Tag: Peran Orang Tua

Banner – Mengelola Privacy Anak (2)
Uncategorized

Mengelola Privasi Anak di Era Digital

Di era teknologi yang semakin berkembang, orang tua semakin dipermudah dalam mengabadikan momen pertumbuhan si kecil. Selain mengabadikan momen, banyak yang mengunggah dan membagikan momen – momen si kecil tersebut di beragam aplikasi media sosial. Tidak jarang orang tua bahkan membuat akun media sosial khusus untuk anak yang didedikasikan sebagai “portofolio” anak atau sekedar galeri memori. Dilaporkan dalam sebuah penelitian di US, hampir 92% dari anak – anak berusia kurang dari 2 tahun sudah memiliki akun online yang dibuat oleh orang tuanya. Namun, tahukah Busist, ada resiko yang mengintai dari data/foto anak yang kita unggah di media sosial ? 

Penyalahgunaan dan pencurian data digital anak adalah salah satu dari resiko mengekspos data atau foto anak ke dunia digital. Apabila foto atau video tersebut sudah diunggah, maka kita akan kehilangan kendali terhadap foto atau video tersebut. Orang – orang yang mendapat akses ke akun media sosial kita atau media sosial anak dapat dengan mudah mengunduh foto/video tersebut, menyebarkannya dan menggunakannya untuk kepentingan tertentu. Foto/video anak tersebut bisa saja digunakan sebagai target pelecehan online atau kejahatan lainnya. Sebuah studi yang dilakukan oleh pemerintah Australia eSafety menemukan bahwa sekitar 50% dari foto yang dibagikan di situs-situs yang digunakan oleh para pedofil berasal dari sosial media.

Selain rawan menjadi target kejahatan, mengunggah foto anak di media sosial bisa membawa dampak psikologis bagi mereka. Bagi anak – anak yang sudah lebih besar seringkali mereka sudah bisa menolak untuk didokumentasikan dan diunggah ke media sosial. Banyak orang tua yang menganggap hal ini sepele. Mereka tidak mengindahkan privasi anak dan tetap mengunggahnya. Hal ini bisa membuat anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Jejak digital tumbuh kembang anak yang tersebar di dunia maya juga bisa jadi menjadi salah satu penyebab mereka kehilangan kepercayaan diri, terutama jika ada foto yang menunjukan bagian private anak meski diunggah ketika anak tersebut masih kecil.

Lalu bagaimana cara mengelola foto dan video  anak yang diunggah di platform daring agar tetap terjaga privasinya? Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orang tua, sebagai benteng pertama perlindungan anak, untuk mengelola privasi anak di dunia maya. Beberapa cara diantaranya adalah sebagai berikut : 

  • Jangan bagikan informasi rahasia seperti identitas lengkap, data medis, dan hal-hal yang bersifat pribadi
  • Jangan upload foto bagian private tubuh anak meski masih bayi
  • Jangan bagikan detail lokasi keberadaan dan sekolah anak
  • Minta izin kepada anak yang sudah lebih besar sebelum mengunggah foto dan videonya hargai privasi anak
  • Batasi audiens di platform yang digunakan untuk mengunggah foto anak. Contoh di platform Instagram, orang tua bisa menggunakan fitur close friend atau set akun menjadi private sehingga tidak bisa diakses oleh sembarang orang. 
  • Berkomunikasi aktif dengan sekolah terutama jika ada data anak yang perlu diunggah secara online oleh sekolah untuk kepentingan akademik.

Selain peran orang tua, peran pemerintah juga signifikan dalam melindungi hak privasi anak di dunia maya. Keberadaan pemerintah, terutama dalam memberantas kejahatan online dengan target anak – anak dan penyalahgunaan data, sangatlah dibutuhkan. Saat ini pemerintah sudah memiliki peraturan yang mengatur penggunaan data online. Peraturan tersebut tertuang dalam UU PDP (Undang Undang Perlindungan Data Diri). Di dalam UU tersebut juga dibahas tentang perlindungan data anak. Meski masih perlu disempurnakan, UU ini bisa menjadi dasar untuk orang tua agar lebih bijak mengelola privasi anak serta menjadi payung hukum dalam menindak pihak yang menyalahgunakan data dan foto/video anak.  Selain membuat peraturan, pemerintah juga perlu mensosialisasikan literasi digital terhadap semua lapisan masyarakat tentang adanya ancaman privasi anak. 

Mengelola privasi anak di dunia digital adalah tanggung jawab besar bagi setiap orang tua.  Melalui langkah-langkah perlindungan yang tepat, kita dapat menjaga keamanan dan kehormatan anak-anak kita di dunia maya, memastikan mereka tumbuh dengan aman dan percaya diri.

Referensi:

Bessant, C. (2018). Sharenting: balancing the conflicting rights of parents and children. Communications Law, 23 (1), 7-24.

Keith, B. E., & Steinberg, S. (2017). Parental sharing on the internet: Child privacy in the age of social media and the pediatrician’s role. JAMA pediatrics, 171 (5), 413-414.

Penulis: Ima Maharani
Ilustrator: Endah Fajriani Rifai
Editor: Elfita Rahma Aulia

drinking water
Kesehatan

Minum, Kebutuhan Dasar yang Sering Terlupakan

Sama seperti bumi yang dua per tiga bagiannya adalah air, ternyata 50–60% komposisi tubuh manusia juga adalah air. Bahkan pada anak di bawah usia satu tahun, hampir 85% dari berat badannya adalah air. Maka dari itu, tidak heran jika kekurangan cairan bisa berakibat fatal.

Pada tahap tertentu, kekurangan cairan dapat menyebabkan tubuh tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, hal ini kita kenal dengan dehidrasi. Saat mengalami dehidrasi gejala awal yang muncul biasanya adalah merasa haus. Namun yang jadi masalah adalah kita sering mengabaikan rasa haus ini dan menyebabkan tubuh mengalami dehidrasi. Bahkan salah satu studi di Indonesia menemukan bahwa 49,5% remaja dan 42,5 % orang dewasa terkena dehidrasi ringan.

Menurut Mayo Clinic, beberapa penyebab seseorang mengalami dehidrasi antara lain diare akut, muntah berlebihan, demam, berkeringat berlebihan, atau sedang mengalami infeksi. Namun terkadang dehidrasi terjadi karena alasan sederhana, yaitu tidak cukup minum karena sibuk beraktivitas. Selain pekerja dan siswa, seorang ibu yang kesehariannya di rumah juga berisiko mengalami dehidrasi.

Banyaknya aktivitas yang dilakukan oleh ibu dalam sehari seringkali menyebabkan minum menjadi aktivitas yang dikesampingkan. Akibatnya beberapa orang mengalami rasa sakit kepala dan penurunan konsentrasi akibat dehidrasi yang tidak disadari. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Siska Kusumawardani pada siswa di SDN Sudimara 5 Tangerang menunjukkan bahwa tingkat hidrasi sebanding dengan tingkat konsentrasi yang dimiliki oleh siswa. Hal ini wajar terjadi, sebab 83% bagian otak merupakan air. Saat kurang minum, maka otak kekurangan cairan elektrolit yang berfungsi menghubungkan aktivitas antar selnya dan berakibat menurunnya fungsi neurologis dan kognitif.

Berikut ini adalah beberapa tips agar Ibu dan Sister tidak kekurangan minum meski memiliki aktivitas yang padat dalam sehari:

1. Pasang alarm atau pengingat di ponsel

Saat ini ada banyak aplikasi pengingat waktu minum yang dapat diunggah di ponsel, beberapa di antaranya Hydro-Water Drink Reminder dan Leap Fitness Drink Water Reminder.

2. Letakkan air minum dekat lokasi kita beraktivitas

Agar tidak beralasan tidak minum karena jauh, sebaiknya letakkan botol atau gelas minum di dekat kita beraktivitas. Misal, sebelum tidur meletakkan minum di kamar atau saat bekerja meletakkan minum di meja kerja.

3. Gunakan botol minum yang menarik

Saat ini ada banyak botol minum dengan bentuk dan warna yang menarik. Selain agar menarik perhatian kita, membiasakan membawa botol minum juga dapat mencegah sampah kemasan minuman,

4. Minum cairan tinggi elektrolit

Jika minum air putih saja terasa membosankan, kita bisa mencoba minum air kelapa atau nutrient dense water (NDW) yang tinggi elektrolit. NDW dapat kita buat dengan mencampur air hangat, madu, garam laut, serta air lemon.

5. Tambahkan es batu atau potongan buah pada air minum

Saat cuaca sedang panas, kita dapat menambahkan es batu atau potongan buah ke dalam air minum. Selain terasa lebih segar, mengkonsumsi infused water dipercaya dapat membantu proses detoksifikasi dan mencegah penuaan dini.

Nah setelah tahu bahwa ternyata kekurangan cairan dapat berdampak buruk terhadap kesehatan, yuk setelah ini jangan lupa untuk minum sesuai dengan kebutuhan tubuh. Jangan sampai karena sibuk mengurus anak jadi lupa minum ya Ibu dan Sisters.

***

Referensi:

Alodokter. (2021). Tak Hanya Menyegarkan, Inilah 4 Manfaat Infused Water untuk Kesehatan. Diakses dari www.alodokter.com/fakta-tentang-manfaat-infused-water pada 16 Februari 2023

Anggi. (2023). Daftar Aplikasi Pengingat Minum Terbaik !. Diakses dari www.teknovidia.com/aplikasi-pengingat-minum/ pada 16 Februari 2023

Briawan, Dodik., Rachma., Annisa., 2011. Kebiasaan Konsumsi Minuman dan Asupan Cairan pada Anak Usia Sekolah di Perkotaan. Journal of Nutrition and Food. 6(3): 186-191

Dewi, Ratih. (2021). 7 Tips Sederhana Ini Bikin Kamu Rajin Minum Air Putih. Diakses dari https://www.beautynesia.id/wellness/7-tips-sederhana-ini-bikin-kamu-rajin-minum-air-putih/b-193412/ pada 16 Februari 2023

Kusumawardani, Siska, & Ajeng Larasati, 2020. Analisis Konsumsi Air Putih Terhadap Konsentrasi Siswa. jurnal.umj.ac.id/index.php/holistika. 91-95. ISSN : 2579 – 6151

Lentini, Banun., Margawati, Ani., 2014. Hubungan Kebiasaan Sarapan dan Status Hidrasi dengan Konsentrasi Berfikir pada Remaja. Journal of Nutrition College. 3(4): 631-637

Mayo Clinic. (2021). Dehydration. Diakses dari 

www.mayoclinic.org/diseases-conditions/dehydration/symptoms-causes/ pada 16 Februari 2023

Yolanda, Natharina. (2016). Kebutuhan Air Pada Anak. Diakses dari www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/kebutuhan-air-pada-anak pada 16 Februari 2023


Penulis: Widia Anggia Vicky
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa

7 cara menjadi tempat curhat anak
KeluargaUncategorized

7 Cara Menjadi Tempat Curhat Anak

“Pagi ini kaget banget dengar cerita dari mamanya teman anakku kalau anakku katanya lagi suka sama teman sekelasnya. Duh, yang jadi pikiran bukan karena anakku yang sedang kasmaran. tetapi kenapa anakku tidak cerita dan malah dapat curhatan dari mama temannya” 

Kira-kira beginilah versi galaunya ibu-ibu yang tidak mendapatkan kesempatan mendengarkan curhat anak secara langsung tapi malah dapat dari cerita orang lain. Semacam ada rasa sedih mengapa bukan kita yang menjadi tempat anak untuk bercerita apa saja termasuk hal-hal kritis seperti ini. Kalau sudah begini jangan ragu untuk evaluasi hubungan kita dengan anak, ya. Setuju, nggak, Bu?

Skenario peristiwa diatas saat ini mungkin banyak terjadi. Salah satu penyebabnya adalah Kemajuan teknologi. Era digital akan memberikan tantangan tersendiri untuk kita para orang tua milenial. Terutama soal pengasuhan anak yang terkadang jadi serba tidak fokus disebabkan oleh gangguan yang datang akibat aktivitas di dunia maya yang dilakukan oleh orang tua secara tidak sadar atau juga oleh anak-anak yang over-focus pada gawainya sehingga less attention dengan lingkungan sekitar akibat pengawasan yang lemah dalam penggunaan gawai oleh orang tua. Hal ini tentu berdampak besar, salah satunya pada kualitas hubungan antara orang tua dan anak yang bisa saja memiliki penurunan komunikasi bahkan sampai hilangnya rasa perhatian antara orang tua dan anak secara tidak sadar. Menurut Bainar (2020) ada beberapa faktor anak memilih curhat dengan orang lain atau di media sosial, (1) karena orang tua pernah abai dan cuek dengan cerita yang pernah disampaikan, (2)  lalu orang tua selalu mendominasi pembicaraan bukan lebih banyak mendengar, dan (3) orang tua tidak mampu membangun komunikasi intensif di sela kesibukannya.

Apabila kondisi ini dibiarkan secara terus menerus maka tidak mengherankan jika anak akan memilih memiliki dunianya sendiri di dalam gawai, seperti lebih memilih curhat lewat media sosial, atau berhubungan dengan orang asing melalui game community-nya hingga pada akhirnya tidak pernah bercerita apapun lagi kepada orang tua. Wah, kalau sudah begini tentu akan sangat repot jika kita tidak lagi menjadi tempat pertama yang anak cari untuk bercerita keluh kesahnya. Selain kita kehilangan golden memory untuk sharing each other, tentu kita akan sulit mengawasi apakah anak berada pada pergaulan, ideologi, atau pemahaman yang tepat sesuai dengan bunda dan ayah harapkan kalau bukan dari ngobrol bareng mendengarkan cerita anak.

Pada dasarnya, orang tua tentu menginginkan kelekatan yang harmonis dengan anak, namun fakta dilapangan sering sekali kita melupakan hal-hal penting pada soal gaya komunikasi yang tepat atau bagaimana cara memberikan perhatian yang disukai oleh anak, sebab ternyata akan berpengaruh pada preferensi anak untuk memilih tempat bercerita (Pandu dkk. 2014). Oleh sebab itu nih, Ibu dan Sister, ada tips untuk kita para orang tua agar dapat menjadi pilihan pertama tempat anak bercerita sejak kecil (Sihabudin, 2015) :

1. Menciptakan hubungan baik

Orang tua berwajah manis kepada anak, sering menanyakan hal-hal remeh yang merupakan tanda bahwa orang tuanya sangat perhatian walau terhadap hal-hal kecil, dan ketika anak datang kepada kita, kita harus membangun suasana nyaman dan terbuka siap mendengar, seperti contoh Wah, gimana hari ini? Apakah ada yang bisa Ibu bantu?”

2. Mendengarkan dengan sepenuh hati

Saat anak sudah datang dan berani bercerita, maka jangan pernah sekali-kali kita membagi waktu berceritanya dengan hal apapun. Bermain gawai, mengurus pekerjaan dsb. Respon paling tepat adalah segera letakkan gawai, dan tatap wajah anak dengan seksama.

3. Bukan asal potong

Nah, sering banget ya, Bu, kita para orang tua memotong cerita anak dan memberikan tanggapan, padahal mungkin masih banyak cerita yang ingin anak sampaikan. Jadi, mulai sekarang biarkan anak bercerita sampai pada akhirnya dia bertanya tentang tanggapan kita.

4. Berempati dengan ceritanya

Ayo buk belajar masuk kedalam perasaan anak kita saat mereka bercerita. Sehingga tanggapan kita bisa sesuai dengan sudut pandangnya, dan kita tidak melukai perasaannya, bisa dibilang kita harus mampu memvalidasi perasaan anak saat bercerita apakah dia sedih, senang, takut atau kecewa.

5. Menjadi pendengar yang baik

Soal ini kita harus banyak berlatih dengan anak, kita harus mulai belajar bisa membaca kehendak anak, apakah anak hanya ingin mendengar atau anak mencari solusi dari sisi kita. Jangan sampai ternyata anak hanya ingin cerita, tetapi kita malah memberi tanggapan berupa nasihat sepanjang kereta api. Hehehe…

6. Jangan jadi guru, tapi teman

Kita tidak perlu merasa lebih tahu untuk hal-hal tertentu dibandingkan anak. Anggaplah kita sedang berdiskusi dan sama sama tidak tahu persoalan ini.

7. Bisa menjaga rahasia

Nah ini lho, Bu, seringkali kita tidak tahan untuk cerita ke orang lain soal cerita anak kita. Padahal kita sudah jadi tempat kepercayaan anak lho, Bu. Jadi, jangan sampai anak malah tidak mau cerita ke kita lagi, ya.

***

Referensi:

Bainar. (2020). Urgensi Mendengarkan Pendapat Anak Dalam Pendidikan Islam Bagi Orang Tua Muslim Perpektif Al-Quran Di Era Digital. Al-Mutharahah: Jurnal Penelitian Dan Kajian Sosial Keagamaan. Vol. 17 No. 2. Juli-Desember 2020. P-Issn 2088-0871. Doi: 10.46781/Al-Mutharahah.V17i2.143

Pandu Me. Abbas Rr. Mengge B. (2014). Orang Tua Ideal Masa Kini (Studi Keharmonisan Orang Tua-Anak Pada Empat Etnik Di Makassar). J.Socius Volume Xv, Januari – April 2014.

Sihabudin M. (2015). Peranan Orang Tua Dalam Bimbingan Konseling Siswa. Jurnal Kependidikan, Vol. Iii No. 2 

Penulis: Anisha Ayuning Tryas
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa

healing with journaling
Keluarga

Coping with reverse culture shock as a PhD mama: An Interview with Dr. Abeer Bar

Introduction

Hi, I am Dr. Abeer Bar from KSA. I spent about 7 years in the US to complete my PhD at Indiana University Bloomington. My academic journey was exciting and had a profound effect on my life. It was unique and unexpected in many ways, for example I did not go through a normal culture shock experience. Although I lived in the US as a child, to my surprise, I experienced reverse culture shock when I came back as an adult. I then experienced reverse culture shock again after I graduated and returned to my home country Saudi Arabia. During my adjustment process I found supportive tools and met wonderful kind people that eventually indirectly shaped a new resilient identity.

The first step in my PhD journey

I packed my suitcases with toys, pots, and clothes in my preparation to start an exciting PhD journey along with my son and daughter. They were in grades 1 and kindergarten, respectively. My husband had a very good job in KSA, so it was impossible to leave. Hence, we decided to choose a long-distance marriage with a plan that my husband visited us every two months or so. Our decision was based on the fact that I was confident of my ability to handle being on my own. After all, I was independent, strong, highly motivated and I lived in the US before. I believed I could finish my PhD in a short period of time and be back in a couple of years. In short, it wouldn’t be a problem for me or my family “I can do it, why couldn’t I?”. 

Challenges and difficulties (culture shock)

However, soon after settling and my husband returning home, I began to feel a little less confident. Living in a western country is very different. In comparison to life back home, I struggled with constantly being on my own. Before I came to the US, I relied so much on my support system, be it from my husband, family, friends, or nannies and helpers at home. Things were different for me in the US. I would shop for groceries, do the laundry, cook, throw out garbage, pay bills, and take care of my kids schooling all by myself. No one else was there. I was used to having everything ready and set and clean. I was frustrated because I wanted to make sure everything was done in the same way I was used to, and it was too overwhelming. On top of that, I had to be always ready as a student too, after all it was the reason we were all there. It was all a huge responsibility, and at one point I was scared and felt like giving up.

Most of my classmates were locals, and the majority were single. Can you imagine being the only mother in the class? At the beginning, I couldn’t connect with any of my cohort. I could not participate in the after-class group discussion as I had to hurry back home to my children. Since I was not part of the cohort’s social group, I was missing out on study sessions and sharing of class notes. I was afraid to fall behind in class and there were even a couple of times when I wanted to quit my program, but my supervisor was supportive and encouraged me to finish what I started. His understanding of my overwhelmedness was a huge relief for me, he had experience with international culture and went through a study abroad experience himself. Academically and socially, I felt left out. I realized my initial life and study abroad plan needed revision. I needed a survival plan and to take action.

Overcoming the hurdles

That all happened in the beginning, and I realized that this must just be part of the transition period.  I then started to try to find other Muslims, connect with other mothers, and start reaching out to myself, which was something new to me. Although I communicated via email with an online mom group, I didn’t reach out to them after I moved to the US. They gave me great advice on schools and family residences, however, I didn’t connect with them after the move because they were not graduate students and thought we wouldn’t connect. I wish I had, it might have helped with the transition. Fortunately, within 7 years in the US, I was blessed to make friends with a few graduate student moms and they have been great friends ever since. I increased my social circle by joining the international student community, which helped me overcome difficulties on campus. The most important lesson I learned was how much communities meant to us and how valuable it was that they were available as a support system.

After that first tough year, my husband and I started to realize that our family relationships could deteriorate when our family was not together. Our kids came first and the experience showed us that they needed both their mom and dad in the same place all the time. My husband generously chose to leave his job and unite with us. I felt our family change, we appreciated each other more, and our family values took precedence much more than before. This was a big step for us, and I learned that the foundation of our support system is my own family.

Another realization, which came after connecting with other graduate student moms, was that I had to be more lenient with myself in terms of housework and chores and allow the help of my husband and people around me, even though it’s not like I was used too. Good enough is good enough (I have that as a magnet on my fridge). Since then, some of my burdens were relieved, and I felt I could start anew from home and continue my journey with less stress.

I finally started to feel more confident that I could finish my PhD!

Preparing to go home

I was familiar with the reverse culture shock associated with returning home to Saudi because I had experienced it before when I was young. I also had theoretical knowledge of the existing literature because it was also part of my doctoral research interest. My background knowledge helped my expectations but the reality is that no matter how much you prepare, going back home to your country will always have its challenges.

I started to prepare my children a year before we intended to move back. I told them that the experience was not going to be like summer vacation, all fun and gatherings and outings. I made sure that there would be more social obligations than before and that the way they dress, walk, talk, and more will be seen as different and that they should think carefully about their values and their surroundings before they made a decision. I prepared them for the worst scenarios and I believe their transition was a healthy one because of it. It took a few weeks but they made new friends, were happy in their school, enjoyed after school activities and looked forward to family gatherings. I was very happy with their adjustment process. My experience was a bit different and I felt I should have prepared myself better. It took me a longer time to adjust.

Reverse Culture Shock: The hardest part of going back home.

Changes in the workplace

I came back after many years to find that naturally the people that I networked with before were not in the same positions. I maintained connection with past colleagues while I was abroad and that served me well as I was hired a few months after graduation. However, the network I used to support my work was outdated and I needed to make an effort and engage socially to create a new one. That meant joining new business groups, reintroducing myself in my field and more time socializing and networking. I came back to an environment where men and women were working together, which was something that I wasn’t used to as I have previously always worked in an all female work environment. I had to wear my abaya and headcover all the time (which honestly wasn’t bad as it saved me from the hassles of choosing outfits every morning). With a new workplace comes the usual adjustment of understanding the institution’s goals, values and mission. The dynamics were different and the administration had a more diverse approach than what I was used to. One struggle of returning to work after a study abroad experience was adjusting to a fixed schedule. Before, as a student, I was mostly at home writing my thesis or attending classes no more than three times a week. Working, on the other hand, meant an 8 to 4 shift and then with my new job I also had weekends when I had to work.

Changes in society and the community

I left mid 2011 and came back early 2018, and since then, there has been an incredible amount of positive transformation in my country. Women are allowed to drive, transformation of education and training in an effort to develop excellent human resources, women in leadership positions, global and economical advances, the changes are so big and so small that even the color of our abayas changed! As a Saudi and a Saudi woman specifically these changes make me feel proud and blessed and witnessing them all at once was overwhelming.I had to make sure I was up to date and adjust to these positive changes. Literature on reverse culture experience highlights the process of the Sojourner’s adjustment to the changed community and adjustment of the community to the changed Sojourner. This means that not only has the community changed physically, socially and/or economically, but the experiences the student faced abroad has changed them too. I mentioned some of the changes I went through earlier. My new developed self had to find its place in society again. It was exciting and scary and felt similar to the panic I had when I moved to the US. I wanted to be a confident and strong member of my present/past home society, I wanted to have an effective role in supporting my country’s development plan “Vision 2030”. I came back for that exact reason and (like before) I needed a plan to support and help me succeed. I got the job, now I need to adjust and be at peace with myself in my present/past home. This time I was prepared, I knew it was going to take effort, I knew it was going to take time but this time my family was present and ready to support me. It did take time for me to change my habits and choose and adopt new ones. It was not easy but I was motivated by the knowledge that my stability was important to my children (even if it meant pretending some days). I was their guide to our present/past home.

How to overcome reverse culture shock

I was fortunate to meet moms who went through my experience before me. I met them through my kids after school activities, their kids also went through the transition and the parents found activities to have a positive effect on their transition. Their advice to me started off with a reminder to take my time and that adapting and transitioning will take at least 3 years. For me, it has been 4 years, and I have days where I feel great and other days where I feel like I’m still going through the process. They also mentioned attending various classes and workshops which will help with socializing and learning from the community. I took classes ranging from dancing, stitching to leadership and digitalization. I definitely feel like I am happier the more involved I am with the community. 

For my children, I let them experience reverse culture shock in a way where they feel they are part of society and still maintain who they are. I allow them to practice the same activities that gave them comfort when they were in the US, like going out and playing outside. I initially felt apprehensive that some of their activities like biking to school might not be typical and strange to some, but I have to say that they are fortunate that the changes that happened in the country have been encouraging and supportive of their activities. They even developed a biking community!   

One of the things that I believe helped my children’s transition is that I didn’t change my children’s education system. They continued to study under an American educational system. The main reason behind the decision was that they were both in high school, and I felt changing the system would affect their academic success and therefore affect their university applications. I also wanted them to be part of an international community where they can connect with other students who also developed their character by living in different cultures (and hopefully) still maintain their own values and personalities (they have made amazing friendships Alhamdulillah). 

Additionally, we do keep in mind the importance of building a strong religious and familial foundation at home. We made sure that our home was the center. We don’t have help at home and everybody is involved in keeping the house running. 

Eventually, I felt at peace and relieved that at my return I did not come back the same person as I was before I left.  I changed because I experienced living abroad. It’s not only the society that has changed; it’s me that has changed and I had to find a new way to adjust, adapt, and acculturate.  I accept and am proud that my path was not linear, I will always be unique and I will find my place in society as I am because my society needs my unique and creative outlook. 

This time around, I felt that I dealt with it better than the first time I came back.

My main source of motivation

From the start, I knew that I wanted to come back home and create student leadership programs. The whole idea of getting a PhD was to make sure that I actually design quality programs built on experience and theoretical knowledge. I wanted to craft students’ journeys and ensure they have the tools that lead to their success.  I wanted to have a decision-making position and constantly determining the skills and experiences that benefit the students in their ever-changing environment

For me, it’s always been about the students. Supporting and guiding them towards achieving their goals while ensuring they have the tools to succeed. I use the skills I learnt during my studies to give them a learning environment that teaches them how to be the best version of themselves without compromising their values and become leaders true to themselves and powerful servants to their country. For my studies to give me that opportunity is a blessing that truly makes me happy. I strongly believe that all this knowledge, education and experience is a gift and an amanah, and since Allah SWT gave me these blessings, I have a duty to make sure that they are used in the right way.

Messages for other mothers out there who wish to continue their education or career

I believe you will not only light up your own path but also your children’s. Whether you work or study, you are gaining knowledge and experiences everyday and, therefore, supporting yourself to become a better person and, eventually, a better mother as you support your children to become better people in the community. By going out and experiencing the outside world you understand more about the things that are happening around you, and therefore, you can prepare your children better for the world they live in. It is important to acknowledge that whether you are a stay-at-home mom or you work or study, it is a choice, and there is beauty and generous giving in each one of those roles. My choice to study abroad has been the best one I made. I am forever grateful to Allah for his guidance and support to be where I am today. My study abroad experience was an exciting journey that involved leaving the comfort of my home, studying until dawn, gaining new knowledge and experiences, meeting new people, learning about my strengths, my weaknesses, and becoming aware of the things that are most important to me. I learned that my family is very important, and appreciating them more came through this experience. The possibility of growing and adopting an exciting new and different identity through learning opened new doors not only for myself but also for my children. Simply put, because of the journey  I’ve been through, it’s made me a better mother. I am a better person for my children, my husband, and myself.

***

Author: Tami Astie Ulhiza & Tera Wednes Oktireva Harsa

banner
Kesehatan

Ketika Anak Terkena Campak, Apa yang Sebaiknya Ibu Lakukan?

Ibu dan Sister tentu pernah mendengar tentang penyakit campak, kan? Dewasa ini terjadi lonjakan kasus penyakit campak yang menyerang anak-anak di Indonesia. Waspada harus, tetapi jangan panik, ya! Yuk, kita kenali dulu apa itu penyakit campak! 

Dilansir dari sejumlah artikel, salah satunya Catchmeup.id (2023) dijelaskan bahwa kasus campak di Indonesia mengalami kenaikan sebanyak 25 kali lipat pada tahun 2022. Berawal dari 132 kasus di tahun 2021, kini kasus campak menjadi 3.341 kasus di tahun 2022. Terang saja, peningkatan kasus campak tersebut pun disebut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

Disebutkan dari berbagai sumber bahwa hingga akhir Desember 2022 tercatat temuan penularan campak di 31 provinsi di Indonesia (Maulana, 2023). Lantas, mengapa terjadi peningkatan kasus campak? Adanya pandemi COVID-19 menjadi salah satu pemicu terjadinya KLB campak. Selama pandemi, masyarakat Indonesia lebih banyak berdiam diri di rumah dan menghindari tempat-tempat ramai termasuk fasilitas kesehatan, sehingga cakupan imunisasi menjadi menurun. Dampak panjang dari kejadian ini adalah terjadinya penurunan kekebalan komunitas (herd immunity). Ketika pandemi mulai berakhir dan masyarakat kembali beraktivitas, memungkinkan terjadinya kontak erat antara satu orang dengan orang lainnya, sehingga menjadi trigger peningkatan penularan penyakit campak. Selain itu, kantong-kantong wilayah yang memiliki cakupan imunisasi rendah kini makin banyak setelah pandemi karena adanya penolakan terhadap vaksinasi itu sendiri.

Lantas, apa sebenarnya penyakit campak itu? Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh salah satu jenis virus dari kelompok paramyxovirus yang masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan. Artinya, penularan penyakit campak dapat terjadi melalui udara ketika penderita bersin atau melalui cairan lendir yang dihasilkan saat penderita pilek. Ketika sudah sampai di saluran pernapasan, virus akan menetap, memperbanyak diri, dan menyebar ke seluruh tubuh. Penyakit campak ini bersifat self-limiting disease atau dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, kita sebagai orang tua tetap harus waspada ya, Bu. Karena penyakit ini dapat menimbulkan komplikasi terutama untuk orang-orang atau anak-anak yang memiliki imunitas rendah dan anak-anak dengan status gizi buruk. Komplikasi yang dapat terjadi misalnya radang paru-paru, radang telinga, radang selaput otak, bahkan kematian.

Penyakit campak tentu saja memiliki gejala yang membedakannya dengan penyakit lainnya. Gejala awal dari penyakit ini baru akan terasa setelah empat belas hari virus campak masuk ke tubuh. Setelah terinfeksi virus campak, seseorang akan mengalami demam tinggi yang akan dibarengi dengan tenggorokan kering, pilek, mata merah, serta berair. Setelah itu akan muncul ruam-ruam merah di sekujur tubuh. Pada langit-langit mulut juga akan timbul bercak berupa titik-titik putih keabuan dengan bagian tengah kemerahan yang disebut dengan bercak koplik. Bercak ini dapat menyebar ke seluruh mukosa mulut dan bibir dan jarang ditemukan di bibir bagian bawah tengah (Nugraha, 2015).

Bercak koplik juga menjadi salah satu yang membedakan seseorang terkena campak (morbilli) dengan campak Jerman (German measles) yang disebabkan oleh rubivirus. Bercak koplik akan muncul pada stadium awal campak atau disebut dengan stadium kataral. Pada stadium ini munculnya bercak koplik beriringan dengan gejala-gejala awal campak seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Kita intip upaya pencegahan campak yuk, Bu!

  1. Pastikan cakupan imunisasi campak si kecil sudah lengkap, ya, Bu. Pemberian vaksin campak umumnya dilakukan pada usia 9 bulan, 18 bulan, dan ketika si kecil menginjak usia 6 atau 7 tahun. 
  2. Hindari bepergian ke tempat ramai apabila kondisi si kecil tidak fit, kurang sehat, atau dalam kondisi kelelahan.
  3. Gunakan masker ketika pergi keluar rumah.
  4. Konsumsi makanan sehat, bergizi, dan seimbang. Selain itu, konsumsilah air putih yang cukup serta cukup istirahat.

Upaya pencegahan diperlukan tentu saja untuk mencegah penularan penyakit campak. Namun, jika si kecil sudah terinfeksi virus campak, ibu tidak perlu panik. Beberapa hal berikut dapat ibu lakukan apabila si kecil sudah mulai menunjukkan gejala penyakit campak.

  1. Memastikan si kecil tetap beristirahat di dalam rumah untuk memulihkan dan meningkatkan sistem imunnya.
  2. Memastikan si kecil tetap berdiam diri di rumah atau kamar sehingga mengurangi kontak dengan orang sekitar untuk mencegah penularan.
  3. Memastikan si kecil mendapatkan asupan makanan sehat dan bergizi seimbang.
  4. Jika demam sudah turun, si kecil boleh dimandikan untuk mengurangi rasa gatal dari ruam-ruam yang muncul pada tubuh.
  5. Memastikan pakaian yang dikenakan si kecil tetap nyaman dipakai. Hindarilah keringat berlebih untuk mengurangi rasa gatal yang timbul akibat ruam-ruam yang muncul.
  6. Memastikan asupan cairan yang cukup bagi si kecil agar tidak mengalami dehidrasi, khususnya saat demam.

Apabila si kecil sudah terinfeksi campak, diperlukan upaya penanganan dan pengobatan. Beberapa tata laksana pengobatan yang dapat dilakukan saat si kecil terkena campak sebagai berikut.

  1. Segera ke dokter apabila kondisi si kecil sudah memerlukan bantuan tim medis. Beberapa obat-obatan yang umumnya diresepkan oleh dokter di antaranya obat penurun panas, seperti acetaminophen ibuprofen atau naproxen yang bisa membantu meredakan demam. Jangan memberikan aspirin pada pasien campak karena dapat mengakibatkan sindrom reye yang bisa menyebabkan penderitanya kebingungan, pembengkakan otak, dan kerusakan hati. Antibiotik diberikan apabila pasien campak mengalami komplikasi dengan infeksi bakteri ke paru-paru (radang paru) dan infeksi telinga. Vitamin A dapat mengurangi keparahan bagi pasien yang terkena campak.
  2. Melakukan vaksinasi apabila diperlukan.
  3. Memberikan serum immunoglobulin bagi seseorang dengan kasus tertentu, seperti ibu hamil, bayi, dan seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat lemah dan mudah terkena virus sesuai anjuran dokter.

Nah, itulah uraian singkat tentang penyakit campak. Mengenal dan mencegah penyakit campak akan lebih baik dilakukan daripada mengobati. Mudah-mudahan keluarga dan anak-anak kita selalu diberikan kesehatan dan terhindar dari penyakit campak ini, ya, Ibu dan Sister. Salam sehat selalu.

***

Referensi:

Anggraini, Ariska Putri. 2020. Anak Terkena Campak, Apa yang Harus Dilakukan Orang Tua?. https://health.kompas.com/read/2020/01/28/162900468/anak-terkena-campak-apa-yang-harus-dilakukan-orangtua?page=all tanggal 06 Februari 2023 pukul 10.00 WIB. 

Catchmeupid. 2023. Kasus Penyakit Campak Meningkat di 2-22, Kemenkes dan IDAI Dorong Vaksinasi Campak pada Anak. Diakses dari https://www.instagram.com/p/Cnv0rMIPfXN/?hl=en tanggal 06 Februari 2023 pukul 10.34 WIB. 

Handayani, Verury Verona. 2020. Anak Terserang Campak, Apa yang Harus Dilakukan. Diakses dari https://www.halodoc.com/artikel/anak-terserang-campak-apa-yang-harus-dilakukan tanggal 06 Februari 2023 pukul 10.38 WIB. 

Hanggara, Dian Sukma. 2023. Penanganan Spesimen pada Pemeriksaan laboratorium Campak. Diakses dari https://patologiklinik.com/2018/09/27/penanganan-spesimen-pada-pemeriksaan-laboratorium-campak/ pada 08 Februari 2023 pukul 12.20 WIB. 

Keluarga, Mitra. 2022. Campak pada Anak, Waspadai Gejala dan Penularannya. Diakses dari https://www.mitrakeluarga.com/artikel/artikel-kesehatan/campak 06 Februari 2023 pukul 11.00 WIB. 

Maulana, Arief. 2023. Kemenkes Tetapkan KLB Campak, Pakar Unpad Ungkap Penyebabnya. Diakses dari https://www.unpad.ac.id/2023/01/kemenkes-tetapkan-klb-campak-pakar-unpad-ungkap-penyebabnya/ 06 Februari 2023 pukul 11.05 WIB. 

Nugraha, Bagus Agung Surya Dipta. 2015. Morbili pada anak dalam pengobatan antiretroviral (ARV). Intisari Sains Media (4): 1–5. 

Pittara. 2023. Pengertian Campak. Diakses dari https://www.alodokter.com/campak 08 Februari 2023 pukul 12.18 WIB. Rokom. 2023. Waspada, Campak jadi Komplikasi Sebabkan Penyakit Berat. Diakses dari https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230120/1642247/waspada-campak-jadi-komplikasi-sebabkan-penyakit-berat/ 06 Februari 2023 pukul 11.10 WIB.

Penulis: Tyas Ayu Lestari
Desainer/Illustrator: Sisca Ayu
Editor: Dwi Martina Dewi