Tag: Tips Parenting

Banner – Mengelola Privacy Anak (2)
Uncategorized

Mengelola Privasi Anak di Era Digital

Di era teknologi yang semakin berkembang, orang tua semakin dipermudah dalam mengabadikan momen pertumbuhan si kecil. Selain mengabadikan momen, banyak yang mengunggah dan membagikan momen – momen si kecil tersebut di beragam aplikasi media sosial. Tidak jarang orang tua bahkan membuat akun media sosial khusus untuk anak yang didedikasikan sebagai “portofolio” anak atau sekedar galeri memori. Dilaporkan dalam sebuah penelitian di US, hampir 92% dari anak – anak berusia kurang dari 2 tahun sudah memiliki akun online yang dibuat oleh orang tuanya. Namun, tahukah Busist, ada resiko yang mengintai dari data/foto anak yang kita unggah di media sosial ? 

Penyalahgunaan dan pencurian data digital anak adalah salah satu dari resiko mengekspos data atau foto anak ke dunia digital. Apabila foto atau video tersebut sudah diunggah, maka kita akan kehilangan kendali terhadap foto atau video tersebut. Orang – orang yang mendapat akses ke akun media sosial kita atau media sosial anak dapat dengan mudah mengunduh foto/video tersebut, menyebarkannya dan menggunakannya untuk kepentingan tertentu. Foto/video anak tersebut bisa saja digunakan sebagai target pelecehan online atau kejahatan lainnya. Sebuah studi yang dilakukan oleh pemerintah Australia eSafety menemukan bahwa sekitar 50% dari foto yang dibagikan di situs-situs yang digunakan oleh para pedofil berasal dari sosial media.

Selain rawan menjadi target kejahatan, mengunggah foto anak di media sosial bisa membawa dampak psikologis bagi mereka. Bagi anak – anak yang sudah lebih besar seringkali mereka sudah bisa menolak untuk didokumentasikan dan diunggah ke media sosial. Banyak orang tua yang menganggap hal ini sepele. Mereka tidak mengindahkan privasi anak dan tetap mengunggahnya. Hal ini bisa membuat anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Jejak digital tumbuh kembang anak yang tersebar di dunia maya juga bisa jadi menjadi salah satu penyebab mereka kehilangan kepercayaan diri, terutama jika ada foto yang menunjukan bagian private anak meski diunggah ketika anak tersebut masih kecil.

Lalu bagaimana cara mengelola foto dan video  anak yang diunggah di platform daring agar tetap terjaga privasinya? Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orang tua, sebagai benteng pertama perlindungan anak, untuk mengelola privasi anak di dunia maya. Beberapa cara diantaranya adalah sebagai berikut : 

  • Jangan bagikan informasi rahasia seperti identitas lengkap, data medis, dan hal-hal yang bersifat pribadi
  • Jangan upload foto bagian private tubuh anak meski masih bayi
  • Jangan bagikan detail lokasi keberadaan dan sekolah anak
  • Minta izin kepada anak yang sudah lebih besar sebelum mengunggah foto dan videonya hargai privasi anak
  • Batasi audiens di platform yang digunakan untuk mengunggah foto anak. Contoh di platform Instagram, orang tua bisa menggunakan fitur close friend atau set akun menjadi private sehingga tidak bisa diakses oleh sembarang orang. 
  • Berkomunikasi aktif dengan sekolah terutama jika ada data anak yang perlu diunggah secara online oleh sekolah untuk kepentingan akademik.

Selain peran orang tua, peran pemerintah juga signifikan dalam melindungi hak privasi anak di dunia maya. Keberadaan pemerintah, terutama dalam memberantas kejahatan online dengan target anak – anak dan penyalahgunaan data, sangatlah dibutuhkan. Saat ini pemerintah sudah memiliki peraturan yang mengatur penggunaan data online. Peraturan tersebut tertuang dalam UU PDP (Undang Undang Perlindungan Data Diri). Di dalam UU tersebut juga dibahas tentang perlindungan data anak. Meski masih perlu disempurnakan, UU ini bisa menjadi dasar untuk orang tua agar lebih bijak mengelola privasi anak serta menjadi payung hukum dalam menindak pihak yang menyalahgunakan data dan foto/video anak.  Selain membuat peraturan, pemerintah juga perlu mensosialisasikan literasi digital terhadap semua lapisan masyarakat tentang adanya ancaman privasi anak. 

Mengelola privasi anak di dunia digital adalah tanggung jawab besar bagi setiap orang tua.  Melalui langkah-langkah perlindungan yang tepat, kita dapat menjaga keamanan dan kehormatan anak-anak kita di dunia maya, memastikan mereka tumbuh dengan aman dan percaya diri.

Referensi:

Bessant, C. (2018). Sharenting: balancing the conflicting rights of parents and children. Communications Law, 23 (1), 7-24.

Keith, B. E., & Steinberg, S. (2017). Parental sharing on the internet: Child privacy in the age of social media and the pediatrician’s role. JAMA pediatrics, 171 (5), 413-414.

Penulis: Ima Maharani
Ilustrator: Endah Fajriani Rifai
Editor: Elfita Rahma Aulia

7 cara menjadi tempat curhat anak
KeluargaUncategorized

7 Cara Menjadi Tempat Curhat Anak

“Pagi ini kaget banget dengar cerita dari mamanya teman anakku kalau anakku katanya lagi suka sama teman sekelasnya. Duh, yang jadi pikiran bukan karena anakku yang sedang kasmaran. tetapi kenapa anakku tidak cerita dan malah dapat curhatan dari mama temannya” 

Kira-kira beginilah versi galaunya ibu-ibu yang tidak mendapatkan kesempatan mendengarkan curhat anak secara langsung tapi malah dapat dari cerita orang lain. Semacam ada rasa sedih mengapa bukan kita yang menjadi tempat anak untuk bercerita apa saja termasuk hal-hal kritis seperti ini. Kalau sudah begini jangan ragu untuk evaluasi hubungan kita dengan anak, ya. Setuju, nggak, Bu?

Skenario peristiwa diatas saat ini mungkin banyak terjadi. Salah satu penyebabnya adalah Kemajuan teknologi. Era digital akan memberikan tantangan tersendiri untuk kita para orang tua milenial. Terutama soal pengasuhan anak yang terkadang jadi serba tidak fokus disebabkan oleh gangguan yang datang akibat aktivitas di dunia maya yang dilakukan oleh orang tua secara tidak sadar atau juga oleh anak-anak yang over-focus pada gawainya sehingga less attention dengan lingkungan sekitar akibat pengawasan yang lemah dalam penggunaan gawai oleh orang tua. Hal ini tentu berdampak besar, salah satunya pada kualitas hubungan antara orang tua dan anak yang bisa saja memiliki penurunan komunikasi bahkan sampai hilangnya rasa perhatian antara orang tua dan anak secara tidak sadar. Menurut Bainar (2020) ada beberapa faktor anak memilih curhat dengan orang lain atau di media sosial, (1) karena orang tua pernah abai dan cuek dengan cerita yang pernah disampaikan, (2)  lalu orang tua selalu mendominasi pembicaraan bukan lebih banyak mendengar, dan (3) orang tua tidak mampu membangun komunikasi intensif di sela kesibukannya.

Apabila kondisi ini dibiarkan secara terus menerus maka tidak mengherankan jika anak akan memilih memiliki dunianya sendiri di dalam gawai, seperti lebih memilih curhat lewat media sosial, atau berhubungan dengan orang asing melalui game community-nya hingga pada akhirnya tidak pernah bercerita apapun lagi kepada orang tua. Wah, kalau sudah begini tentu akan sangat repot jika kita tidak lagi menjadi tempat pertama yang anak cari untuk bercerita keluh kesahnya. Selain kita kehilangan golden memory untuk sharing each other, tentu kita akan sulit mengawasi apakah anak berada pada pergaulan, ideologi, atau pemahaman yang tepat sesuai dengan bunda dan ayah harapkan kalau bukan dari ngobrol bareng mendengarkan cerita anak.

Pada dasarnya, orang tua tentu menginginkan kelekatan yang harmonis dengan anak, namun fakta dilapangan sering sekali kita melupakan hal-hal penting pada soal gaya komunikasi yang tepat atau bagaimana cara memberikan perhatian yang disukai oleh anak, sebab ternyata akan berpengaruh pada preferensi anak untuk memilih tempat bercerita (Pandu dkk. 2014). Oleh sebab itu nih, Ibu dan Sister, ada tips untuk kita para orang tua agar dapat menjadi pilihan pertama tempat anak bercerita sejak kecil (Sihabudin, 2015) :

1. Menciptakan hubungan baik

Orang tua berwajah manis kepada anak, sering menanyakan hal-hal remeh yang merupakan tanda bahwa orang tuanya sangat perhatian walau terhadap hal-hal kecil, dan ketika anak datang kepada kita, kita harus membangun suasana nyaman dan terbuka siap mendengar, seperti contoh Wah, gimana hari ini? Apakah ada yang bisa Ibu bantu?”

2. Mendengarkan dengan sepenuh hati

Saat anak sudah datang dan berani bercerita, maka jangan pernah sekali-kali kita membagi waktu berceritanya dengan hal apapun. Bermain gawai, mengurus pekerjaan dsb. Respon paling tepat adalah segera letakkan gawai, dan tatap wajah anak dengan seksama.

3. Bukan asal potong

Nah, sering banget ya, Bu, kita para orang tua memotong cerita anak dan memberikan tanggapan, padahal mungkin masih banyak cerita yang ingin anak sampaikan. Jadi, mulai sekarang biarkan anak bercerita sampai pada akhirnya dia bertanya tentang tanggapan kita.

4. Berempati dengan ceritanya

Ayo buk belajar masuk kedalam perasaan anak kita saat mereka bercerita. Sehingga tanggapan kita bisa sesuai dengan sudut pandangnya, dan kita tidak melukai perasaannya, bisa dibilang kita harus mampu memvalidasi perasaan anak saat bercerita apakah dia sedih, senang, takut atau kecewa.

5. Menjadi pendengar yang baik

Soal ini kita harus banyak berlatih dengan anak, kita harus mulai belajar bisa membaca kehendak anak, apakah anak hanya ingin mendengar atau anak mencari solusi dari sisi kita. Jangan sampai ternyata anak hanya ingin cerita, tetapi kita malah memberi tanggapan berupa nasihat sepanjang kereta api. Hehehe…

6. Jangan jadi guru, tapi teman

Kita tidak perlu merasa lebih tahu untuk hal-hal tertentu dibandingkan anak. Anggaplah kita sedang berdiskusi dan sama sama tidak tahu persoalan ini.

7. Bisa menjaga rahasia

Nah ini lho, Bu, seringkali kita tidak tahan untuk cerita ke orang lain soal cerita anak kita. Padahal kita sudah jadi tempat kepercayaan anak lho, Bu. Jadi, jangan sampai anak malah tidak mau cerita ke kita lagi, ya.

***

Referensi:

Bainar. (2020). Urgensi Mendengarkan Pendapat Anak Dalam Pendidikan Islam Bagi Orang Tua Muslim Perpektif Al-Quran Di Era Digital. Al-Mutharahah: Jurnal Penelitian Dan Kajian Sosial Keagamaan. Vol. 17 No. 2. Juli-Desember 2020. P-Issn 2088-0871. Doi: 10.46781/Al-Mutharahah.V17i2.143

Pandu Me. Abbas Rr. Mengge B. (2014). Orang Tua Ideal Masa Kini (Studi Keharmonisan Orang Tua-Anak Pada Empat Etnik Di Makassar). J.Socius Volume Xv, Januari – April 2014.

Sihabudin M. (2015). Peranan Orang Tua Dalam Bimbingan Konseling Siswa. Jurnal Kependidikan, Vol. Iii No. 2 

Penulis: Anisha Ayuning Tryas
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa

Mengajarkan Matematika LBI
Pengetahuan

Mengajarkan Matematika untuk Anak Usia Dini

Anak usia dini adalah anak yang masuk dalam rentang usia 0–6 tahun, sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 ayat 1. Pada usia ini, anak-anak sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, bahkan sering pula dikatakan sebagai lompatan perkembangan. Oleh karena itu, anak-anak membutuhkan banyak stimulus untuk mengembangkan aspek perkembangan mereka seperti nilai-nilai agama dan moral, motorik fisik, bahasa, kognitif, emosional, dan seni. Adapun yang termasuk aspek perkembangan kognitif yaitu pengetahuan umum, ilmu pengetahuan, konsep bentuk, warna, ukuran, pola, dan matematika.

Seperti yang kita tahu, matematika merupakan ilmu yang erat kaitannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun, berbicara tentang matematika, yang terlintas ketika mendengar kata tersebut: rumit, susah dan berbagai perspektif lainnya. Bagaimana, nih, menurut Ibu dan Sister? Matematika tentu perlu diajarkan di sekolah, bahkan sejak prasekolah, sesuai dengan tingkat berpikir anak. Penguasaan anak pada matematika bisa menjadi parameter keberhasilan anak di bidang lain, seperti yang dikemukakan oleh Nurhazizah, ”Kemampuan matematis anak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.” Tagle menyatakan, ”At an early age, children have natural love mathematics.”

Wah, menarik, ya, Ibu dan Sister. Seperti yang disebutkan oleh Tagle, pada dasarnya anak suka dengan matematika, sehingga untuk pengajaran matematika sendiri dapat dilakukan sejak anak usia dini. Tentunya para Ibu dan Sister sekalian bisa menyesuaikan pembelajarannya sesuai dengan tahap perkembangan anak.

Research on children’s learning in the first six years of life demonstrates the importance of early experiences in mathematics. An engaging and encouraging climate for children’s early encounters with mathematics develops their confidence in their ability to understand and use mathematics. These positive experiences help children to develop dispositions such as curiosity, imagination, flexibility, inventiveness, and persistence, which contribute to their future success in and out of school (Clements & Conference Working Group, 2004).

Pembelajaran matematika untuk anak usia dini diperoleh melalui pengalaman langsung dengan suasana yang menggembirakan dan bermakna sehingga mampu menumbuhkan minat anak untuk belajar matematika. Pembelajaran harus dirancang sebaik mungkin sehingga pembelajaran matematika menjadi pengetahuan yang disukai dan menarik dapat tercapai. Bermain, mendongeng, dan praktik langsung dapat menjadi alternatif untuk mengajarkan matematika pada anak usia dini, karena dengan begitu anak dapat belajar banyak hal tanpa merasa terbebani dan tidak mudah jenuh. Selain itu, matematika hendaknya disajikan dengan menggunakan alat bantu berupa objek nyata ataupun gambar untuk menarik minat anak dalam belajar.

Ada beberapa cara sederhana untuk mengajarkan matematika pada anak yang mungkin Ibu dan Sister dapat coba di rumah, yaitu:

  1. Dimulai dari berhitung

Ibu dan Sister bisa memulai mengajarkan matematika pada anak dengan memulai mengenalkan angka pada mereka. Tentunya, dengan cara-cara menarik yang membuat anak termotivasi dan mulai menyukai matematika.

  1. Menggunakan benda yang ada di sekitar

Ibu dan sister bisa menggunakan benda di sekitar untuk mulai mnegajarkan matematika kepada anak. Misalnya, kancing, uang, buku, buah, mainan, dan lain-lain. Mengajarkan matematika akan lebih mudah ketika menggunakan benda fisik yang dapat dilihat dan disentuh langsung oleh anak. 

  1. Kenalkan matematika sebagai permainan

Saat ini banyak sekali berbagai macam permainan anak yang dijual untuk membantu ibu dan sister mengajarkan matematika pada anak. Ibu dan sister bisa memilah dan memilih mana permainan yang sesuai untuk tumbuh kembang anak. Bahkan tanpa disadari, beberapa permainan matematika terbaik biasanya datang dari imajinasi ibu dan sister sendiri, lo. 

  1. Mengaplikasikan matematika dalam keseharian 

Bantu anak-anak kita mendapatkan hasil yang maksimal dari pembelajaran matematika dengan cara mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya, dengan sambil menetapkan tujuan yang dapat dicapai oleh anak. Contoh sederhananya, mengajak anak menghitung jumlah buah yang ada di hadapannya. Dengan menunjukkan kepada anak betapa menyenangkannya matematika, mereka pun nantinya akan menikmati proses tersebut dengan antusias.

***

Referensi:

Apryl, Duncan. (2019). 7 Simple Strategies for Teaching Math to Kids. Diakses dari https://www.thoughtco.com/strategies-for-teaching-math-to-kids-3128859

Mathematics in Early Childhood Learning. Diakses dari https://www.nctm.org/Standards-and-Positions/Position-Statements/Mathematics-in-Early-Childhood-Learning/

Musrikah. (2017). Pengajaran Matematika Pada Anak Usia Dini. Martabat : Jurnal Perempuan dan Anak Vol.1, No1. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/276689-pengajaran-matematika-pada-anak-usia-din-d2183e76.pdf

Rusdawati. (2019). The Early Childhood Mathematics Learning. International Conference of Early Childhood Education. Journal Advances in Social Science, Education and Humanities Research Volume 449. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/343168924_The_Early_Childhood_Mathematics_Learning

Sa’ida, Naili dan Kurniawati, Tri. (2020). Proceding Universitas Muhammadiyah Surabaya International Webinar On Education 2020. Introduction of early childhood mathematics through online learning (e-learning) during the covid-19 pandemic period. Diakses dari http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/Pro/article/view/5987

Penulis: Putri Rahayu
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa

Tips Parenting LBI
Pengetahuan

Membantu Proses Belajar Anak

Proses belajar terjadi setiap saat. Namun, bagi anak-anak, proses ini seolah lebih ditekankan mengingat adanya harapan serta tuntutan dari orang tua. Sebenarnya, apa, sih, yang bisa dilakukan orang tua untuk membantu anaknya belajar?

Anak temanku belajar membaca sejak umur setahun.
Anak tetanggaku bisa tiga bahasa sebelum masuk SD.
Anak saudaraku sudah lancar bermain musik walaupun belum sekolah.
Oh, tidak! Apakah anakku ketinggalan?

Tenang dulu, ya, Bu.

Kemampuan anak, baik itu akademis maupun nonakademis, rasanya selalu menjadi sorotan orang tua. Tidak jarang hal tersebut diceritakan baik ke orang-orang terdekat maupun lewat media sosial. Sayangnya, pengetahuan akan kemampuan anak lain sering membuat orang tua cemas karena anaknya sendiri kalah hebat atau kalah cepat. Padahal manusia terlahir dengan keunikannya masing-masing, baik kelebihan maupun kekurangannya. Belum lagi dengan adanya perbedaan latar belakang dan pengalaman hidup seseorang. Itu sebabnya setiap orang, termasuk anak-anak, memproses dan menangkap sesuatu dengan cara yang berbeda. 

Namun, saya ingin anak saya pintar dan berprestasi. Demi masa depannya yang cemerlang.

Tentu saja, Bu. Setiap orang tua pasti berharap yang terbaik untuk anaknya. Apalagi di era globalisasi ini persaingan semakin ketat. Namun, sebelum memasang target dan harapan, ada baiknya kita sebagai orang tua bertanya kembali, apa, sih, tujuan manusia belajar?

Proses belajar memang ditentukan oleh tujuan awalnya, apakah sekadar untuk lulus dan mendapat nilai bagus, untuk tahu banyak hal, atau lebih dari itu? Proses belajar yang baik sejatinya akan mengubah diri manusia, baik itu cara berpikir, cara melihat sesuatu, hingga cara bertindak. Ini artinya, belajar tidak berhenti ketika kebutuhan informasi sudah didapat. Namun, berkelanjutan hingga benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Wah, ternyata proses belajar kompleks sekali ya, Bu? Tapi tenang saja, orang tua punya kesempatan emas untuk membantu anaknya belajar. Berikut beberapa caranya.

  1. Dorong kemampuan bahasa anak

Hal ini dapat diterapkan sedini mungkin, dengan rutin mengajak bicara, bercerita, atau membacakan buku. Selain mengeratkan ikatan, bercerita dapat memperluas kosa kata, meningkatkan kemampuan memahami, dan berlatih berpikir kritis.

  1. Beri ruang untuk eksplorasi

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa setiap anak berbeda. Untuk mengetahui keunikannya, baik itu bakat minat maupun cara belajar yang cocok, anak perlu banyak mencoba. Ingat mantranya, anak akan belajar dengan maksimal jika ia merasa nyaman, dengan cara yang cocok dengannya, dan dalam bidang yang ia suka. 

  1. Menanyakan pertanyaan open-ended

Sederhananya, lemparkan pertanyaan dengan awalan “mengapa” atau “menurutmu bagaimana”. Atau pertanyaan lain yang butuh jawaban panjang. Setelah bertanya, dengarkanlah. Dengarkan dengan penuh perhatian tanpa menghakimi atau buru-buru mengoreksi. Dengan begitu, Ibu bisa melihat sampai dimana pemahaman sang anak. Bagian mana yang ia sudah mengerti, mana yang belum. 

  1. Bantu anak untuk melihat perspektif yang luas

Setelah Ibu melihat sampai di mana pemahaman anak, mungkin ada bagian yang belum dipahami dengan baik. Tidak masalah. Bantulah sang anak untuk memahami dengan memberinya gambaran yang lebih luas. Dengan melihat gambar besarnya, ia akan lebih mudah membayangkan dan pada akhirnya mengerti. Tidak hanya mengerti ilmunya, tapi juga mengerti mengapa hal ini harus dipelajari.

  1. Latihan keras

Dalam menguasai kemampuan tertentu, misalnya olahraga atau musik, dibutuhkan latihan keras. Latihan keras artinya melawan rasa malas dan bosan, hal ini membutuhkan kemauan dan kecintaan. Karena dengan demikian, latihan yang sulit pun tetap akan dijalani. Maka perlu benar-benar dipastikan bahwa anak memiliki kecintaan dan keinginan kuat dalam menguasai bidang tersebut. 

Bagaimana, Bu? Apakah terbantu dengan tips di atas? Semoga mulai sekarang tidak perlu lagi ya merasa insecure dengan pencapaian anak lain. Lebih baik kita fokus dengan keunikan anak sendiri. Karena proses belajar anak bukanlah kompetisi yang harus dimenangkan. Namun, bagaimana anak kita dapat menemukan “bintangnya” sendiri dan menjadi ahli dalam bidangnya dengan cara yang terbaik. Selamat membersamai proses belajar anak, ya, Bu!

***

Referensi:

Brooks, Clare. MOOC: What Future for Education. University of London: UCL Institute of Education. Diakses dari https://coursera.org/learn/future-education

Penulis: Detta Devia
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Fadlillah Octa

memberi pujian pada anak
Keluarga

Stop Memuji Anak Pintar!

Memuji adalah salah satu bentuk apresiasi. Namun, sudah tepatkah cara kita memuji anak? 

Ibu, siapa yang tidak suka memuji anak? Pujian memang dianggap sebagai bentuk menghargai seseorang. Tidak jarang juga menjadi salah satu cara untuk memotivasi. Namun, sebagian orang tidak suka memuji dengan alasan tidak mau membuat anak cepat puas. Harapannya, anak tersebut akan memiliki standar yang lebih tinggi untuk puas diri.

Dalam masyarakat sendiri, kata pintar, baik, atau bagus mungkin menjadi sebutan favorit untuk memuji seseorang, terutama anak-anak. Nilai ujiannya bagus? Pintar. Meminjamkan mainan ke temannya? Anak baik. Bisa menggambar? Bagus. Namun, sebenarnya apa, sih, makna pintar, baik, dan bagus itu? Memang agak sulit untuk dideskripsikan, apalagi bagi anak-anak. Apakah anak pintar adalah anak yang nilai sekolahnya bagus? Bagaimana jika nilai tersebut didapat dengan cara yang tidak baik? Mencontek, misalnya. Apakah tetap pintar? Toh, tidak ada yang tahu. Termasuk sang pemberi pujian.

Lalu, apakah melabeli anak dengan kata pintar sudah tepat? Pujian yang fokus pada atribut yang dimiliki seorang anak, seperti pintar, penampilan, atau sekedar istilah anak baik, ternyata lebih banyak efek negatifnya. Berikut beberapa di antaranya:

  1. Membuat anak berpola pikir fixed mindset. Anak percaya bahwa kepintaran adalah sesuatu yang tetap. Jika berhasil, ia merasa pintar. Begitu pun sebaliknya
  2. Membuat anak memilih pekerjaan yang mudah atau sudah pasti berhasil. Anak ingin mempertahankan predikat pintar tersebut. Sehingga fokusnya hanya pada hasil, bukan proses belajar itu sendiri. 
  3. Meningkatkan kecenderungan berbuat curang. Berdasarkan penelitian, kecenderungan berbuat curang lebih tinggi pada anak yang dipuji pintar/bagus daripada anak yang dipuji usahanya atau bahkan tidak dipuji sama sekali. 

Jika memuji pintar kurang tepat, bagaimana cara yang baik untuk mengapresiasi anak? Penelitian menunjukkan bahwa memuji usaha anak adalah cara yang terbaik. Pujian ini sangat mengutamakan proses. Karena usaha bersifat fleksibel, bisa ditambah dan bisa dikurangi. Anak yang terbiasa menerima pujian dari usahanya akan berpola pikir flexible mindset. Jika ingin berhasil, ia akan memberi usaha yang lebih. Jika gagal, dia tidak merasa bodoh, melainkan kurang usaha.

Memang lebih sulit daripada menyebut kata pintar, ya, Bu. Berikut beberapa tips agar memuji menjadi lebih mudah dan efektif:

  • Deskripsikan apa yang Ibu lihat.

“Lantainya bersih ya, buku-buku dan mainan juga sudah rapi di tempatnya.”

  • Deskripsikan perasaan Ibu.

“Mama senang sekali melihat ruang bermain ini kembali rapi.”

  • Beri nama pada kelakuan baik anak.

“Tadi Adik abis main dan lantainya kotor kena cat, lalu Adik langsung beresin mainan dan mengepel lantainya. Itu namanya bertanggung jawab.”

  • Puji usahanya.

“Walaupun susah, Adik berusaha keras untuk membersihkan kotoran di lantai, ya.”

***

Referensi:

Bayat, Mojdeh. (2011) Clarifying Issues Regarding the Use of Praise with Young Children. Sage Journal: Hammil Institute on Disabilities. Diakses dari https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0271121410389339

Faber, Adele & Elaine Mazlish. (1999) How to Talk so Kids will Listen & How to Listen so Kid will Talk. London: Piccadilly Press

Zhao, Li., Gail. D. Heyman., Lulu Chen., & Kang Lee. (2017) Praising Young Children for Being Smart Promotes Cheating. Sage Journal: Association for Psychological Science. Diakses dari https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0956797617721529

Penulis: Detta Devia
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa