Category: Pengetahuan

Komunitas Perempuan Katalis dalam Pemberdayaan Perempuan
HobiPengetahuan

Komunitas Perempuan Katalis dalam Pemberdayaan Perempuan

Empowered women empower women.

Perempuan berdaya saling menguatkan dan bergerak bersama—salah satunya melalui komunitas perempuan. Indonesia memiliki banyak komunitas perempuan, mulai dari tingkat RW hingga nasional. Masing-masing memiliki fokus di bidang yang berbeda-beda, entah itu keagamaan, pendidikan, perlindungan perempuan dan anak, kesehatan, dan banyak lagi. Lebih dari sekadar pengembangan kapasitas perempuan, komunitas perempuan ternyata memiliki peran yang lebih besar, lho, yaitu menjembatani partisipasi aktif perempuan dalam ranah publik, misalnya melalui keterlibatan dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan atau program pembangunan terkait perempuan (Karaya et.al., 2013; Ruiz & Mollinedo, 2013; Oino et.al., 2014).

Fungsi advokasi yang dimiliki komunitas perempuan terutama dibutuhkan oleh kelompok perempuan termarjinalkan, salah satunya adalah petani perempuan. Persentase perempuan yang bekerja di sektor pertanian adalah yang tertinggi di Indonesia tetapi 80% dari mereka masih tidak mendapatkan upah kerja maupun penyuluhan pertanian (Kemenpppa, 2012). Walaupun petani perempuan memiliki peranan penting dalam roda perekonomian dan ketahanan pangan Indonesia, peran mereka seolah tak kasat mata dan dalam beberapa kasus mereka bahkan tidak diterima oleh kelompok petani (Agarwal, 2000; Byrne et.al., 2014; Cush et al., 2018; Kernecker et.al., 2017). Beberapa kendala seperti persepsi sempit tentang peran perempuan, rendahnya tingkat pendidikan, permasalahan perekonomian, terbatasnya jaringan sosial, kesibukan domestik, perasaan rendah diri dan buruknya birokrasi menyebabkan perempuan kesulitan untuk berpartisipasi dalam ruang diskusi publik (Bock, 2004; Emmanuel, 1995; Kebede, 2019). Dengan prinsip “dari perempuan, untuk perempuan”, komunitas perempuan mampu menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi perempuan untuk mengembangkan kapasitasnya dan menguatkan perannya di ranah publik.

Perempuan Desa Berdaya dan Berkarya Bersama

Di tahun 2016, saya bertemu dengan ibu-ibu hebat yang tergabung dalam komunitas perempuan bernama Kelompok Karya Ibu (KKI). Ibu-ibu KKI adalah petani, peternak, pedagang dan ibu rumah tangga yang tinggal di Kampung Areng, Jawa Barat. Sebagian besar perempuan di Kampung Areng adalah lulusan SD atau SMP, begitu pula dengan ibu-ibu KKI. Tapi berbekalkan pengetahuan yang didapat dari workshop pertanian, KKI berhasil menginisiasi zero waste biogas melalui pengolahan limbah biogas (slurry) menjadi pupuk bekas kascing (pupuk kascing).

KKI didirikan oleh Ibu Eti dan Ibu Nina, perempuan yang pertama kali mempraktikkan produksi pupuk kascing di Kampung Areng. Pada awalnya, pupuk kascing hanya digunakan untuk kebun sendiri dan sisanya dijual secara individu. Tapi melihat banyaknya perempuan di Kampung Areng yang membutuhkan pemasukan tambahan dan banyak pula yang memiliki slurry di rumahnya, Ibu Eti dan Ibu Nina pun mengajarkan proses produksi pupuk kascing kepada beberapa perempuan di Kampung Areng dan mulai menjual pupuk kascing secara komunal untuk mencapai penjualan yang lebih tinggi. Dengan keanggotaan dan skema bisnis yang ramah perempuan, jumlah perempuan yang melakukan bisnis pupuk kascing (bekas cacing) terus bertambah.

Belajar dari Kelompok Karya Ibu

Ada banyak inisiasi komunitas perempuan dan banyak pula program pemberdayaan perempuan yang diimplementasikan, tapi sedikit yang dapat bertahan. Apa saja, ya, yang bisa kita pelajari dari ibu-ibu KKI supaya mampu membangun komunitas perempuan yang impactful dan langgeng keberjalanannya?

1. Mulailah dari hal yang dekat dan penting bagi kita

KKI dibentuk dengan tujuan awal untuk menyelesaikan permasalahan di Kampung Areng yaitu rendahnya tingkat perekonomian dan pencemaran lingkungan. Dalam mencari solusi, KKI pun fokus pada potensi lokal sehingga mudah diadaptasi oleh warga Kampung Areng. Memperjuangkan sesuatu yang dekat dan penting bagi kita memudahkan kita untuk menjaga niat dan motivasi. Oleh karena itu, yuk, kita lebih peka lagi dengan masalah dan potensi di sekitar kita!

2. Mencari dan mengamalkan ilmu sama pentingnya

Dalam keberjalanannya, KKI terus membagi pengetahuan mereka, terus berinovasi, dan melewati banyak trial-and-error agar bisnis pupuk kascing ramah bagi perempuan di desa. Semua proses tersebut menghasilkan temuan baru baru terkait pemberdayaan perempuan desa, menarik pemerintah dan NGO untuk belajar dari KKI, hingga terbentuklah alur pertukaran pengetahuan secara dua arah antara KKI dengan pemerintah dan NGO. Eksposure terhadap pengetahuan membantu kita untuk mengembangkan ide, sedangkan berbagi pengetahuan akan memperluas manfaat dan membuka lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri.

3. Berkomunitas dengan dasar empati

Berbeda dengan komunitas pada umumnya, KKI tidak kaku dalam mengatur keanggotaan dan kegiatan kelompok seperti rapat atau pelatihan. Pendiri KKI mengerti akan adanya kepentingan domestik dan pekerjaan lain di luar KKI sehingga memaklumi jika ada beberapa anggota yang mendadak tidak aktif lalu muncul kembali. KKI juga bersedia mengajari masyarakat lain yang tertarik dengan pupuk kascing walaupun orang tersebut tidak bisa menjadi anggota KKI. Membangun ruang yang aman dan kondusif bagi perempuan untuk berkembang harus dimulai dari empati. Dan kalau bukan sesama perempuan, siapa lagi yang dapat berempati kepada perempuan lainnya?

Dengan berkomunitas, perempuan dapat membangun jaringan sosial yang kohesif, membuka akses ke sumber daya yang dapat meningkatkan kapasitas perempuan (Ameridyani, 2018). Seperti ibu-ibu KKI, bersama kita juga bisa menguatkan peran kita untuk berkontribusi dalam ranah publik. Lihatlah ke sekitar Ibu dan Sister, apa ada komunitas perempuan yang bervisi sama? Atau mungkin komunitas perempuan itu adalah Lab Belajar Ibu? Di komunitas manapun itu, semoga semangat Ibu dan Sister selalu membara untuk berdaya,  berkarya, dan membawa manfaat untuk pembangunan Indonesia!

***

Referensi

Agarwal, B. (2000). Conceptualizing Environmental Collective Action: Why Gender Matters. Cambridge Political Economy Society, 24(1996), 283–310. https://doi.org/10.1093/cje/24.3.283.

Ameridyani, A. A. (2018). Assessment of Women Group’s Role in Enhancing Rural Women’s Capacity for Their Active Involvement in Rural Development. Case Study: Kelompok Karya Ibu (KKI) Women Group in Rural Area of West Bandung District, Indonesia. Master’s Thesis, Kyoto University.

Bock, B. B. (2004). Fitting in and Multi-tasking : Dutch Farm Women ’ s Strategies in Rural Entrepreneurship. Sociologia Ruralis, 44(3), 245–260. https://doi.org/10.1111/j.1467- 9523.2004.00274.

Byrne, A., Duvvury, N., Macken-Walsh, A., & Watson, T. (2014). Finding ‘Room to Manoeuvre’: Gender, Agency and the Family Farm. Feminisms and Ruralities, (August 2015), 119–130.

Cush, P., Macken-Walsh, Á., & Byrne, A. (2018). Joint Farming Ventures in Ireland: Gender identities of the self and the social. Journal of Rural Studies, 57, 55–64. https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2017.09.017.

Emmanuel, N. N. (1995). The role of women in environmental management: An overview of the rural Cameroonian situation. GeoJournal, 35(4), 515–520. https://doi.org/10.1007/BF00824366

Karaya, R. N., Onyango, C. A., & Amudavi, D. M. (2013). Fighting hunger together: a case of women 57 farmers’ participation in women groups in Mwala Division, Kenya. International Journal of Agricultural Management and Development, 3(3), 189–200.

Kebede, A. (2019). Opportunities and Challenges of Women’s Participation in Decision-Making at Local Government Administration: The Case of Debre-Tabor City Administration, South Gondar Zone, Amhara Regional State, Ethiopia. Advance. https://doi.org/10.31124/advance.10048160.v3

Kemenpppa. (2012). Kebijakan dan Strategi Peningkatan produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP).  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.

Kernecker, M., Vogl, C. R., & Aguilar Meléndez, A. (2017). Women’s local knowledge of water resources and adaptation to landscape change in the mountains of Veracruz, Mexico. Ecology and Society, 22(4). https://doi.org/10.5751/ES-09787-220437.

Oino, P. G., Auya, S., & Luvega, C. (2014). Women Groups : A Pathway to Rural Development in Nyamusi Division , Nyamira. International Journal of Innovation and Scientific Research, 7(2), 111–120.

Ruiz, R. M., & Mollinedo, C. L. (2013). Female Collective Actions and Economic Empowerment in the Community of Soni (Tanzania). Aibr-Revista De Antropologia Iberoamericana, 8(2), 233–259.


Penulis: Adzani Ardhanareswari A.
Desainer/Iustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa

coping with reverse culture
Pengetahuan

Mengenal dan Mengatasi Overconfidence, Bias Kognitif yang Menghambat Proses Belajar

Sejak kecil, seringkali kita membaca artikel atau mendengar kata-kata guru dan orang tua untuk menjadi orang yang percaya diri. Namun, tahukah Ibu dan Sister jika kita jarang sekali diingatkan untuk jangan percaya diri berlebihan? Hmmm, iya, juga, ya.

Lantas, memangnya mengapa jika kita percaya diri berlebihan?

Percaya diri berlebihan atau overconfidence adalah salah satu bias kognitif yang menghambat proses belajar. Menurut profesor di bidang psikologi, David Dunning dan Justin Kruger, pencetus Dunning-Kruger effect, overconfidence adalah kondisi di mana seseorang yang jelas-jelas tidak kompeten dalam suatu hal merasa sangat percaya diri dan yakin bahwa dirinya kompeten. Bahkan, orang tersebut cenderung tidak menyadari bahwa dirinya tidak kompeten. Dalam proses belajar, orang-orang yang overconfident biasanya merasa tidak perlu belajar lebih banyak bahkan cenderung menolak umpan balik (feedback) dari orang lain untuk dirinya sendiri. Mengapa demikian? Hal tersebut terjadi karena mereka berpikir telah kompeten dengan bidang yang mereka maksud, padahal nyatanya tidak. 

Hal yang lebih miris adalah bias kognitif yang terjadi ini tidak hanya berdampak negatif bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Apa dampak negatif dari overconfidence tersebut kepada orang lain? Rasa percaya diri berlebihan yang tidak diiringi dengan kompetensi menjadikan orang-orang yang overconfident lebih lantang untuk berbicara. Sebuah peribahasa populer “tong kosong nyaring bunyinya” menggambarkan seseorang yang banyak bicara, namun tidak memahami apa pun alias sok tahu. 

Pada era kecanggihan teknologi informasi saat ini, kita dengan mudah menemukan banyak sekali figur yang memberikan pengaruh dalam masyarakat atau yang biasa disebut sebagai influencer. Influencer akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat jika memberikan wawasan yang bermanfaat bagi masyarakat. Apa yang terjadi jika seorang influencer tersebut mengalami overconfidence? Tentu sangat berbahaya apabila seorang influencer memiliki overconfidence. Bisa jadi, konten yang disampaikannya misinformasi, namun tetap diyakini oleh para followers-nya sebagai sesuatu yang sahih. Oleh karena itu, Ibu dan Sister pun harus berhati-hati, ya, dalam menyampaikan informasi kepada orang lain. Jangan sampai Ibu dan Sister terjebak dengan bias kognitif ini. Nah, Ibu dan Sister sudah memperoleh gambaran tentang overconfidence, kan? Hmmm, kemudian, bagaimana caranya supaya Ibu dan Sister menjadi pribadi yang lebih reflektif dan tidak mengalami overconfidence? Penelitian yang dilakukan oleh Rusmana et al. (2020) di Kangwon National University Korea Selatan mengembangkan sebuah model bernama KAAR untuk mengatasi percaya diri berlebihan (overconfidence debiasing). KAAR adalah singkatan dari Knowledge, Awareness, Action, dan Reflection yang merupakan langkah-langkah debiasing. Apa saja aktivitas debiasing? Yuk, Simak rincian berikut!

1. Knowledge (Pengetahuan ‘Mengetahui’)

Langkah pertama untuk mengatasi overconfidence bias adalah mengetahui tentang adanya bias itu sendiri. Pengetahuan tentang overconfidence termasuk bahaya yang ditimbulkan dari bias ini menjadi peringatan awal bagi kita untuk menghindari bias tersebut. Congratulations, Ibu dan Sister! Dengan membaca artikel ini, Ibu dan Sister telah melakukan langkah pertama dalam debiasing. 

2. Awareness (Kesadaran ‘Menyadari’)

Pada tahap ‘awareness’ kita harus merenung dan bertanya kepada diri sendiri (self-questioning) apakah kita berpotensi memiliki perilaku yang mengarah pada percaya diri berlebihan atau tidak. Self-questioning dapat dibantu dengan mengingat-ingat kejadian pada masa lalu. Ada beberapa pertanyaan yang dapat membimbing Ibu dan Sister dalam membangun kesadaran terhadap overconfidence bias. Contoh pertanyaan yang dapat digunakan sebagai berikut. 

  • Apakah saya pernah merasa sangat memahami sesuatu sehingga tidak perlu belajar lagi? 
  • Apakah saya pernah overestimate terhadap kemampuan sendiri padahal kenyataannya saya tidak sehebat itu? 
  • Apakah saya pernah menjelaskan hal-hal yang tidak dikuasai kepada orang lain tapi berusaha terlihat sangat percaya diri supaya orang lain percaya saya kompeten?

Jika jawabannya ‘ya’, yuk, Ibu dan Sister lanjut ke tahap selanjutnya untuk melakukan aksi debiasing.

3. Action (Aksi ‘Bertindak’)

Penerima nobel di bidang ekonomi, Daniel Kahneman, dalam penelitiannya menemukan bahwa memiliki awareness saja tidak cukup untuk mengatasi bias kognitif. Menurutnya, mengambil tindakan untuk debiasing adalah tahapan yang jauh lebih penting. Tahapan mengambil tindakan dapat dilakukan secara kolektif, lho, Ibu dan Sister. Bagaimana, ya, caranya? Ibu dan Sister dapat memperluas circle pertemanan sehingga membuka pikiran bahwa dunia tidak berpusat pada diri kita saja, di atas langit masih ada langit, ya, Ibu dan Sister. Selain itu, Ibu dan Sister juga dapat meminta umpan balik secara aktif dari orang-orang yang dapat memberikan evaluasi subjektif terhadap Ibu dan Sister.

4. Reflection (Refleksi ‘Berpikir Reflektif’)

Menurut Kahneman dalam bukunya “Thinking Fast and Slow”, ada dua sistem yang mendorong cara manusia dalam berpikir. Sistem yang pertama bersifat cepat, intuitif, dan didorong oleh emosi. Sementara itu, sistem kedua bersifat lambat, analitis, dan logis. Bias kognitif seperti overconfidence muncul sebagai konsekuensi dari berpikir sistem pertama. Untuk mengatasinya, Ibu dan Sister perlu menggunakan sistem kedua yang bersifat analitis dan reflektif. Berpikir reflektif berarti lebih mempertimbangkan berbagai sudut pandang, termasuk bukti pendukung dibandingkan mendahulukan emosi atau perasaan. Hal tersebut akan membuat Ibu dan Sister cenderung lebih objektif dan tidak melebih-lebihkan diri saat mengevaluasi diri sendiri.

Itulah tahapan-tahapan mengatasi percaya diri yang berlebihan, Ibu dan Sister. Semoga membantu, ya! Selamat berefleksi, Ibu dan Sister!

***

Referensi:

Dunning, D. (2011). The Dunning-Kruger Effect: On Being Ignorant of One’s Own Ignorance. In J. Olson and M. P. Zanna (Eds.), Advances in Experimental Social Psychology (vol. 44, pp. 247‒296). New York, NY: Elsevier.

Kahneman, D. (2011). Thinking Fast and Slow. New York, NY: Macmillan.

Kahneman, D., Lovallo, D., & Sibony, O. (2011). Before You Make That Big Decision. Harvard Business Review, 89(6): 50‒60.

Kruger, J., & Dunning, D. (1999). Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One’s Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77(6): 1121–1134. Rusmana, A. N., Roshayanti, F., & Ha, M. (2020). Debiasing Overconfidence Among Indonesian Undergraduate Students in The Biology Classroom: An Intervention Study of The KAAR Model. Asia-Pacific Science Education, 6(1): 228–254.


Penulis: Ai Nurlaelasari Rusmana
Desainer/Illustrator: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Dwi Martina Dewi

Save Our Earth (850 × 250 px)
Pengetahuan

Memahami Krisis Iklim Melalui Picture Book

Judul buku: Climate Crisis for Beginners
Penulis: Andy Prentice, Eddie Reynolds
Ilustrator: El Primo Ramon
Tebal buku: 125 halaman
Penerbit: Usborne Publishing LTD
Tahun terbit: 2021
Bahasa: Bahasa Inggris

Kondisi dunia saat ini tidak sama lagi seperti puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Daerah yang saat ini terendam air laut bisa jadi dulunya adalah daratan yang ditinggali oleh manusia. Mengusung konsep diskusi antara Dani, Ben, dan Ayah, buku Climate Crisis for Beginners ini memaparkan secara komprehensif penjelasan tentang krisis iklim. Mulai dari penjelasan dasar proses terjadinya efek rumah kaca yang memicu pemanasan global, data-data ilmiah fakta krisis iklim, rumitnya penerapan solusi untuk menghambat efek buruk dari krisis iklim yang saat ini terjadi, hingga pada langkah-langkah yang dapat kita lakukan sebagai individu.

Hampir semua orang sepertinya pernah membaca atau menonton berita tentang krisis iklim atau pemanasan global. Namun, yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah seberapa paham masyarakat dengan urgensi dari perlunya tindak lanjut atas isu ini? Kompleksnya pembahasan tentang krisis iklim itu sendiri bisa jadi adalah salah satu penyebab masyarakat umum enggan mempelajari lebih detail mengenai krisis iklim, dan buku ini menurut saya dapat dijadikan rujukan untuk mempelajari A sampai Z tentang krisis iklim. Karena memang ditujukan untuk anak-anak, buku ini menghadirkan konsep yang menarik dalam menyajikan fakta ilmiah dan data studi para ilmuwan. Meski berisi penjelasan yang rumit ala textbook, gabungan ilustrasi yang menarik khas dari buku anak, dan bahasa sederhana yang disajikan penulis mampu memberikan penjelasan yang komprehensif tentang krisis iklim.

Salah satu contohnya yaitu penjelasan mengenai keterkaitan antara satu isu dan isu lain di bagian penjelasan tentang terjadinya krisis iklim. Adanya koneksi antara satu kejadian dan kejadian lain yang ternyata itu berdampak buruk, menjadikan saya secara pribadi jadi lebih mindfull ketika akan mengambil tindakan dalam keseharian.

Bagian favorit dari buku ini menurut saya adalah saat tokoh ayah yang semula tidak paham dan menganggap angin lalu tentang isu krisis iklim akhirnya menjadi orang yang paling bersemangat memberikan ide-ide perubahan untuk direalisasikan. Hal tersebut disebabkan tokoh ayah mendengar penjelasan panjang-lebar tentang dampak buruk yang akan terjadi di masa depan jika kondisi saat ini tidak ditindaklanjuti. Tokoh ayah di sini cukup mewakili mayoritas masyarakat di luar sana saat ini.

Kelemahan dari buku ini menurut saya adalah belum bisa dibaca semua kalangan di Indonesia. Meskipun penjelasannya didukung dengan ilustrasi, tetapi penggunaan bahasa Inggris menjadikan buku ini terbatas hanya untuk kalangan tertentu. Secara rekomendasi usia pembaca, dari penerbit menuliskan 10 tahun ke atas. Namun, menurut saya buku ini dapat mulai dibacakan ke anak usia di bawah 10 tahun dengan supervisi dari orang tua. Mengenalkan krisis iklim dan tindakan pencegahan yang dapat kita lakukan sedini mungkin kepada anak-anak menurut saya sangat penting, mengingat di masa akan datang anak-anak kita yang akan menjadi salah satu pihak terdampak atas krisis iklim ini. Harapan saya, akan ada buku serupa yang dituliskan dalam bahasa Indonesia sehingga dapat menjangkau lebih banyak kalangan pembaca.

Dari buku ini, saya menyimpulkan bahwa tidak ada kata terlalu dini atau terlalu tua untuk belajar dan paham tentang krisis iklim. Anak-anak kita, sebagai pihak yang bisa jadi lebih terdampak di masa depan, memiliki hak untuk diajari tentang mengambil tindakan pencegahan sedini mungkin. Sementara kita, sebagai orang tua, juga memiliki andil besar dalam mencegah kondisi krisis saat ini tidak semakin memburuk di masa depan.

Penulis: Widia Anggia Vicky
Desainer/Illustrator: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Fadlillah Octa

Roehana Koeddoes
Pengetahuan

Mengenal Roehana Koeddoes, Perempuan yang Melampaui Zaman

Berbicara tentang perempuan pembelajar, maka jatuh hatilah saya pada kisah Roehana Koeddoes. Jurnalis perempuan pertama Indonesia kelahiran Koto Gadang, Sumatera Barat. Meskipun gaungnya sebagai pahlawan nasional baru diresmikan tahun 2019, perempuan kelahiran 20 Desember 1884 ini adalah tokoh yang jejaknya melampaui zaman.

Beberapa hal tentang Roehana Koeddoes:

  1. Roehana Koeddoes sebagai suluh literasi di mana pun dia berada.

Lahir di keluarga yang tumbuh dengan literasi yang kuat, Roehana kecil mendapatkan pengaruh intelektual yang besar dari sang ayah, Rasjad. Ayahnya sengaja membeli koran dan buku, bahkan dari Singapura. Meskipun Roehana tak pernah sekolah formal, pendidikan Roehana banyak disumbang dari ayahnya. Saat ayah Roehana pindah ke Alahan Panjang, ia bertetangga dengan atasannya yang seorang pejabat Belanda. Siapa sangka, Roehana dapat kesempatan belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut dari istri pejabat Belanda tersebut. 

Roehana hidup berpindah-pindah karena pekerjaan ayahnya sebagai jaksa. Ketika pindah ke Simpang Tonang Talu, Roehana selalu membaca lantang di tempat umum atau teras rumah. Kebiasaan remajanya ini awalnya dianggap aneh, tapi lama-kelamaan menarik perhatian tetangga. Inilah awal di mana Roehana kecil, 8 tahun, mulai memiliki murid dengan pelajaran membaca dan menulis di teras rumahnya. 

  1. Roehana adalah pendiri sekolah perempuan pertama di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, selain anak-anak, banyak ibu-ibu muda mulai ikut sekolah. Kemudian, Roehana menambah mata pelajaran berupa keterampilan merajut, menyulam, dan menganyam. Tiga tahun setelah menikah, tahun 1911, Roehana dengan dukungan suaminya, yang juga seorang aktivis dan wartawan, mendirikan sekolah khusus untuk perempuan dengan nama Kerajinan Amai Setia

Siapa sangka hasil karya sekolah KAS dianggap memiliki nilai sehingga dilirik istri Belanda untuk masuk pasar ekspor. Pada tahun 1913, salah satu anak KAS terjaring dalam Internationale Tentoonstelling di Brussel, ajang internasional untuk kerajinan rakyat. Di sinilah kemandirian ekonomi berbasis perempuan juga mulai tumbuh. 

  1. Pendiri surat kabar khusus perempuan pertama di Indonesia.

Di sela kegiatannya mengajar, Roehana masih meluangkan waktunya untuk menulis. Roehana percaya jika perubahan bisa dimulai dari pikiran, sebagaimana ia tumbuh dengan pemikiran yang jauh dari perempuan kebanyakan dimulai dari membaca. Roehana merasa tulisannya harus bermanfaat secara luas, ia bermaksud mengirimkan tulisannya ke surat kabar. Roehana bekerja sama dengan Zubaidah Ratna Juwita, anak pemimpin redaksi majalah Oetoesan Melajoe

Dari sana lahir surat kabar yang semua pengelola dan penulis diisi oleh perempuan, yaitu Soenting Melajoe. Soenting berarti perempuan dan Melajoe artinya tanah Melayu. Diharapkan surat kabar ini dapat dibaca seluruh perempuan di tanah Melayu. Tak disangka, kepopulerannya membuat korespondensinya sampai menyentuh perempuan Betawi dan Jawa.

  1. Perempuan yang melampaui zaman.

Hidup Roehana tak sesederhana cerita sejarahnya. Pertentangan bahkan datang dari kaumnya sendiri dihadapi, karena dianggap menyalahi adat dan kodrat sebagai perempuan. Bahkan, Roehana pernah dilengserkan dari KAS, sekolah yang dibesarkannya. 

Sama seperti masa kecilnya, Roehana dan suami juga hidup berpindah-pindah. Selama perpindahan itu, Roehana mengajar berbagai sekolah. Roehana tetap aktif menulis untuk Soenting Melajoe dan kontributor surat kabar lain. Salah satunya surat kabar Perempuan Bergerak yang saat itu berhasil berjejaring dengan Europeesche Vrouwen en Jav Forum (Forum Istri-Istri dan Wanita (lajang) Eropa) untuk memberitakan kabar dan arus pergerakan feminisme di Eropa. 

Jika Kartini adalah sosok dengan kesusastraan yang tinggi serta pemikiran mendalam dari surat-surat yang dikirimkan kepada sahabatnya. Roehana Koeddoes adalah sosok dengan pemikiran tajam dan progresif. Roehana tak cuma mengajarkan tapi juga menyebarkan. Tulisannya tak hanya tentang masalah perempuan tapi juga tentang isu-isu kritis dan hal-hal progresif. Gagasannya berisi hal-hal yang melampaui zaman. Karyanya mengangkat derajat dan membuka sekian banyak pergerakan lainnya. Maka tak heran jika Roehana sering dianggap selangkah lebih maju daripada Kartini. Jejak sekolah KAS bahkan masih ada hingga saat ini meskipun telah mengalami perubahan bentuk.

***

Referensi:

Perempuan Indonesia Bergerak. Pahlawan Nasional. Diakses dari https://indonesia.go.id/kategori/komoditas/1374/perempuan-indonesia-bergerak

Arif. 2020. Melampaui Kartini (3) : Roehana Koeddoes, Suluh Kaum Perempuan Indonesia. Diakses dari: https://ibtimes.id/melampaui-kartini-3-roehana-koeddoes-suluh-kaum-perempuan-indonesia/

Zuhra. 2021. Sejarah Roehana Koeddoes Mendidik Rakyat Lewat Sekolah dan Pers. Diakses dari: https://tirto.id/sejarah-roehana-koeddoes-mendidik-rakyat-lewat-sekolah-dan-pers-b3jw

Penulis: Anisatun Nikmah
Desainer: Nur Fauziah
Editor: Nur Fauziah

Read Aloud
Pengetahuan

Tips Membaca Nyaring yang Menyenangkan

“Children are made readers on the laps of the parents.” – Emilie Buchwald

Saat ini kesadaran untuk meningkatkan tingkat literasi anak sepertinya sudah semakin baik, terutama di kalangan orang tua milenial. Bisa dilihat dari semakin banyaknya pilihan buku bacaan untuk anak, baik dari dalam maupun luar negeri. Tidak hanya itu, gerakan membaca nyaring (read aloud) juga sudah masif di mana-mana.

Bicara tentang kegiatan membaca nyaring, ternyata banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh. Dari sisi bahasa, anak yang terbiasa dibacakan buku sejak dini ternyata memiliki rentang kosakata yang lebih banyak. Tidak hanya kosakata, kemampuan memahami teks juga akan lebih baik. Hal ini tentu saja memengaruhi kemampuan kognitifnya. Tidak heran jika anak yang terbiasa dibacakan buku sejak dini memiliki nilai akademis yang lebih tinggi di kemudian hari. 

Tidak hanya manfaat yang bisa diambil. Bagi anak-anak, ternyata kegiatan dibacakan buku dianggap sebagai hiburan atau hal yang menyenangkan. Penelitian di Australia menyebutkan, bahwa lebih dari dua pertiga anak menikmati saat mereka dibacakan buku, baik di rumah maupun di sekolah.

Hmm, berarti tidak semua anak senang dibacakan buku, ya?

Bukan, bukan. Anak-anak yang tidak senang dibacakan buku ternyata memiliki alasan sendiri. Alasan paling banyak, selain karena terganggu dengan murid lain jika dibacakan buku di sekolah, adalah karena pembaca buku tidak membacakan dengan menarik.

Wah, ternyata cara dibacakan buku dapat berpengaruh pada kesenangan anak, ya? Lalu, bagaimana caranya agar kita dapat membacakan buku dengan menarik?

  1. Beri kesempatan anak untuk menebak cerita. Dari judul buku atau gambarnya, ananda pasti senang menerka-nerka. Mengapa ada gambar itu? Mengapa judulnya demikian? Hal ini bisa memancing rasa ingin tahu anak tentang cerita apa yang akan dibacakan. Dengan menebak isi cerita, ia memiliki rasa ingin tahu apakah tebakannya benar atau tidak. Ini akan menumbuhkan rasa ingin tahu dan membuat sang anak tetap ingin dibacakan buku. 
  1. Mencari hubungan cerita dengan dunia si kecil. Sifat dasar manusia adalah selalu mencari keterhubungan. Anak-anak juga begitu. Cerita pada buku bisa saja berhubungan dengan kehidupan sang anak, lingkungan sekelilingnya, atau mungkin dengan buku lainnya. Mencari keterhubungan ini bisa dilakukan sebelum, saat, dan setelah membaca buku. Cara ini tidak hanya membuat kegiatan membaca jadi menarik, tetapi juga terasa lebih dekat bagi sang anak.
  1. Membaca dengan antusias. Cara paling mudah untuk membaca dengan antusias adalah dengan memilih buku yang menarik bagi pembaca dan yang dibacakan. Jika anak meminta dibacakan buku yang sama lagi dan lagi, itu artinya buku tersebut menarik bagi sang anak. Dengan buku itu, membaca pasti menyenangkan. Namun, bagaimana dengan buku baru? Jika ingin membacakan buku yang baru pertama kali dibacakan, Ibu bisa mulai dengan screening buku terlebih dahulu. Sehingga Ibu bisa melihat jalan cerita dan mengenal karakter di dalamnya. Setelah mengenal lebih dekat buku tersebut, pastinya Ibu bisa menyuarakan cerita dan karakter dengan lebih natural, menarik, dan antusias.
  1. Berdialog dengan sang anak. Membaca nyaring bukan kegiatan “Ibu membaca, anak mendengarkan.” Lebih dari itu, ada dialog yang mengalir antara pembaca dan pendengar. Supaya kegiatan ini berjalan menarik dan natural, pasti ada dialog yang berjalan, baik antara pembaca dan pendengar, maupun kepada buku itu sendiri. 

Ternyata, membacakan buku juga ada tekniknya, ya. Jika dibacakan dengan menarik, anak pasti akan ketagihan membaca. Hal ini tidak hanya membuat kegiatan membaca menjadi rutinitas favorit, tapi membuat ananda cinta pada kegiatan tersebut. Seperti yang Emilie Buchwald katakan, “Anak-anak cinta membaca berawal dari pangkuan orang tuanya sendiri.”

***

Referensi:

Ledger, S., & Merga, M.K. (2018). Reading Aloud: Children’s Attitude toward being Read to at Home and at School. Australian Journal of Teacher Education. Diakses dari https://researchrepository.murdoch.edu.au/id/eprint/40657/1/Childrens%20Attitude%20toward%20Reading%20Aloud.pdf

McGee, L.M., & Schickedanz, J. (2007). Repeated Interactive Read-Alouds in Preschool and Kindergarten. The Reading Teacher: Wiley Online Library. Diakses dari https://cpin.us/sites/default/files/docs/Repeated%20Interactive%20Read-Alouds%20in%20Preschool%20and%20Kindergarten%20_%20Reading%20Rockets.pdf

Penulis: Detta Devia Rahmayani
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa