Membaca untuk Menumbuhkan Empati
Pengetahuan

Membaca untuk Membangun Empati Anak

Agar membaca bukan sekadar membaca, bagaimana caranya membaca sambil membangun empati anak?

Kegiatan membaca bagi anak mungkin menjadi salah satu kegiatan edukasi yang bisa dilakukan oleh orang tua. Namun, jika kegiatan membaca tersebut hanya sekadar membaca dan dilakukan dengan proses yang sama, tentunya lama kelamaan kegiatan tersebut akan menjadi sesuatu yang membosankan bagi anak. Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa orang tua yang akhirnya melakukan kegiatan reading aloud (membaca keras) dan storytelling (membacakan cerita) dengan menggunakan alat peraga supaya anak tetap tertarik terhadap kegiatan literasi ini. 

Terkadang orang tua menginginkan agar kegiatan membaca yang dilakukan dapat memberi pengaruh yang positif terhadap kegiatan anak-anak dalam kesehariannya, salah satunya adalah berempati. Tenang saja, karena kegiatan membaca, terutama membaca bacaan narrative text (cerita fiksi) memang dapat mengembangkan rasa empati anak terhadap lingkungan sekitarnya melalui karakter tokoh yang terdapat dalam cerita (Batini, Bartolucci, & Timpone, 2018). 

Untuk itu, dalam buku Membaca untuk Membangun Empati yang ditulis oleh beberapa anggota Komunitas Guru Belajar ini menyebutkan beberapa cara agar kegiatan membaca menjadi lebih bermakna dan menarik bagi anak. Kegiatan ini bisa kita sebut sebagai kegiatan literasi bermakna (Komunitas Guru Belajar, 2020). Eits, jangan salah, ternyata literasi itu bukan sekadar perihal baca dan tulis, tetapi juga bagaimana kita bisa mengolah informasi yang didapatkan dari buku untuk memecahkan masalah. Dalam hal ini, permasalahan yang akan diselesaikan adalah bagaimana menghadapi orang yang berbeda dari kita (berempati). 

Dalam buku Membaca untuk Membangun Empati ini juga disebutkan bahwa salah satu kegiatan literasi bermakna bisa dilakukan dengan menggunakan media permen warna-warni. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

  1. Pertama, meminta anak untuk memilih warna dari pilihan warna-warna permen yang ada.
  2. Kemudian orang tua memperlihatkan sekotak permen warna-warni, lalu bertanya pada anak, “Menurut kamu, permen-permen ini bagaimana?” Kemungkinan anak akan menjawab, “Warna-warni.”
  3. Setelah itu, orang tua membuat pernyataan sekaligus pertanyaan, “Tahu gak, sih, kita itu sama saja seperti permen-permen ini?”
  4. Selanjutnya, orang tua bisa meminta anak untuk memakan permen tersebut dan bertanya, “Bagaimana rasanya?” Kemungkinan anak akan menjawab, “Manis … enak.”
  5. Terakhir, orang tua menjelaskan bahwa rasa permen yang kita pilih itu sama walau berbeda warnanya, dan permen-permen itu juga sama-sama bisa dimakan. Artinya, kita ini walau berbeda fisiknya (hitam, tinggi, gemuk), tetapi sama-sama manusia dan memiliki kesempatan yang sama.

Setelah kegiatan tersebut, kita bisa membahas lebih lanjut seputar bagaimana contoh sikap berempati di lingkungan sekitar, yang terpenting adalah anak bisa memahami bagaimana konsep berempati itu. Selamat mencoba langkah-langkah di atas! 😊 

Referensi:

Batini, F., Bartolucci, M., & Timpone, A. (2018). The effects of reading aloud in the primary school. Psychology and Education: An Interdisciplinary Journal, 55(1&2), 111-122

Komunitas Guru Belajar. (2020). Guru Belajar: Membaca untuk Membangun Empati (edisi khusus program bersama Indika Foundation). Jakarta Selatan: Kampus Guru Cikal

Penulis: Silvya Budiharti
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Fadlillah Octa

Banner Web LBI 850×250
KeluargaPengetahuan

Pentingnya Memahami Bahasa Ibu Sebelum Mempelajari Bahasa Asing bagi Anak

Belajar bahasa asing memang penting, tapi kalau anak belajar bahasa asing sebelum mahir bahasa ibunya, akan berpengaruh baik nggak, ya?

Mengingat banyaknya pengaplikasian bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) dalam kehidupan sehari-hari, membuat banyak orang tua yang memberikan perhatian ekstra terhadap anaknya dalam hal pendidikan. Misalnya, mendaftarkan anaknya di sekolah bertaraf internasional, mendaftarkan anak les bahasa, dan mengenalkan anak sedini mungkin terhadap bahasa asing, entah itu melalui film, video singkat, maupun kartu kosakata (flashcard). Namun, banyak orang tua yang lupa, bahwa mempelajari bahasa ibu juga penting sebelum memperkenalkan bahasa asing kepada anak. Banyak yang menyepelekan hal ini karena seorang anak biasanya akan menguasai bahasa ibu secara otomatis tanpa perlu proses belajar khusus. Mungkin, bagi yang memiliki orang tua dengan suku yang berbeda, mereka akan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.

Mengapa hal ini menjadi penting?

Ada kasus bahwa terdapat anak yang tidak dapat membedakan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hal ini terjadi karena si anak yang terbiasa dengan bahasa Inggris sejak kecil, baik dari tontonan, bacaan, bahkan percakapan dengan orang tuanya yang menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Indonesia. Jadi, sejak kecil si anak belum betul-betul memahami, mana yang merupakan bahasa ibunya? Hal ini berdampak pada proses pembelajaran si anak yang kesulitan untuk mempelajari materi sekolah, lantaran bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia.

Jadi, apa saja peran penting bahasa ibu bagi anak?

Menurut Nishanthi (2020), ada beberapa hal yang menjadi alasan kenapa, sih, bahasa ibu itu penting bagi anak, terutama anak-anak yang masih berusia dini. Di antara alasan tersebut adalah bahwa ketika anak sudah memahami bahasa ibunya dengan baik, maka hal ini akan berpengaruh baik terhadap perkembangan intelektual anak tersebut. Selain itu, memahami bahasa ibu dengan baik juga memengaruhi anak ketika ia akan belajar bahasa lain dengan memberikan dasar yang kuat terhadap kemampuan kebahasaan yang dimiliki anak. Hal ini diperoleh dari proses penerjemahan dan transfer yang anak lakukan terhadap struktur bahasa yang berbeda antara bahasa ibu dan bahasa asing yang sedang dipelajari. Alasan ini juga disebutkan oleh Yadav (2014) dalam artikelnya bahwa kefasihan anak terhadap bahasa ibunya akan menjadi dasar kognitif dan linguistik bagi anak dalam mempelajari bahasa lain, misalnya bahasa Inggris.

Oleh karena itu, ada baiknya kita memastikan apakah anak sudah mampu memahami bahasa ibunya sebelum beranjak untuk belajar bahasa asing. Bukan berarti kita tidak boleh mengajarkan bahasa asing pada anak sedari kecil, tapi akan lebih baik ketika kita mengajarkan bahasa asing tersebut sambil memberi pemahaman pada anak tentang bahasa apa yang sedang kita gunakan.

Semoga tulisan ini tidak menyurutkan semangat ibu-ibu dalam mengajarkan bahasa asing pada anak. Semoga bermanfaat, ya! Salam hangat.

Referensi:

Nishanthi, R. (2020). Understanding of the importance of mother tongue learning. International Journal of Trend in Scientific Research and Development, 5(1). 77-80. http://www.ijtsrd.com/

Yadav, M. K. (2014). Role of mother tongue in second language learning. International Journal of Research, 1(11). 572-582

Penulis: Silvya Budiharti
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Fadlillah Octa

memilih sekolah (2)
Keluarga

6 Hal yang Perlu Dipertimbangkan dalam Memilih Sekolah Anak

Halo, Ibu! Saat ini sudah memasuki tahun ajaran baru, nih. Bagi Ibu yang anak-anaknya belum masuk sekolah, apakah sudah menentukan anak akan sekolah di mana?

Pada masa pandemi seperti sekarang ini, sepertinya hal yang paling penting dari sekolah anak ialah sekolah yang mampu membuat anak bertahan di depan layar sambil tetap mengikuti pembelajaran, ya, Bu. Terutama untuk anak-anak usia dini, seperti kelompok bermain, taman kanak-kanak, atau yang masih duduk di kelas 1–3 SD.  Namun, secara umum, apa saja, sih, yang harus dipertimbangkan saat akan memilih sekolah anak? Berikut beberapa hal yang mungkin dapat menjadi bahan diskusi orang tua saat menentukan sekolah mana yang terbaik.

  1. Core Values 

Prinsip dan pedoman sekolah dalam menjalankan aktivitasnya sangat penting dalam menentukan terbentuknya nilai-nilai dasar yang ingin kita tanamkan kepada anak, misalnya nilai nilai keagamaan, karakter, kepemimpinan, kemandirian anak, dan kecintaan terhadap belajar. Memilih sekolah yang sesuai dengan nilai yang dipegang orang tua akan mempermudah pembentukkan karakter anak nantinya.

  1. Kurikulum Sekolah

Pemilihan kurikulum sekolah selain mempertimbangkan potensi anak dan kemampuan orang tua, sebaiknya juga mempertimbangkan tujuan sekolah lanjutan anak nantinya.  Secara umum, kurikulum sekolah di Indonesia terbagi atas kurikulum nasional dan internasional. Kurikulum nasional  biasanya diterapkan oleh sekolah negeri maupun swasta. Kurikulum internasional yang diterapkan di Indonesia saat ini di antaranya, Cambridge International, Montessori, Singaporean Primary School, International Baccalaureate (IB), dan International Primary.

  1. Jarak dari Rumah

Menurut psikolog, Alzena Masykouri, jarak sekolah anak usia di bawah 12 tahun idealnya tidak lebih dari 5 kilo meter dari rumah. Dengan demikian, anak memiliki waktu istirahat yang cukup, tidak mengalami stres dalam perjalanan, sehingga akan mengikuti pelajaran dengan kondisi prima.

  1. Fasilitas Sekolah

Ruang kelas yang nyaman dan kondusif untuk belajar, toilet yang bersih dan sesuai untuk anak, dan ruang yang cukup untuk bermain atau berolahraga, adalah beberapa fasilitas yang wajib dimiliki oleh sekolah. Pada masa pandemi, sekolah juga sebaiknya menyediakan tempat cuci tangan di berbagai tempat, alat kebersihan dan disinfektan, ruangan yang steril atau pembersih udara (air purifier), tenaga kesehatan di sekolah, serta platform e-Learning yang mampu membuat kegiatan pembelajaran tetap optimal.

  1. Kompetensi Guru dan Kemampuan Adaptasi Sekolah Daring

Duduk diam mendengarkan orang bicara bagi orang dewasa saja seringkali membosankan, apalagi untuk anak-anak yang sedang aktif-aktifnya bergerak. Oleh karena itu, selain penguasaan terhadap materi, guru harus bisa menciptakan interaksi yang menyenangkan sehingga anak anak betah mengikuti kelas. Untuk mengetahui hal ini, selain bisa survei langsung saat pertemuan tatap muka, Ibu juga bisa mengikuti kelas uji coba gratis maupun berbayar yang biasanya diadakan sekolah.

  1. Biaya

Meskipun ingin pendidikan berkualitas terbaik bagi anak, kita harus memastikan biaya sekolah anak tidak sampai mengganggu stabilitas keuangan keluarga. Menurut perencana keuangan Prita Ghozie, alokasi dana pendidikan untuk semua anak idealnya sebesar 10% dari penghasilan keluarga. Alokasi ini termasuk pendidikan formal dan informal.

Apa pun pilihan sekolah untuk anak kita, semoga anak-anak menikmati waktu belajarnya dan dapat mengeluarkan potensi terbaik mereka, ya, Bu.

Tips: Beberapa sekolah biasanya memberikan potongan biaya uang pangkal untuk pendaftar pada periode tertentu. Jadi kalau Ibu sudah yakin dalam menentukan sekolah anak, segera daftarkan saat pendaftaran baru dibuka ya, Bu!

Referensi:

Things to Consider When Choosing Primary Schools. Diakses dari https://raisingchildren.net.au/preschoolers/play-learning/preschool/choosing-a-primary-school

Tempuh Jarak Jauh Demi Kejar Mutu Sekolah, Ya atau Tidak? Diakses dari https://kumparan.com/amp/kumparanmom/tempuh-jarak-jauh-demi-kejar-mutu-sekolah-ya-atau-tidak-1552472065399693737

Penulis: Restu Prianti Putri
Desainer: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa

Lab Belajar Ibu – Sekolah SD Jepang
Keluarga

Anak Masuk SD di Jepang, Apa Saja Persiapannya?

Berbeda dengan Indonesia, tahun ajaran baru sekolah di Jepang dimulai dari bulan April. Namun, persiapan untuk masuk sekolah dasar di Jepang biasanya sudah dimulai sekitar bulan Oktober/November. Bagi anak yang sudah genap berusia 6 tahun per 1 April, wajib mengikuti pendidikan sekolah dasar, baik warga negara Jepang maupun warga negara asing yang tinggal di Jepang. Penempatan sekolah didasarkan sistem zonasi terdekat, karena standar kualitas sekolah dasar negeri baik fasilitas, kurikulum, kualitas guru, dll. di setiap daerah cenderung sama. Para orang tua tidak perlu repot memilih sekolah dasar negeri, cukup mengikuti anjuran dalam surat yang dikirim oleh kuyakusho (pemerintah daerah setempat) melalui pos. Biaya masuk sekolahnya juga gratis karena sudah disubsidi oleh pemerintah. 

Pada bulan Desember, ada tes kesehatan gratis di sekolah SD yang wajib diikuti oleh calon siswa, meliputi cek kesehatan mata, telinga, dll. Sekolah perlu mengetahui kondisi kesehatan anak untuk melakukan antisipasi dan penyembuhan bagi yang sakit sebelum ajaran sekolah dimulai. Di akhir tes akan ada konsultasi khusus dengan dokter anak terkait perkembangan anak dengan detail. Hasil pemeriksaan kesehatan tersebut akan dikirimkan melalui pos ke alamat rumah. Pada bulan Februari, kegiatan dilanjutkan dengan pertemuan tentang penjelasan persiapan orientasi masuk sekolah. Dalam pertemuan ini banyak sekali informasi yang disampaikan oleh guru. Meskipun ada file print out yang sudah dibagikan, tetapi bagi warga negara asing yang memiliki keterbatasan bahasa Jepang mungkin akan bingung karena adanya informasi tambahan. Saya pribadi akhirnya merekam pembicaraan guru, sehingga bisa diputar ulang dan didengarkan suami yang sudah fasih berbahasa Jepang. Hal ini dilakukan agar tidak ada informasi yang terlewat.

Sebagian kebutuhan siswa sudah disediakan oleh pihak sekolah seperti kotak alat tulis (dogubako), nametag, buku laporan (renrakucho), buku pelajaran, balok untuk belajar berhitung, serta alarm kecil dan sempritan yang digantung di ransel. Menurut sensei, alarm kecil berwarna kuning tersebut kalau dipencet akan keluar suara yang bunyinya mirip dengan suara sirene ambulan. Kebayang, kan, kalau bunyi, sekeras apa suaranya? Bentuknya yang lucu pastinya membuat anak penasaran, maka orang tua harus selalu mengingatkan anak untuk tidak bermain-main dengan sirene itu. Alarm dan sempritan diberikan sekolah sebagai upaya keselamatan anak jika sewaktu-waktu ada bahaya. Di Jepang tidak ada seragam sekolah, jadi anak-anak memakai baju bebas. Walaupun sebagian sekolah ada yang memiliki seragam, tetapi pada umumnya tidak ada seragam untuk siswa SD. 

Yang paling seru dan cukup menguras tenaga dan biaya adalah saat berburu peralatan sekolah yang harus dibeli sendiri oleh orang tua, seperti, tas ransel (randoseru), baju olahraga/senam, sepatu senam, topi merah, sepatu dalam sekolah (zukku), topi kuning khas anak SD, berbagai macam kantong, peralatan tulis, kotak pensil, pensil warna, cat air, harmonika, peralatan lukis, baju renang, alas makan, celemek, dan lap bersih-bersih. Di Jepang setiap barang harus dimasukan ke dalam kantongnya masing-masing, maka banyak sekali jenis kantong yang harus disiapkan. Semua peralatan ini juga harus ditulis dengan nama anak/diberikan marker satu per satu agar tidak tertukar dengan teman lain, selain itu juga membiasakan anak bertanggung jawab atas barang yang dibawanya.

Harga tas sekolah khas anak SD Jepang (randoseru) sangat fantastis, bahkan ada yang sampai 9 juta untuk satu buah. Kenapa harganya bisa semahal itu? Tas tersebut sangat kuat dan bisa awet sampai belasan tahun. Namun, biasanya pada bulan November-Desember, akan ada banyak diskon sampai setengah harga. Lebih hemat lagi bisa membeli barang second yang banyak dijual di Mercari atau toko second street. Tas sekolah ini sifatnya tidak wajib, tetapi umum dipakai oleh anak SD di Jepang. Randoseru ini ukurannya sebenarnya tidak terlalu besar untuk menaruh barang bawaan anak yang begitu banyak setiap hari. Sehingga jangan heran kalau melihat anak SD di Jepang selain menggendong tas randoseru yang cukup berat, tangan kanan dan kirinya juga sudah penuh membawa barang. Herannya, anak saya sama sekali tak mengeluh dengan bawaannya yang seberat dan sebanyak itu. 

Selain peralatan yang harus disiapkan, orang tua juga harus mempersiapkan anak berangkat ke sekolah sendiri. Semua anak SD wajib jalan kaki menuju sekolah, seberapapun jauh jaraknya. Anak akan pergi ke tempat titik berkumpul terdekat dan pergi bersama dengan teman-teman yang dekat tempat tinggalnya ke sekolah sesuai rute yang sudah ditentukan. Jarak tempuh ke sekolah anak saya sekitar 2 km, jika berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Jaraknya lumayan jauh, maka sebelum hari pertama belajar dimulai, saya mengajak anak saya untuk berjalan mengikuti rute tersebut untuk mengenalkan rutenya, sekalian memberikan motivasi agar mulai mandiri pergi ke sekolah tanpa ibunya. Berbeda saat TK di mana anak berangkat jam 9 pagi, saat SD anak harus berangkat pukul 07.30, karena proses belajar mengajar siswa SD di Jepang dimulai pukul 08.30.

Yang tak kalah heboh adalah mempersiapkan pakaian yang akan dikenakan dalam upacara penerimaan sekolah yang disebut dengan nyuugakushiki. Acara ini adalah acara besar sekolah yang dihadiri oleh anak yang akan sekolah dan kedua orang tua. Biasanya ciri khas para orang tua akan memakai baju formal dengan warna gelap dan hiasan bunga yang ditempel di dada. Oh, iya, jika kemampuan bahasa Jepang anak masih rendah, pihak sekolah akan melakukan pendampingan sampai anak cukup siap mengikuti kegiatan belajar nantinya. Jadi, jangan khawatir untuk siswa asing yang baru pindah, sekolah sangat memperhatikan kesiapan anak belajar, terutama masalah bahasa.

Untuk kelas 1 SD ada 7 mata pelajaran, seperti bahasa Jepang (kokugo), matematika (sansuu), musik (ongaku), kehidupan (seikatsu), belajar melukis dan membuat prakarya, moral (doutoku), dan olahraga (taiku). Memang terlihat banyak, tetapi anak belajar akademik hanya kokugo dan sansuu, pelajaran lain sifatnya hanya belajar sambil bermain. Hal ini merupakan proses adaptasi agar anak tidak terlalu kaget dan stres dengan suasana baru. Fokusnya adalah menciptakan kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan ke sekolah, sehingga setiap hari anak “ketagihan” pergi ke sekolah. 

Di sekolah SD di Jepang juga ada kyuushoku atau menu makan siang yang disediakan oleh sekolah. Biasanya untuk kyuushoku dikenakan biaya sekitar 4000 yen (tergantung sekolah masing-masing). Menunya sangat transparan, setiap bulan akan dikeluarkan print out tabel menu per harinya, bahan-bahan yang digunakan, dan nutrisi makanan yang disajikan. Hal ini dimaksudkan agar anak yang mempunyai alergi pada makanan jenis tertentu dapat mengantisipasi makanan tersebut. Bagi orang tua murid yang beragama Islam dan khawatiran tentang bahan yang digunakan, perlu berdiskusi dengan sekolah. Salah satu solusinya adalah dengan membawa bento sendiri dengan menu yang diharapkan sama dengan menu sekolah, karena Jepang sangat menjunjung keseragaman, selain itu juga agar anak tidak merasa berbeda dengan teman-temannya.

Persiapan masuk sekolah SD di Jepang bisa dikatakan adalah proses yang seru dan melelahkan. Namun, kesiapan mental anak adalah hal yang paling ditekankan. Anak berjalan kaki pergi-pulang setiap hari ke sekolah dengan tas seberat itu, belum lagi tentengan kanan kiri tentunya tidak mudah. Saya ingat saat pertemuan dengan gurunya pertama kali, sang guru menekankan 5 hal untuk orang tua, yaitu harus membiasakan anak tidur cepat, bangun cepat, jangan lewatkan sarapan, terus memberi semangat pada anak setiap hari, dan mengapresiasi segala hal yang anak lakukan. Itu adalah kunci membangun semangat anak untuk berangkat ke sekolah, agar anak tidak menjadikan sekolah sebagai beban, tetapi menjadi kegiatan yang menyenangkan. Itulah mengapa di Jepang tidak ada anak menangis karena tidak mau sekolah. Setiap hari mereka akan siap bangun untuk berangkat sekolah.

***

Penulis: Selly Septiani Dewi
Desainer: Adzani A. Ameridyani
Editor: Nur Fauziah

Memberi Hadiah pada Anak
Keluarga

Pesan untuk Orang Tua Sebelum Memberikan Hadiah pada Anak

Memberi hadiah bisa jadi hal yang efektif untuk memotivasi anak. Namun, terkadang orang tua melakukan beberapa kesalahan dalam memberikan hadiah. Jadi, bagaimana cara memberi hadiah yang efektif?

Ketika anak melakukan sesuatu yang baik atau menggapai suatu prestasi, maka biasanya orang tua akan mengapresiasi anak dengan cara memberikan hadiah (reward). Hadiah tersebut diberikan dengan harapan dapat memotivasi anak untuk lebih baik lagi atau mempertahankan prestasinya. Selain itu, menurut artikel dari Centers for Disease Control and Prevention (2019), dengan memberikan hadiah pada anak, orang tua dapat memperkuat hubungan antar anak dan orang tua. Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika memberikan hadiah pada anak.

Menurut artikel Plano.co (2021), ada tiga kesalahan ketika kita memberikan hadiah pada anak, salah satunya adalah ketika kita menggunakan iming-iming hadiah untuk mengancam anak. Misalnya, ketika anak sedang mengalami tantrum di tempat yang ramai atau tempat umum, lalu orang tua dengan spontan mengatakan bahwa akan membelikan anak tersebut es krim jika anak tersebut diam. Alih-alih membuat anak mengerti akan konsekuensi akan suatu perbuatan, tindakan spontan ini justru akan membuat anak menjadi kebiasaan. Maka, tindakan memberikan es krim tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadiah.

Lalu, bagaimana hadiah yang sebenarnya?

Hadiah yang sebenarnya adalah dengan memberikan arahan atau aturan yang jelas pada anak akan suatu hal dan jelaskan juga konsekuensinya. Misalnya, sebelum kita pergi, kita menjelaskan pada anak tentang apa saja yang tidak boleh dilakukan. Jika ia tetap melakukan hal yang telah disepakati, maka kita juga harus memberi tahu anak tentang konsekuensi yang akan mereka dapatkan, sehingga anak tidak akan berharap untuk selalu mendapatkan hadiah untuk setiap hal yang dia lakukan.

Apa saja yang bisa orang tua lakukan sebagai bentuk hadiah?

Mengutip artikel dari Habyts Blog, ada beberapa alternatif yang bisa orang tua lakukan atau berikan pada anak sebagai hadiah, misalnya dengan memuji usaha yang telah anak lakukan, bukan hasil yang telah anak capai, sehingga anak akan lebih mengedepankan usahanya. Selain itu, hal lainnya yang bisa dijadikan hadiah adalah seperti membacakan buku pada anak, memberikan kelonggaran dalam screen time-nya dengan waktu yang tidak terlalu lama, dan mengajaknya ke tempat-tempat yang ingin ia kunjungi.

Sebagai pengingat pada anak, orang tua bisa menempelkan reward chart pada dinding yang nantinya akan diisi bintang setiap anak melakukan suatu usaha yang patut diberikan apresiasi, tetapi bintang tersebut akan berkurang jika anak melakukan suatu hal yang dirasa kurang baik atau tidak sesuai value dan rules yang telah disepakati bersama.

Penting untuk diingat oleh orang tua: apresiasilah setiap usaha positif yang anak lakukan dan tidak menuntut hasil, supaya anak akan berfokus pada usahanya dan tidak melakukan sesuatu hanya untuk mencapai ekspektasi orang lain.

***

Referensi:

Habyts Blog. (2016). 51 Reward Ideas to Motivate and Inspire Your Kids. Diakses dari https://habyts.com/51-reward-ideas-to-motivate-and-inspire-kids/

Plano. (2021). Spoilt rotten: 3 mistakes you make when rewarding your child. Diakses dari https://plano.co/spoilt-rotten-3-mistakes-you-make-when-rewarding-your-child/

Centers for Disease Control and Prevention. (2019). How to use rewards. Diakses dari https://www.cdc.gov/parents/essentials/consequences/rewards.html#:~:text=Rewards%20can%20encourage%20your%20child%E2%80%99s%20good%20behaviors.%20The,behavior%20are%20best.%20Rewards%20can%20help%20increase%20self-esteem.

Penulis: Silvya Budiharti
Desainer: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa