Critical Thinking
Keluarga

Bagaimana, ya, Cara Melatih Anak Berpikir Kritis?

Hari ini, kita dihadapkan oleh beberapa kemampuan yang harus dikuasai atau dimiliki oleh anak, salah satunya adalah kemampuan untuk berpikir kritis (critical thinking). Terlebih untuk saat ini, anak-anak yang sudah bersekolah harus sering menghadapi beberapa materi atau tugas yang bersifat HOTS (Higher-Order Thinking Skill). HOTS merupakan salah satu hal yang berhubungan erat dengan critical thinking, selain problem solving (penyelesaian masalah) dan decision making (membuat keputusan) (Alsaleh, 2020). Peran orang tua sangat dibutuhkan karena tidak bisa selamanya hanya bergantung dengan peran guru di sekolah. Apalagi saat kondisi pandemi yang membuat para orang tua harus memutar otak untuk mengajarkan materi sekolah kepada anaknya, menggantikan para guru di sekolahnya.

Para orang tua mungkin akan menemukan beberapa materi terasa lebih rumit bagi anaknya, sehingga membutuhkan kemampuan menganalis, berbeda dengan materi yang pernah mereka pelajari dulu ketika masih bersekolah. Maka dari itu, melatih critical thinking pada anak sangat dibutuhkan. Di dalam artikel jurnal dari Alsaleh (2020) dan Boser (2020), ditemukan beberapa irisan tentang cara atau aktivitas yang bisa orang tua lakukan untuk melatih kemampuan critical thinking pada anak di sela-sela waktu belajarnya.

Kegiatan pertama yang bisa orang tua lakukan adalah mengajak anak untuk membantu dalam mengambil keputusan. Ketika meminta anak untuk mengambil keputusan, orang tua juga bisa sambil bertanya pada anak, keputusan apa yang diambil dan mengapa dia memilih itu. Hal ini bisa dimulai dari yang paling sederhana, seperti memutuskan mau makan apa atau mau membeli pakaian yang mana.

Lalu, kegiatan lainnya yang bisa dilakukan adalah mengajak anak untuk melakukan active reading. Dalam kegiatan ini, para orang tua bisa melakukan kegiatan membaca bersama-sama. Setelah membaca, kegiatan tidak berhenti di situ, tetapi orang tua bisa mencoba untuk berdiskusi dengan anak mengenai hal-hal yang berkaitan dengan buku yang baru saja dibaca. Misalnya, mendiskusikan pendapat mereka tentang isi ceritanya, apakah bagus atau tidak dan mengapa, lalu juga mendiskusikan bagaimana karakter-karakter dalam buku tersebut. Buku yang akan dibaca, sebaiknya disesuaikan dengan apa yang anak sukai. Kalau ia menyukai hal-hal yang berbau astronomi, kita bisa menyediakan anak buku cerita dengan latar belakang dunia astronomi, sehingga bisa meningkatkan keterlibatan dan kesenangan anak terhadap kegiatan membaca.

Itulah contoh kegiatan yang bisa dilakukan sebagai orang tua terhadap anaknya untuk meningkatkan kemampuan critical thinking. Yang perlu dicatat, peran orang tua dalam hal ini sangat penting, terutama dalam mendengarkan pendapat anak terhadap suatu hal. Mungkin terlihat sepele, tetapi anak akan merasa sangat dihargai ketika mereka didengarkan pendapatnya.

***

Referensi:

Alsaleh, N. J. (2020). Teaching critical thinking skills : Literature Review. TOJET: The Turkish Online Journal of Educational Technology. 19(1), 21–39.

Boser, U. (2020). How parents can teach kids critical thinking: a research-based guide to help highlight the importance of critical thinking. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-social-trust/202002/how-parents-can-teach-kids-critical-thinking

Penulis: Silvya Budiharti
Desainer: Rifki Aviani, Nur Fauziah
Editor: Fadlillah Octa

Pengelolaan Sampah Elektronik
Pengetahuan

Kelola E-Waste dari Rumah

Bicara tentang lingkungan hidup, salah satu hal yang paling sering menjadi topik menarik untuk dibahas adalah timbunan sampah. Kita juga sering mendengar prinsip pemilahan sampah dari sumber yang pada umumnya diklasifikasikan menjadi sampah organik dan anorganik. Padahal zaman sekarang, manusia semakin konsumtif terhadap teknologi berupa ponsel, laptop, televisi, mesin cuci, dan barang-barang elektronik lainnya. Apakah pernah terpikir oleh Ibu dan Sisters, ke mana barang-barang elektronik ini saat mereka sudah tidak lagi digunakan?

Barang elektronik yang sudah tidak digunakan akan menjadi sampah elektronik atau disebut juga dengan e-waste. Menurut International Telecommunication Union (ITU) e-waste adalah all items of electrical and electronic equipment (EEE) and its parts that have been discarded by its owner as waste without the intent of re-use. Menurut PP No 81 Tahun 2012 tentang Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, sampah elektronik yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga termasuk ke dalam sampah rumah tangga yang mengandung bahan beracun dan berbahaya. Oleh sebab itu, e-waste tidak bisa dikeloIa secara sembarangan apalagi oleh pihak-pihak yang tidak memiliki izin untuk mengelola e-waste.

E-waste mengandung logam berat seperti timbal, merkuri, cadmium, dan unsur lainnya yang dapat larut dalam air dan tanah, yang juga dapat diserap oleh tanaman dan hewan. Manusia yang ikut mengonsumsi air, tanaman, dan hewan tersebut juga pada akhirnya akan terpapar dengan logam-logam berat yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Membakar e-waste juga bukan solusi dalam pengelolaan e-waste, sebab akan menghasilkan hydrocarbons, brominated dioxins, dan partikel lainnya yang dapat mengontaminasi udara serta membawa dampak buruk bagi kesehatan manusia.

Dalam PP No 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik, e-waste masuk ke dalam kategori sampah spesifik karena mengandung bahan berbahaya dan beracun sehingga memerlukan penanganan khusus dan berizin. Langkah paling awal yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam mengelola e-waste adalah memisahkan sampah elektronik dari sampah yang lain untuk kemudian dikumpulkan pada fasilitas pemerintah atau swasta yang telah memperoleh izin dari pemerintah. Fasilitas yang berizin tersebut akan mengirim hasil pengumpulan sampah elektronik ke perusahaan pengolah sampah elektronik yang sudah berizin. Kemudian, akan dilakukan pengolahan berupa pembongkaran, pemilahan, dan daur ulang. Contoh fasilitas pengumpulan e-waste adalah drop box e-waste, penjemputan e-waste DLHK Jakarta, dan e-waste RJ dropzone. Ibu dan Sisters, yuk, mulai hari ini kita belajar menjadi konsumen yang lebih bertanggung jawab dalam membeli barang!

***

Referensi:

Pemerintah Pusat. 2020. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengelolaan Sampah Spesifik. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/138876/pp-no-27-tahun-2020

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. 2021. Sampah Spesifik Diatur, Regulasi Pengelolaan Sampah Indonesia Lengkap. Diakses dari https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3595/sampah-spesifik-diatur-regulasi-pengelolaan-sampah-indonesia-lengkap

Pranita, Ellyvon. 2019. Limbah Elektronik di Indonesia, dari Bahaya sampai Solusinya. Diakses dari https://sains.kompas.com/read/2019/09/14/200235723/limbah-elektronik-di-indonesia-dari-bahaya-sampai-solusinya?page=all

Lestari, Heppiana. 2020. E-waste: Definisi, Kategori dan Dampaknya Bagi Lingkungan. Diakses dari https://medium.com/lindungihutan/e-waste-definisi-kategori-dan-dampaknya-pada-lingkungan-bd07a98cd93f

Pengelolaan E-Waste Melalui Pengumpulan dan Penjemputan Sampah Eletronik. Diakses dari https://smartcity.jakarta.go.id/blog/349/pengelolaan-e-waste-melalui-pengumpulan-dan-penjemputan-sampah-elektronik

Penulis: Silvany Dewita
Desainer: Rifki Aviani, Nur Fauziah
Editor: Fadlillah Octa

Healing
Kesehatan

Customize Your Healing Activity

Rani namanya, wanita yang baru saja ikut suaminya ke negara lain. Sebelum keberangkatannya, Rani telah bersepakat dengan rekan bisnisnya untuk pindah dari bagian pengembangan produk dan pemasaran ke bagian advisor perencanaan produk dan marketing. Keputusan itu diambil dengan pertimbangan tugas pokok Rani yang masih beririsan dengan tugas sebelumnya.

Rani menjalani aktivitasnya sebagai istri dan advisor dengan antusias. Tidak ada masalah yang berarti. Timnya bekerja dengan baik meskipun zona waktu mereka jauh berbeda. Semua baik-baik saja, pikirnya saat itu. Zoom meeting demi meeting berlalu, tetapi Rani merasa semakin kosong. Rani berbicara dengan suaminya dan rekan bisnis yang juga sahabatnya, “Kira-kira apa yang salah, ya?” tanyanya saat itu.

Apakah Ibu dan Sisters pernah mendengar atau mengalami kisah serupa? Meskipun mirip, kebutuhan mengekspresikan diri setiap orang ternyata berbeda. Berbelanja, membaca buku, interaksi dengan orang lain merupakan sesuatu yang membuat orang lain hidup. Ada yang merasa bahagia setelah membersihkan rumah dan melihatnya rapi. Di sisi lain, ada pula seseorang yang merasa hidupnya produktif setelah berhasil menolong orang lain.

Apa yang membedakan masing-masing orang? Dalam kajian psikologi positif, setiap orang dianggap memiliki potensi untuk dapat hidup optimal (Gable dan Haidth, 2005). Gallup dalam teorinya menyebut potensi sebagai bakat. Bakat ini membutuhkan ruang berekspresi untuk tumbuh dan hidup. Dalam teorinya, kelebihan adalah kemampuan seseorang dalam menyelesaikan tugasnya dengan kondisi yang selalu tinggi. Komponen untuk menjadikan seseorang selalu dalam kondisi tersebut adalah pengetahuan, skill, dan bakat.

Rani adalah seorang pekerja keras, dia butuh ruang untuk menyalurkan bakatnya yang ternyata tak hanya pada proses berpikir, tetapi juga beraktivitas. Proses pengembangan produk dan pemasaran merupakan aktivitas yang melibatkan Rani untuk terjun secara langsung. Maka tak heran, saat pindah, Rani menjadi kosong karena bakatnya kurang terekspresikan.

Setelah berdiskusi, Rani memutuskan mengikuti saran suaminya untuk terlibat dalam ekosistem baru. Ekosistem yang membuatnya melakukan aktivitas yang sebelumnya tak pernah dilakukan. Rani akhirnya terlibat dalam kegiatan kerelawanan di salah satu panti asuhan anak berkebutuhan khusus. Di sana dia merasa hidupnya produktif karena bisa mengeksekusi berbagai ide untuk membuat mainan edukasi anak. Dia menemukan kebahagiaan dengan merakit berbagai hal dari ide-ide yang dihasilkannya. Rani masih aktif menjalankan bisnisnya, dia juga hidup bahagia dengan suaminya.

Jika Ibu dan Sisters adalah Rani, maka proses pertama yang harus dilakukan adalah berkenalan kembali dengan diri sendiri. Pahami aktivitas apa dan bagaimana aktivitas tersebut bisa membuat diri merasa hidup. Jika merasa kesulitan, ada banyak tes baik gratis maupun berbayar yang bisa membantu menemukan bakat dalam diri. Terakhir, Rani berhasil melengkapi kekosongan dirinya setelah mengambil langkah untuk mencoba aktivitas yang baru baginya. Begitu juga untuk Ibu dan Sisters, melakukan aktivitas baru mungkin bisa menjadi solusi yang patut dicoba.

***

Referensi:

Gable, Shelly L dan Haidth, Jonathan. 2005. What (and Why) is Positive Psychology?. Review of General Psychology. Vol 9. No. 2. pp  103-110. Diakses dari: https://www.researchgate.net/publication/228341568_What_and_Why_Is_Positive_Psychology

Clifton, D.O dan Harter, J.K (2003). Investing in strengths. In A. K S. Cameron, B J. E Dutton & C. R. E Quinn (Eds), Positive Organizational Scholarship: Foundation of a New Discipline (pp, 111-121). San Fransisco: Berrett Koehler Publishers, Inc.

Penulis: Anisatun Nikmah
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Fadlillah Octa

Bye-Bye Bad Habit
Pengetahuan

Bye-Bye, Bad Habits!

Apakah Ibu dan Sisters punya kebiasaan buruk dan kesulitan untuk mengubahnya? Misalnya ketika bangun di pagi hari dengan suasana rumah yang masih hening, lalu ingin memanfaatkannya untuk me time produktif tanpa diganggu, seperti menulis, olahraga, atau crafting. Namun, kemudian Ibu dan Sisters mengambil smartphone, duduk bersandar di sofa, dan membuka aplikasi media sosial. Scrollingscrollingscrolling… tak terasa langit sudah terang dan tukang sayur sudah datang. Yah, hilang deh kesempatan me time hari ini, pikir Ibu.

Ibu dan Sisters familiar dengan situasi di atas? Jika iya, maka scrolling media sosial mungkin sudah menjadi kebiasaan atau habit. Apakah Ibu mulai terganggu dengan kebiasaan tersebut? Atau ada kebiasaan lain seperti makan camilan manis di malam hari padahal timbangan terus bergerak ke kanan? Atau Ibu dan Sisters sering menonton drakor sampai larut malam? Perlu diketahui bahwa habit adalah mekanisme otak untuk menghemat kerjanya. Karena sudah dilakukan terus-menerus, kegiatan itu menjadi otomatis dan dikerjakan tanpa berpikir. Sayangnya, otak kita tidak bisa membedakan kebiasaan baik dan buruk. Rutinitas yang sering dilakukan, itulah yang direkam otak kita. 

Jika Ibu dan Sisters memiliki kebiasaan buruk yang ingin dihilangkan, jangan khawatir, selalu ada solusi untuk setiap masalah, termasuk cara mengubah kebiasaan buruk. Sebelumnya, kita harus tahu apa trigger dan efek dari sebuah kebiasaan. Di sini kita ambil contoh kebiasaan scrolling media sosial di pagi hari, ya. Namun, konsep tentang habit ini bisa diterapkan pada kebiasaan lain. 

Ibu bisa bertanya kepada diri sendiri, mengapa bermain media sosial di pagi hari? Apakah butuh duduk santai? Atau ingin terkoneksi dengan orang lain? Atau mungkin hanya butuh pemanasan karena masih mengantuk di pagi hari? Bagaimana perasaan Ibu setelah “bermain” media sosial? Apakah merasa terinspirasi? Atau mata jadi segar dan kantuk hilang? Jika sudah tahu penyebab dan efek yang diberikan, Ibu bisa mencari alternatif kegiatan yang memiliki trigger dan efek yang sama. Apa kegiatan lain yang memberi efek sama dengan media sosial? Jika ingin kantuk hilang, bagaimana dengan olahraga ringan atau menulis jurnal?

Agar mengubah kebiasaan bisa lebih efektif, berikut tip yang bisa Ibu dan Sisters lakukan:

  1. Atur agar kebiasaan buruk tidak mungkin dilakukan. Karena scrolling media sosial butuh internet, bagaimana jika koneksi internet dimatikan di pagi hari? Atau yang lebih ekstrem, letakkan gawai di tempat yang sulit dijangkau, sehingga Ibu tidak bisa langsung mengaksesnya.
  2. Sadar betul dengan efek yang diberikan. Tak hanya sadar terhadap efek negatif dari kebiasaan buruk, tetapi juga sadar terhadap efek positif jika berhasil mengubah kebiasaan tersebut. Bermedia sosial di pagi hari walaupun memberi kesenangan sesaat, tetapi juga bisa merusak mood seharian karena kesempatan me time produktif hilang. 
  3. Buat agar rutinitas pengganti menjadi mudah dilakukan. Apa pun kegiatan penggantinya, buat itu terlihat nyata dan bisa segera Ibu lakukan di pagi hari. Misalnya dengan meletakkan buku jurnal atau pengingat olahraga di tempat yang mudah terlihat.

Mengubah kebiasaan memang tidak mudah. Walaupun sudah tahu teori dan solusinya, butuh tekad dan kesadaran kuat untuk benar-benar menggantinya menjadi kebiasaan baru yang lebih baik. Semangat, ya, Ibu dan Sisters!

***

Referensi:

Carden, L., & Wood, W. (2018). Habit formation and change. Current Opinion in Behavioral Sciences, 20, 117–122. doi:10.1016/j.cobeha.2017.12.009

Duhigg, C. (2012) The Power of Habit: Why We Do What We Do in Life and Business. New York: Random House LLC.

Jager, W. (2003) Breaking ’bad habits’: a dynamical perspective on habit formation and change. in: L. Hendrickx, W. Jager, L. Steg, (Eds.) Human Decision Making and Environmental Perception. Understanding and Assisting Human Decision Making in Real-life Settings. Liber Amicorum for Charles Vlek. Groningen: University of Groningen.

Penulis: Detta Devia
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Nur Fauziah

Lab Belajar Ibu – Post Partum Depression
Kesehatan

Pentingnya Diagnosis Dini Postpartum Depression (PDD) pada Ibu Melahirkan

Hamil dan melahirkan merupakan kejadian fisiologis yang dialami oleh para ibu yang umumnya membahagiakan. Namun, proses kehamilan dan penambahan anggota baru keluarga ini merupakan peristiwa yang menuntut proses adaptasi yang besar sehingga berisiko mencetus berbagai jenis gangguan emosi, salah satunya adalah postpartum depression (PPD) (Aridyanti et al., 2018). PPD merupakan kondisi gangguan emosi yang biasanya muncul pada enam minggu pertama pascamelahirkan dan memerlukan penanganan medis (Stewart et al., 2003). Jika tidak diobati, PPD dapat menimbulkan efek jangka panjang yang membuat ibu mengalami depresi kronis berulang (Wuriastuti dan Rofingatul, 2020).

Selain membahayakan ibu, beberapa penelitian menunjukan bahwa PPD dapat menyebabkan gangguan tingkah laku pada anak di usia tiga tahun, adanya kerusakan kognitif pada anak usia empat tahun, dan penurunan kepuasan perkawinan selama periode postpartum yang dapat menyebabkan ketidakharmonisan dengan suami dan dampak negatif jangka panjang di antara keseluruhan anggota keluarga. Sayangnya, PPD masih dianggap sebagai hal yang wajar, sehingga seringkali terabaikan dan tidak ditangani dengan baik. Hal ini terjadi karena pihak penyedia layanan kesehatan biasanya menganggap masalah ibu pascamelahirkan sekadar aktivitas hormon atau postpartum blues yang bersifat sementara dan akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari setelah persalinan (Bellatrix, 2011).

Prevalensi kejadian PPD di Asia cukup tinggi dan bervariasi antara 26-85%. Sedangkan di Indonesia angka kejadian tersebut antara 50-70% dari wanita pascamelahirkan (Sari, 2020). Tahun 2017, penelitian di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta menunjukan bahwa persentase PPD pada ibu primapara adalah 70.59% dan ibu multipara adalah 58.82% (Kusuma, 2017). Dalam wawancaranya dengan BBC News, Elvine, dokter spesialis kejiwaan menyebutkan jika gangguan emosi ini berlangsung lebih dari dua minggu maka gangguan tersebut sudah masuk fase depresi. Fase depresi ini tidak akan hilang dengan sendirinya, justru akan menyebabkan perburukan apabila tidak ditangani dengan tepat.

Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia menjadi bukti bahwa PPD adalah kondisi nyata yang memerlukan penanganan serius. Nur Yanariah, pendiri komunitas MotherHope Indonesia menceritakan kisahnya pada BBC News tentang PPD yang sempat ia alami. Yana mengatakan bahwa dirinya pernah dengan sengaja pergi ke danau bersama bayinya pada malam hari dengan pikiran kosong dan perasaan ingin bunuh diri. Selain itu, Yana mengaku pernah menawarkan bayinya yang baru berusia sembilan bulan untuk diadopsi melalui Facebook karena merasa dirinya tidak bisa menjadi ibu yang baik bagi anaknya.

Selain Yana, kisah seorang perempuan di Bandung yang membunuh bayinya setelah merasa mendapat bisikan gaib, juga menjadi contoh lain kasus gangguan emosi pascamelahirkan. Elvine menyebutkan bahwa gangguan kesehatan mental pascamelahirkan merupakan kasus terselubung yang seringkali terlambat disadari dan ditangani. PPD yang tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala psikotik seperti mendengar suara-suara negatif yang mengancam nyawa ibu dan anak.

Meninjau berbagai efek negatif yang terjadi karena PPD, penting dilakukan diagnosis dini untuk mencegah terjadinya PPD maupun memanajemen ibu yang sudah terdiagnosis agar kondisinya tidak memburuk. Banyak instrumen yang dapat digunakan untuk skrining dalam penegakan diagnosis PPD, salah satunya adalah kuesioner EDPS (Sari, 2020). Selain melakukan screening, mengenal ciri-ciri awal PPD merupakan salah satu langkah pencegahan yang bisa dilakukan oleh ibu dan keluarga terdekat.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual Mental Disorders edisi keempat (DSM IV), ciri-ciri ibu yang mengalami PPD adalah mood yang tertekan, gangguan tidur dan nafsu makan, agitasi fisik, penurunan energi dan konsentrasi, serta adanya keinginan bunuh diri yang berlangsung sejak 4-6 minggu pascamelahirkan (Pradnyana, 2013). Jika ibu atau lingkungan di sekitar ibu menemukan ciri-ciri di atas, jangan ragu untuk meminta bantuan medis agar keselamatan ibu dan bayi tetap terjaga.

***

Referensi:

Aridyanti, D dan Siti Muthia Dinni. (2018). Aplikasi Model Rasch dalam Pengembangan Instrumen Deteksi Dini Postpartum Depression dalam Jurnal Psikologi Volume 45(2), 82 DOI: 10.22146/jpsi.29818.

Bellatrix, Nansa Cahyani. (2011). Dinamika Emosi pada Ibu yang Mengalami Depresi Pasca Persalinan. Surabaya: Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Pendahuluan, halaman: 8–10.

Kusuma, P. D. (2017). Karakteristik Penyebab Terjadinya Depresi Postpartum pada Primipara dan Multipara dalam Jurnal Keperawatan Notokusumo, 5(1), 36–45.

Lestar, Sri. (2018). Depresi Pasca Melahirkan Membuat Saya Ingin Bunuh Diri Bersama Anak. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43355369

Pradnyana, Esa et al. Diagnosis dan Tata Laksana Depresi Pospartum Pada Primapara. Bali: SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah. Saputra, Yulia. (2021). Kesehatan Mental: Depresi Perinatal, Pembunuh Senyap yang Mengintai Keselamatan Jiwa Ibu dan Anaknya. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56714093

Penulis: Novia Rahmawati
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Nur Fauziah