleh pengaruh lingkungan sehingga otak memiliki kemampuan untuk mengubah struktur dan fungsinya.

Anak yang tumbuh dengan paparan kalimat negatif yang tinggi, akan memiliki rasa percaya diri yang rendah dan lebih pesimis. Dia juga akan cenderung menarik diri dari lingkungan. Selain dampak psikologis, kalimat negatif juga terbukti akan berpengaruh terhadap kesehatan anak seperti lebih sering sakit dan sebagainya.

Lalu bagaimana jika Ibu terlanjur mengeluarkan kalimat negatif pada anak? Kabar baiknya ternyata hal ini masih bisa diperbaiki, tergantung dari berapa lama paparan kalimat negatif tersebut telah diberikan pada anak. Otak anak yang masih berkembang (ingat konsep neuroplastisitas) masih bisa membentuk koneksi saraf yang baru mengikuti perubahan perilaku orang tuanya. Meskipun pada beberapa kasus mungkin meninggalkan luka pengasuhan dan membutuhkan penanganan tenaga ahli.

Adapun beberapa hal yang bisa kita usahakan untuk memperbaiki keadaan tersebut antara lain : 

  1. Kenali diri dan cari tahu pemicu ledakan emosi Ibu

Dengan mengenali diri ibu sendiri, ibu akan tahu pola emosi ibu seperti kapan bisa terpicu hingga mengeluarkan kata-kata negatif. Contohnya ketika ibu cenderung emosi saat lelah, maka beri waktu untuk ibu beristirahat sebentar. Menjauhlah sesaat. Masuk dan berdiam diri di kamar sambil mengatur nafas untuk mencegah ibu mengeluarkan kata – kata negatif.

  1. Mintalah bantuan dan dukungan dari orang sekitar atau keluarga.

Membesarkan anak adalah komitmen seumur hidup dan tugas yang berat. Ibu membutuhkan dukungan dari banyak pihak untuk merawat anak. Jangan sungkan untuk meminta bantuan pada suami, keluarga, ataupun pihak ketiga bila ibu sudah merasa kewalahan menangani banyak hal. Ketika Ibu sering terpicu emosi karena lelah membersihkan rumah, ibu sangat boleh meminta bantuan orang lain untuk urusan kebersihan rumah. Hal tersebut dapat mengurangi beban ibu. 

  1. Journaling.

Ibu bisa keluarkan kegelisahan dan kecemasan ibu dalam bentuk tulisan di jurnal harian ibu. Ibu bisa memulai dengan jurnal syukur untuk membuat list atau daftar apa saja yang ibu bisa syukuri setiap harinya. Dengan demikian, ibu memberikan asupan positif pada pikiran ibu. Dengan mengisi tangki positif ibu, harapannya ibu juga sudah lebih siap dan tenang dalam menghadapi tingkah polah anak.

  1. Bicarakan dengan anak

Bila sudah terlanjur emosi dan mengeluarkan kata – kata yang tidak baik, bicaralah pada anak ketika keadaan sudah tenang. Jelaskan apa yang terjadi dan ucapkan maaf untuk ucapan kasar ibu. Bila memungkinkan diskusikan apa yang bisa dicegah bersama-sama dan apa yang harus dilakukan jika keadaan sedang tidak kondusif.

  1. Cari pertolongan professional untuk ibu dan anak ibu

Jika dirasa tidak sanggup menghadapi sendiri dan anak sudah menunjukkan gejala depresi dari luka pengasuhan yang sulit disembuhkan, sebaiknya ibu segera mencari bantuan profesional untuk menolong ibu dan anak ibu.

Setiap orang tua dengan segala kekurangannya, pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Namun sebagai manusia, pasti akan ada masanya kita melakukan kesalahan. Apa yang sudah terjadi mungkin tidak bisa kita ubah, tapi kita masih punya kesempatan untuk terus berbenah demi kebahagiaan ibu dan anak ibu. Dukungan orang di sekitar ibu juga berperan penting, jadi jangan sungkan untuk minta bantuan ya Bu. Semangat mengasihi, Ibu!

Referensi: 

Barrett, L. F. (2020, 17 November). People’s words and actions can actually shape your brain — a neuroscientist explains how. Diakses pada 17 November 2024 melalui https://ideas.ted.com/peoples-words-and-actions-can-actually-shape-your-brain-a-neuroscientist-explains-how/

Barrett, L. F. (2021, 29 September). The Power of Words. Diakses pada 17 November 2024 melalui https://mariashriver.com/the-power-of-words/

Hrašková, Z. 2023. The Neuroscience behind The Words: How We Program Our Minds Every Day. Vol. 17 No. 1 (2023): Proceedings of the MEi:CogSci Conference. University Bratislava

Lindsey Horton. (2019, 8 Agustus). The Neuroscience Behind Our Words. Diakses pada 17 November 2023 melalui https://brm.institute/neuroscience-behind-words/

Penulis: Ima Maharani

Ilustrator: Anggita G. Putri

Editor: Elfita Rahma Aulia

Banner – Mengelola Privacy Anak (2)
Uncategorized

Mengelola Privasi Anak di Era Digital

Di era teknologi yang semakin berkembang, orang tua semakin dipermudah dalam mengabadikan momen pertumbuhan si kecil. Selain mengabadikan momen, banyak yang mengunggah dan membagikan momen – momen si kecil tersebut di beragam aplikasi media sosial. Tidak jarang orang tua bahkan membuat akun media sosial khusus untuk anak yang didedikasikan sebagai “portofolio” anak atau sekedar galeri memori. Dilaporkan dalam sebuah penelitian di US, hampir 92% dari anak – anak berusia kurang dari 2 tahun sudah memiliki akun online yang dibuat oleh orang tuanya. Namun, tahukah Busist, ada resiko yang mengintai dari data/foto anak yang kita unggah di media sosial ? 

Penyalahgunaan dan pencurian data digital anak adalah salah satu dari resiko mengekspos data atau foto anak ke dunia digital. Apabila foto atau video tersebut sudah diunggah, maka kita akan kehilangan kendali terhadap foto atau video tersebut. Orang – orang yang mendapat akses ke akun media sosial kita atau media sosial anak dapat dengan mudah mengunduh foto/video tersebut, menyebarkannya dan menggunakannya untuk kepentingan tertentu. Foto/video anak tersebut bisa saja digunakan sebagai target pelecehan online atau kejahatan lainnya. Sebuah studi yang dilakukan oleh pemerintah Australia eSafety menemukan bahwa sekitar 50% dari foto yang dibagikan di situs-situs yang digunakan oleh para pedofil berasal dari sosial media.

Selain rawan menjadi target kejahatan, mengunggah foto anak di media sosial bisa membawa dampak psikologis bagi mereka. Bagi anak – anak yang sudah lebih besar seringkali mereka sudah bisa menolak untuk didokumentasikan dan diunggah ke media sosial. Banyak orang tua yang menganggap hal ini sepele. Mereka tidak mengindahkan privasi anak dan tetap mengunggahnya. Hal ini bisa membuat anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Jejak digital tumbuh kembang anak yang tersebar di dunia maya juga bisa jadi menjadi salah satu penyebab mereka kehilangan kepercayaan diri, terutama jika ada foto yang menunjukan bagian private anak meski diunggah ketika anak tersebut masih kecil.

Lalu bagaimana cara mengelola foto dan video  anak yang diunggah di platform daring agar tetap terjaga privasinya? Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orang tua, sebagai benteng pertama perlindungan anak, untuk mengelola privasi anak di dunia maya. Beberapa cara diantaranya adalah sebagai berikut : 

  • Jangan bagikan informasi rahasia seperti identitas lengkap, data medis, dan hal-hal yang bersifat pribadi
  • Jangan upload foto bagian private tubuh anak meski masih bayi
  • Jangan bagikan detail lokasi keberadaan dan sekolah anak
  • Minta izin kepada anak yang sudah lebih besar sebelum mengunggah foto dan videonya hargai privasi anak
  • Batasi audiens di platform yang digunakan untuk mengunggah foto anak. Contoh di platform Instagram, orang tua bisa menggunakan fitur close friend atau set akun menjadi private sehingga tidak bisa diakses oleh sembarang orang. 
  • Berkomunikasi aktif dengan sekolah terutama jika ada data anak yang perlu diunggah secara online oleh sekolah untuk kepentingan akademik.

Selain peran orang tua, peran pemerintah juga signifikan dalam melindungi hak privasi anak di dunia maya. Keberadaan pemerintah, terutama dalam memberantas kejahatan online dengan target anak – anak dan penyalahgunaan data, sangatlah dibutuhkan. Saat ini pemerintah sudah memiliki peraturan yang mengatur penggunaan data online. Peraturan tersebut tertuang dalam UU PDP (Undang Undang Perlindungan Data Diri). Di dalam UU tersebut juga dibahas tentang perlindungan data anak. Meski masih perlu disempurnakan, UU ini bisa menjadi dasar untuk orang tua agar lebih bijak mengelola privasi anak serta menjadi payung hukum dalam menindak pihak yang menyalahgunakan data dan foto/video anak.  Selain membuat peraturan, pemerintah juga perlu mensosialisasikan literasi digital terhadap semua lapisan masyarakat tentang adanya ancaman privasi anak. 

Mengelola privasi anak di dunia digital adalah tanggung jawab besar bagi setiap orang tua.  Melalui langkah-langkah perlindungan yang tepat, kita dapat menjaga keamanan dan kehormatan anak-anak kita di dunia maya, memastikan mereka tumbuh dengan aman dan percaya diri.

Referensi:

Bessant, C. (2018). Sharenting: balancing the conflicting rights of parents and children. Communications Law, 23 (1), 7-24.

Keith, B. E., & Steinberg, S. (2017). Parental sharing on the internet: Child privacy in the age of social media and the pediatrician’s role. JAMA pediatrics, 171 (5), 413-414.

Penulis: Ima Maharani
Ilustrator: Endah Fajriani Rifai
Editor: Elfita Rahma Aulia

Banner – Career Compass_ Finding Your Way with Support and Guidance
Uncategorized

Career Compass: Finding Your Way with Support and Guidance 

Dalam menapaki perjalanan karir, seringkali kita dihadapkan pada situasi yang tak bisa kita prediksi. Dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi, banyak di antara kita yang akhirnya sejenak berhenti dan menepi untuk menemukan kembali jalan terbaik yang sebenarnya kita cari. 

Melalui kerjasama program Bantu Belajar Mahasiswa (BBM) dari Lab Belajar Ibu (LBI) dengan platform Karier.Mu, sebuah webinar tentang kehidupan karier dihadirkan dengan tema: Kompas Karier untuk Menemukan Jalan dengan Petunjuk dan Bantuan. Program ini berlangsung sukses dengan partisipasi dari banyak pihak baik dari internal atau eksternal LBI. Selain itu, acara ini juga tidak terbatas pada kategori perempuan. Seru banget ya? 

Kegiatan yang telah diselenggarakan pada tanggal 24 Agustus 2024 itu dibuka dengan sambutan dari Ibu Anggun selaku perwakilan dari Karier.Mu yang menjelaskan terkait platform Karier.Mu. Platform ini hadir dengan basis teknologi yang bertujuan untuk menyediakan fasilitas pendidikan dan pengembangan diri secara luas yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Beragam layanan dihadirkan seperti adanya boothcamp untuk persiapan karier yang lebih baik. Salah satu programnya adalah teacher talent untuk menjadi guru profesional dan berkualitas di abad 21. 

Sambutan dari founder LBI, Ibu Riska, pun turut mewarnai pembukaan webinar dengan pengenalan singkat tentang komunitas LBI yang memiliki semangat untuk membersamai para Ibu dan Sister yang mengalami transisi karier. Dalam sambutannya, Ibu Riska juga memberikan apresiasi pada semua pihak yang telah terlibat dan menitipkan harapan agar webinar dapat berjalan dengan lancar. 

Sesi satu materi pertama dibuka oleh pembicara pertama yaitu Ibu Zelda Lupsita dari Indonesia Business Coalition for Woman Empowerment. Dalam sesi ini, Ibu Zelda memaparkan materi terkait bridging your career. Berawal dari isu kesetaraan gender dalam dunia kerja serta isu pekerjaan yang terancam dengan adanya inovasi teknologi, setiap dari kita perlu memperhatikan nilai, minat, bakat, keahlian, dan support system tanpa mengesampingkan norma dan stereotip yang ada. Sebagai bekal yang harus sedini mungkin dilakukan, setidaknya kita dapat memulai persiapan karier dengan meningkatkan self-awareness melalui refleksi dengan metode IKIGAI atau analisis SWOT. Sebagai pelengkap amunisi karir maka carilah mentor dan komunitas suportif, pahami hak-hak yang bisa diperjuangkan dalam ranah kerja, serta lakukan riset yang cukup terhadap berbagai peluang. Dengan bekal tersebut, kita dapat memulai untuk merencanakan career plan yang memuat short-long term goal, current interest, hingga development need versi kita sendiri. 

Selanjutnya, materi kedua diisi oleh Bapam Rangga Septiyadi, chief Karier.Mu, yang memaparkan poin tentang charting your career path in education. Materi ini berfokus pada bagaimana tantangan bidang pendidikan dan potensi karier serta ekosistem yang mendukung karier di bidang pendidikan khususnya pada abad 21 ini. Dalam perkembangan kurikulum saat ini, pendekatan pembelajaran telah beralih dari teacher centered menjadi student centered. Hal ini dimaksudkan bahwa pendidikan saat ini lebih mendorong siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam praktiknya siswa pun harus difasilitasi oleh pembelajaran yang terpersonalisasi, terintegrasi digital, dan kolaborasi. Untuk itulah, beragam karier di bidang pendidikan berkembang dalam rangka mendukung pemenuhan tantangan zaman. Dalam hal ini Karier.Mu hadir untuk menjembatani tantangan dengan menghadirkan berbagai peluang solusi. 

Pada sesi kedua, webinar diisi oleh dua narasumber yaitu Ibu Jamika Nasaputra dan Ibu Siti Soraya Cassandra yang berbagi pengalamannya berkecimpung di dunia pendidikan. Cerita menarik bermula dari Ibu Soraya yang berkarya lewat Indonesia Mengajar untuk memfasilitasi keinginan berdaya dan tetap menyeimbangkan hidup pada sektor internal atau eksternal. Hal yang sama pun diungkapkan oleh Ibu Jamika yang mulanya berkutat di dunia perkantoran akhirnya beralih ke ranah pemberdayaan yang lebih fleksibel di bidang UI/UX. Dengan kisah inspiratif pencarian karier terbaik, nyatanya banyak sekali hikmah yang dapat dipetik dalam perjalanannya. 

Akhirnya, pencapaian karier adalah sebuah proses pencarian jati diri yang tidak instan. Dalam prosesnya, banyak hal yang perlu dipertimbangkan dengan dukungan support system. Semoga setiap dari kita bisa menikmati setiap peran yang dihadirkan untuk menjadi pribadi utuh yang tetap mengupayakan kebaikan dan kebermanfaatan di tiap prosesnya. Semangat Ibu dan Sister!

Reportase: Webinar BBM LBI X KARIER.MU

Penulis: Vianida Hardiningsih
Ilustrator: Endah Fajriani Rifai
Editor: Elfita Rahma Aulia