banner politik keluarga – 2
Uncategorized

Peran Ibu dalam Pendidikan Politik Keluarga

Halo Ibu dan Sister, apa kabar? Pemilu tahun ini rasanya berwarna sekali, ya. Bagi yang pilihannya belum terpilih, semoga tidak berkecil hati. Bagi yang pilihannya terpilih, semoga kita semua tetap bersinergi mengawal perjalanan bangsa kita menuju Indonesia Emas di tahun 2045.

Tahun pemilu kali ini menyadarkan kita bahwa Indonesia masih jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Kenyataan bahwa keadaan negara yang jauh dari demokrasi ini bisa jadi disebabkan karena kurangnya pendidikan politik. Salah satu pendukung demokrasi yang sangat potensial adalah keterlibatan kaum perempuan dalam kancah politik (Soeharto, 2011).

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai seorang perempuan, istri atau ibu untuk terlibat dalam kancah politik? Tentunya tidak harus menjadi menteri seperti Bu Retno Marsudi atau Bu Sri Mulyani. Dengan memberikan pendidikan politik sederhana kepada keluarga dan anak-anak, kita sudah melakukan langkah awal yang baik untuk ikut andil dalam pertumbuhan politik di Indonesia.

Sayangnya pendidikan politik dalam keluarga seringkali tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Padahal pendidikan politik memiliki peran krusial dalam membentuk pemahaman dan sikap politik anggota keluarga yang lain, terutama anak-anak. Ibu, sebagai salah satu pilar utama dalam keluarga, ternyata memiliki peran penting dalam pendidikan politik, lho. Kira-kira apa saja sih?

  1. Ibu sebagai Role Model Pertama

Ibu merupakan sosok pertama dan utama yang membersamai anak dalam kehidupannya. Melalui interaksi sehari-hari, anak-anak belajar banyak hal dari ibu, termasuk sikap dan pemahaman tentang politik. Ibu yang aktif memberikan contoh keterlibatannya dalam kegiatan politik seperti pemilu atau diskusi dengan ayah tentang isu-isu politik, tentunya memberikan model atau contoh yang positif bagi anak untuk menghargai proses demokrasi.

  1. Mendidik Nilai dan Etika Politik

Edukasi tentang nilai dan etika politik bisa dimulai dari rumah dengan ibu sebagai gurunya. Pembahasan tentang kejujuran, integritas, toleransi, dan pentingnya partisipasi dalam proses politik adalah beberapa contoh nilai yang dapat ditanamkan untuk anak-anak. Harapannya, anak kita tidak hanya tumbuh cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kecerdasan emosional dan sosial dalam berpolitik.

  1. Mengembangkan Kesadaran Sosial dan Politik

Ibu dapat memperkenalkan anak pada konsep-konsep dasar politik dan kehidupan berdemokrasi, serta mengajak mereka mengikuti perkembangan isu-isu terkini. Diskusi tentang berita atau peristiwa politik saat makan bersama atau saat waktu luang lainnya dapat juga meningkatkan kesadaran politik anak-anak, sekaligus memperkuat hubungan antara ibu dan anak.

  1. Mendorong Partisipasi Politik

Ibu juga berperan dalam mendorong anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, baik itu pemilihan umum, diskusi komunitas, atau aktivitas sosial lainnya. Usaha untuk memperkenalkan konsep pentingnya berkontribusi pada masyarakat dan negara melalui partisipasi politik mengajarkan anak akan tanggung jawabnya sebagai warga negara.

Tentu saja, untuk melaksanakan peran ibu sebagai pendidik politik ini tidak mudah. Ibu bisa mengikuti beberapa tips di bawah ini:

  1. Memulai dari Diri Sendiri

Pastikan ibu sudah memahami nilai-nilai politik, sistem pemerintahan, dan isu-isu terkini. Hal ini penting agar Ibu dapat memberikan informasi yang akurat dan objektif kepada anak.

  1. Menggunakan Media yang Tepat

Ibu bisa memanfaatkan buku, film, atau sumber online yang edukatif untuk memperkenalkan konsep politik kepada anak-anak. Pastikan konten yang disajikan sesuai dengan usia dan pemahaman mereka ya, Bu.

  1. Mendorong Diskusi

Ajak anak-anak berdiskusi tentang berbagai topik politik yang sesuai dengan usia mereka. Berikan ruang bagi mereka untuk bertanya dan mengemukakan pendapat.

  1. Memberikan Contoh 

Tunjukkan partisipasi nyata Ibu dalam kegiatan politik atau sosial. Misalnya, ajak anak mengikuti Ibu saat mencoblos dalam pemilu atau terlibat dalam kegiatan komunitas dan kemasyarakatan.

  1. Mengajarkan Kritis dan Empati

Ajarkan anak untuk kritis terhadap berita atau informasi yang mereka terima. Tanamkan juga nilai empati dan menghargai perbedaan pandangan.

Dengan menerapkan tips ini, ibu dapat memainkan peran efektif dalam mendidik anak-anak tentang politik sehingga membantu untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan politik.

Kesimpulannya, peran ibu dalam pendidikan politik keluarga adalah hal yang fundamental dan berdampak besar pada pembentukan karakter serta kesadaran politik anak-anak dan keluarga. Melalui pendidikan politik di rumah, ibu tidak hanya menanamkan nilai-nilai demokrasi dan keadilan tetapi juga mengajarkan tentang pentingnya partisipasi aktif dalam kehidupan berpolitik dan bermasyarakat. 

Dengan memberikan contoh yang baik, mengajarkan nilai-nilai politik yang benar, serta mendorong diskusi dan kritis terhadap isu politik, ibu membantu membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas dan berwawasan luas, tetapi juga peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan politiknya. Sehingga, peran ibu sangatlah krusial dalam menjamin kelanjutan nilai-nilai positif dalam kehidupan demokrasi dan menciptakan masyarakat yang lebih baik.

Sumber:
Intan Islamia, Fadli Hermawan. 2023. Family Matters: Understanding the Relationship Between Family Background, Parenting Style, and Youth Political Behavior. International Conference on Multidiciplinary Science. KnE Life Science pages 224-232

Saputri, Ravita., Marzuki. 2001. The Role of Parents and Society in Value Education and Civic Education. Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan pages 268-274

Soeharto, Ahmad. 2011. Urgensi Pendidikan Politik bagi Perempuan. Muwazah vol. 3 no. 1 (http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=956976&val=14715&title=URGENSI%20PENDIDIKAN%20POLITIK%20BAGI%20PEREMPUAN) 

Penulis: Abigail Angga
Ilustrator: Anggita G. Putri
Editor: Elfita Rahma Aulia

Komunitas Perempuan Katalis dalam Pemberdayaan Perempuan
HobiPengetahuan

Komunitas Perempuan Katalis dalam Pemberdayaan Perempuan

Empowered women empower women.

Perempuan berdaya saling menguatkan dan bergerak bersama—salah satunya melalui komunitas perempuan. Indonesia memiliki banyak komunitas perempuan, mulai dari tingkat RW hingga nasional. Masing-masing memiliki fokus di bidang yang berbeda-beda, entah itu keagamaan, pendidikan, perlindungan perempuan dan anak, kesehatan, dan banyak lagi. Lebih dari sekadar pengembangan kapasitas perempuan, komunitas perempuan ternyata memiliki peran yang lebih besar, lho, yaitu menjembatani partisipasi aktif perempuan dalam ranah publik, misalnya melalui keterlibatan dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan atau program pembangunan terkait perempuan (Karaya et.al., 2013; Ruiz & Mollinedo, 2013; Oino et.al., 2014).

Fungsi advokasi yang dimiliki komunitas perempuan terutama dibutuhkan oleh kelompok perempuan termarjinalkan, salah satunya adalah petani perempuan. Persentase perempuan yang bekerja di sektor pertanian adalah yang tertinggi di Indonesia tetapi 80% dari mereka masih tidak mendapatkan upah kerja maupun penyuluhan pertanian (Kemenpppa, 2012). Walaupun petani perempuan memiliki peranan penting dalam roda perekonomian dan ketahanan pangan Indonesia, peran mereka seolah tak kasat mata dan dalam beberapa kasus mereka bahkan tidak diterima oleh kelompok petani (Agarwal, 2000; Byrne et.al., 2014; Cush et al., 2018; Kernecker et.al., 2017). Beberapa kendala seperti persepsi sempit tentang peran perempuan, rendahnya tingkat pendidikan, permasalahan perekonomian, terbatasnya jaringan sosial, kesibukan domestik, perasaan rendah diri dan buruknya birokrasi menyebabkan perempuan kesulitan untuk berpartisipasi dalam ruang diskusi publik (Bock, 2004; Emmanuel, 1995; Kebede, 2019). Dengan prinsip “dari perempuan, untuk perempuan”, komunitas perempuan mampu menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi perempuan untuk mengembangkan kapasitasnya dan menguatkan perannya di ranah publik.

Perempuan Desa Berdaya dan Berkarya Bersama

Di tahun 2016, saya bertemu dengan ibu-ibu hebat yang tergabung dalam komunitas perempuan bernama Kelompok Karya Ibu (KKI). Ibu-ibu KKI adalah petani, peternak, pedagang dan ibu rumah tangga yang tinggal di Kampung Areng, Jawa Barat. Sebagian besar perempuan di Kampung Areng adalah lulusan SD atau SMP, begitu pula dengan ibu-ibu KKI. Tapi berbekalkan pengetahuan yang didapat dari workshop pertanian, KKI berhasil menginisiasi zero waste biogas melalui pengolahan limbah biogas (slurry) menjadi pupuk bekas kascing (pupuk kascing).

KKI didirikan oleh Ibu Eti dan Ibu Nina, perempuan yang pertama kali mempraktikkan produksi pupuk kascing di Kampung Areng. Pada awalnya, pupuk kascing hanya digunakan untuk kebun sendiri dan sisanya dijual secara individu. Tapi melihat banyaknya perempuan di Kampung Areng yang membutuhkan pemasukan tambahan dan banyak pula yang memiliki slurry di rumahnya, Ibu Eti dan Ibu Nina pun mengajarkan proses produksi pupuk kascing kepada beberapa perempuan di Kampung Areng dan mulai menjual pupuk kascing secara komunal untuk mencapai penjualan yang lebih tinggi. Dengan keanggotaan dan skema bisnis yang ramah perempuan, jumlah perempuan yang melakukan bisnis pupuk kascing (bekas cacing) terus bertambah.

Belajar dari Kelompok Karya Ibu

Ada banyak inisiasi komunitas perempuan dan banyak pula program pemberdayaan perempuan yang diimplementasikan, tapi sedikit yang dapat bertahan. Apa saja, ya, yang bisa kita pelajari dari ibu-ibu KKI supaya mampu membangun komunitas perempuan yang impactful dan langgeng keberjalanannya?

1. Mulailah dari hal yang dekat dan penting bagi kita

KKI dibentuk dengan tujuan awal untuk menyelesaikan permasalahan di Kampung Areng yaitu rendahnya tingkat perekonomian dan pencemaran lingkungan. Dalam mencari solusi, KKI pun fokus pada potensi lokal sehingga mudah diadaptasi oleh warga Kampung Areng. Memperjuangkan sesuatu yang dekat dan penting bagi kita memudahkan kita untuk menjaga niat dan motivasi. Oleh karena itu, yuk, kita lebih peka lagi dengan masalah dan potensi di sekitar kita!

2. Mencari dan mengamalkan ilmu sama pentingnya

Dalam keberjalanannya, KKI terus membagi pengetahuan mereka, terus berinovasi, dan melewati banyak trial-and-error agar bisnis pupuk kascing ramah bagi perempuan di desa. Semua proses tersebut menghasilkan temuan baru baru terkait pemberdayaan perempuan desa, menarik pemerintah dan NGO untuk belajar dari KKI, hingga terbentuklah alur pertukaran pengetahuan secara dua arah antara KKI dengan pemerintah dan NGO. Eksposure terhadap pengetahuan membantu kita untuk mengembangkan ide, sedangkan berbagi pengetahuan akan memperluas manfaat dan membuka lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri.

3. Berkomunitas dengan dasar empati

Berbeda dengan komunitas pada umumnya, KKI tidak kaku dalam mengatur keanggotaan dan kegiatan kelompok seperti rapat atau pelatihan. Pendiri KKI mengerti akan adanya kepentingan domestik dan pekerjaan lain di luar KKI sehingga memaklumi jika ada beberapa anggota yang mendadak tidak aktif lalu muncul kembali. KKI juga bersedia mengajari masyarakat lain yang tertarik dengan pupuk kascing walaupun orang tersebut tidak bisa menjadi anggota KKI. Membangun ruang yang aman dan kondusif bagi perempuan untuk berkembang harus dimulai dari empati. Dan kalau bukan sesama perempuan, siapa lagi yang dapat berempati kepada perempuan lainnya?

Dengan berkomunitas, perempuan dapat membangun jaringan sosial yang kohesif, membuka akses ke sumber daya yang dapat meningkatkan kapasitas perempuan (Ameridyani, 2018). Seperti ibu-ibu KKI, bersama kita juga bisa menguatkan peran kita untuk berkontribusi dalam ranah publik. Lihatlah ke sekitar Ibu dan Sister, apa ada komunitas perempuan yang bervisi sama? Atau mungkin komunitas perempuan itu adalah Lab Belajar Ibu? Di komunitas manapun itu, semoga semangat Ibu dan Sister selalu membara untuk berdaya,  berkarya, dan membawa manfaat untuk pembangunan Indonesia!

***

Referensi

Agarwal, B. (2000). Conceptualizing Environmental Collective Action: Why Gender Matters. Cambridge Political Economy Society, 24(1996), 283–310. https://doi.org/10.1093/cje/24.3.283.

Ameridyani, A. A. (2018). Assessment of Women Group’s Role in Enhancing Rural Women’s Capacity for Their Active Involvement in Rural Development. Case Study: Kelompok Karya Ibu (KKI) Women Group in Rural Area of West Bandung District, Indonesia. Master’s Thesis, Kyoto University.

Bock, B. B. (2004). Fitting in and Multi-tasking : Dutch Farm Women ’ s Strategies in Rural Entrepreneurship. Sociologia Ruralis, 44(3), 245–260. https://doi.org/10.1111/j.1467- 9523.2004.00274.

Byrne, A., Duvvury, N., Macken-Walsh, A., & Watson, T. (2014). Finding ‘Room to Manoeuvre’: Gender, Agency and the Family Farm. Feminisms and Ruralities, (August 2015), 119–130.

Cush, P., Macken-Walsh, Á., & Byrne, A. (2018). Joint Farming Ventures in Ireland: Gender identities of the self and the social. Journal of Rural Studies, 57, 55–64. https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2017.09.017.

Emmanuel, N. N. (1995). The role of women in environmental management: An overview of the rural Cameroonian situation. GeoJournal, 35(4), 515–520. https://doi.org/10.1007/BF00824366

Karaya, R. N., Onyango, C. A., & Amudavi, D. M. (2013). Fighting hunger together: a case of women 57 farmers’ participation in women groups in Mwala Division, Kenya. International Journal of Agricultural Management and Development, 3(3), 189–200.

Kebede, A. (2019). Opportunities and Challenges of Women’s Participation in Decision-Making at Local Government Administration: The Case of Debre-Tabor City Administration, South Gondar Zone, Amhara Regional State, Ethiopia. Advance. https://doi.org/10.31124/advance.10048160.v3

Kemenpppa. (2012). Kebijakan dan Strategi Peningkatan produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP).  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.

Kernecker, M., Vogl, C. R., & Aguilar Meléndez, A. (2017). Women’s local knowledge of water resources and adaptation to landscape change in the mountains of Veracruz, Mexico. Ecology and Society, 22(4). https://doi.org/10.5751/ES-09787-220437.

Oino, P. G., Auya, S., & Luvega, C. (2014). Women Groups : A Pathway to Rural Development in Nyamusi Division , Nyamira. International Journal of Innovation and Scientific Research, 7(2), 111–120.

Ruiz, R. M., & Mollinedo, C. L. (2013). Female Collective Actions and Economic Empowerment in the Community of Soni (Tanzania). Aibr-Revista De Antropologia Iberoamericana, 8(2), 233–259.


Penulis: Adzani Ardhanareswari A.
Desainer/Iustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa

coping with reverse culture
Pengetahuan

Mengenal dan Mengatasi Overconfidence, Bias Kognitif yang Menghambat Proses Belajar

Sejak kecil, seringkali kita membaca artikel atau mendengar kata-kata guru dan orang tua untuk menjadi orang yang percaya diri. Namun, tahukah Ibu dan Sister jika kita jarang sekali diingatkan untuk jangan percaya diri berlebihan? Hmmm, iya, juga, ya.

Lantas, memangnya mengapa jika kita percaya diri berlebihan?

Percaya diri berlebihan atau overconfidence adalah salah satu bias kognitif yang menghambat proses belajar. Menurut profesor di bidang psikologi, David Dunning dan Justin Kruger, pencetus Dunning-Kruger effect, overconfidence adalah kondisi di mana seseorang yang jelas-jelas tidak kompeten dalam suatu hal merasa sangat percaya diri dan yakin bahwa dirinya kompeten. Bahkan, orang tersebut cenderung tidak menyadari bahwa dirinya tidak kompeten. Dalam proses belajar, orang-orang yang overconfident biasanya merasa tidak perlu belajar lebih banyak bahkan cenderung menolak umpan balik (feedback) dari orang lain untuk dirinya sendiri. Mengapa demikian? Hal tersebut terjadi karena mereka berpikir telah kompeten dengan bidang yang mereka maksud, padahal nyatanya tidak. 

Hal yang lebih miris adalah bias kognitif yang terjadi ini tidak hanya berdampak negatif bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Apa dampak negatif dari overconfidence tersebut kepada orang lain? Rasa percaya diri berlebihan yang tidak diiringi dengan kompetensi menjadikan orang-orang yang overconfident lebih lantang untuk berbicara. Sebuah peribahasa populer “tong kosong nyaring bunyinya” menggambarkan seseorang yang banyak bicara, namun tidak memahami apa pun alias sok tahu. 

Pada era kecanggihan teknologi informasi saat ini, kita dengan mudah menemukan banyak sekali figur yang memberikan pengaruh dalam masyarakat atau yang biasa disebut sebagai influencer. Influencer akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat jika memberikan wawasan yang bermanfaat bagi masyarakat. Apa yang terjadi jika seorang influencer tersebut mengalami overconfidence? Tentu sangat berbahaya apabila seorang influencer memiliki overconfidence. Bisa jadi, konten yang disampaikannya misinformasi, namun tetap diyakini oleh para followers-nya sebagai sesuatu yang sahih. Oleh karena itu, Ibu dan Sister pun harus berhati-hati, ya, dalam menyampaikan informasi kepada orang lain. Jangan sampai Ibu dan Sister terjebak dengan bias kognitif ini. Nah, Ibu dan Sister sudah memperoleh gambaran tentang overconfidence, kan? Hmmm, kemudian, bagaimana caranya supaya Ibu dan Sister menjadi pribadi yang lebih reflektif dan tidak mengalami overconfidence? Penelitian yang dilakukan oleh Rusmana et al. (2020) di Kangwon National University Korea Selatan mengembangkan sebuah model bernama KAAR untuk mengatasi percaya diri berlebihan (overconfidence debiasing). KAAR adalah singkatan dari Knowledge, Awareness, Action, dan Reflection yang merupakan langkah-langkah debiasing. Apa saja aktivitas debiasing? Yuk, Simak rincian berikut!

1. Knowledge (Pengetahuan ‘Mengetahui’)

Langkah pertama untuk mengatasi overconfidence bias adalah mengetahui tentang adanya bias itu sendiri. Pengetahuan tentang overconfidence termasuk bahaya yang ditimbulkan dari bias ini menjadi peringatan awal bagi kita untuk menghindari bias tersebut. Congratulations, Ibu dan Sister! Dengan membaca artikel ini, Ibu dan Sister telah melakukan langkah pertama dalam debiasing. 

2. Awareness (Kesadaran ‘Menyadari’)

Pada tahap ‘awareness’ kita harus merenung dan bertanya kepada diri sendiri (self-questioning) apakah kita berpotensi memiliki perilaku yang mengarah pada percaya diri berlebihan atau tidak. Self-questioning dapat dibantu dengan mengingat-ingat kejadian pada masa lalu. Ada beberapa pertanyaan yang dapat membimbing Ibu dan Sister dalam membangun kesadaran terhadap overconfidence bias. Contoh pertanyaan yang dapat digunakan sebagai berikut. 

  • Apakah saya pernah merasa sangat memahami sesuatu sehingga tidak perlu belajar lagi? 
  • Apakah saya pernah overestimate terhadap kemampuan sendiri padahal kenyataannya saya tidak sehebat itu? 
  • Apakah saya pernah menjelaskan hal-hal yang tidak dikuasai kepada orang lain tapi berusaha terlihat sangat percaya diri supaya orang lain percaya saya kompeten?

Jika jawabannya ‘ya’, yuk, Ibu dan Sister lanjut ke tahap selanjutnya untuk melakukan aksi debiasing.

3. Action (Aksi ‘Bertindak’)

Penerima nobel di bidang ekonomi, Daniel Kahneman, dalam penelitiannya menemukan bahwa memiliki awareness saja tidak cukup untuk mengatasi bias kognitif. Menurutnya, mengambil tindakan untuk debiasing adalah tahapan yang jauh lebih penting. Tahapan mengambil tindakan dapat dilakukan secara kolektif, lho, Ibu dan Sister. Bagaimana, ya, caranya? Ibu dan Sister dapat memperluas circle pertemanan sehingga membuka pikiran bahwa dunia tidak berpusat pada diri kita saja, di atas langit masih ada langit, ya, Ibu dan Sister. Selain itu, Ibu dan Sister juga dapat meminta umpan balik secara aktif dari orang-orang yang dapat memberikan evaluasi subjektif terhadap Ibu dan Sister.

4. Reflection (Refleksi ‘Berpikir Reflektif’)

Menurut Kahneman dalam bukunya “Thinking Fast and Slow”, ada dua sistem yang mendorong cara manusia dalam berpikir. Sistem yang pertama bersifat cepat, intuitif, dan didorong oleh emosi. Sementara itu, sistem kedua bersifat lambat, analitis, dan logis. Bias kognitif seperti overconfidence muncul sebagai konsekuensi dari berpikir sistem pertama. Untuk mengatasinya, Ibu dan Sister perlu menggunakan sistem kedua yang bersifat analitis dan reflektif. Berpikir reflektif berarti lebih mempertimbangkan berbagai sudut pandang, termasuk bukti pendukung dibandingkan mendahulukan emosi atau perasaan. Hal tersebut akan membuat Ibu dan Sister cenderung lebih objektif dan tidak melebih-lebihkan diri saat mengevaluasi diri sendiri.

Itulah tahapan-tahapan mengatasi percaya diri yang berlebihan, Ibu dan Sister. Semoga membantu, ya! Selamat berefleksi, Ibu dan Sister!

***

Referensi:

Dunning, D. (2011). The Dunning-Kruger Effect: On Being Ignorant of One’s Own Ignorance. In J. Olson and M. P. Zanna (Eds.), Advances in Experimental Social Psychology (vol. 44, pp. 247‒296). New York, NY: Elsevier.

Kahneman, D. (2011). Thinking Fast and Slow. New York, NY: Macmillan.

Kahneman, D., Lovallo, D., & Sibony, O. (2011). Before You Make That Big Decision. Harvard Business Review, 89(6): 50‒60.

Kruger, J., & Dunning, D. (1999). Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One’s Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77(6): 1121–1134. Rusmana, A. N., Roshayanti, F., & Ha, M. (2020). Debiasing Overconfidence Among Indonesian Undergraduate Students in The Biology Classroom: An Intervention Study of The KAAR Model. Asia-Pacific Science Education, 6(1): 228–254.


Penulis: Ai Nurlaelasari Rusmana
Desainer/Illustrator: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Dwi Martina Dewi

coping with reverse culture
KeluargaResensi

Bergenggaman Tangan Melejitkan Potensi Bersama Saat Aku dan Dia Menjelma Menjadi Kita

Judul buku:  Awe-Inspiring Us: Sebuah Perjalanan Mengukir Cinta, Merenda Asa, Menggapai Pernikahan Mulia
Penulis: Dewi Nur Aisyah
Tebal buku: 370 halaman
Penerbit: Penerbit Ikon
Tahun terbit: 2020 (Cetakan ketiga)

“Setelah lulus kuliah lebih baik lanjut S2, menikah, atau bekerja, ya?”
“Lebih baik menikah via taaruf atau keluarga?”
“Bagaimana cara menentukan kriteria pasangan?”
“Jika setelah menikah aku ingin menggapai cita, apakah aku bisa?”

Sekelumit pertanyaan di atas terkadang membuat kita ragu untuk menjawabnya sehingga rasa khawatir akan masa depan yang tidak membahagiakan hadir dalam benak kita. Namun, hal tersebut dipecahkan oleh Dewi Nur Aisyah melalui bukunya “Awe-Inspiring Us: Sebuah Perjalanan Mengukir Cinta, Merenda Asa, Menggapai Pernikahan Mulia”. Ia menjabarkan bahwa status lajang, menikah, dan memiliki anak tidak akan menghentikan langkah kita dalam meraih cita-cita. 

Selama masa pandemi COVID-19 lalu, mungkin sebagian besar dari kita sudah akrab dengan sosok dirinya. Yup! Dewi Nur Aisyah, S.KM, M.Sc, PhD, DIC merupakan seorang epidemiologis sekaligus ibu tiga anak yang menjabat sebagai Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan COVID-19. Oh, ya, tahukah Ibu dan Sister? Ketika Dewi Nur Aisyah masuk gugus tugas demi panggilan negara pada Maret 2020, anak keduanya belum genap berusia 2 tahun, lho! Bahkan, ia hamil anak ketiga di tengah penugasan. Usai lima hari melahirkan, Dewi sudah melakukan presentasi dalam rapat koordinasi nasional mengingat gentingnya situasi kesehatan masyarakat saat itu.

That was soooo amazing! 

Selain berkiprah sebagai peneliti, ahli epidemiologi, dan pakar informatika penyakit menular dari Indonesia, Dewi juga seorang penulis yang telah menghasilkan tiga buku. Salah satu adalah buku yang akan kita bahas berikut ini. 

Buku “Awe-Inspiring Us: Sebuah Perjalanan Mengukir Cinta, Merenda Asa, Menggapai Pernikahan Mulia” terdiri atas lima bab yang saling berkesinambungan. Bab 1 berjudul “Masa Penantian” di mana Dewi memaparkannya  dalam enam subbab mengenai berbagai kiat, misalnya memaksimalkan masa lajang dengan tidak menjadi orang yang biasa-biasa saja. Ia juga memotret kegalauan dari seorang dewasa muda yang bimbang memilih antara melanjutkan hidup dengan bekerja, studi lanjut, atau menikah. Dalam ikhtiar menjemput takdir Tuhan sembari memetakan kriteria pasangan ideal, ternyata menunggu tak selamanya membosankan kok.

Selanjutnya dengan tajuk “Jodohmu Adalah Dia”, pada Bab 2 menceritakan mengenai berbagai dinamika kehidupan yang ternyata masih terus berjalan meskipun hilal jodoh sudah mulai tampak. Paparan itu diceritakannya dalam sub bab taaruf, drama beda suku, penyampaian rencana kepada orang tua, membangun visi dan misi kehidupan setelah bersama, hingga hal unik seperti menyematkan prinsip supermarket kepada calon pasangan, yakni dengan tidak menggantungkan ekspektasi terlalu tinggi kepada pasangan.

Pada Bab 3, Dewi lebih mengedepankan bagaimana perjalanan kehidupan selama berumah tangga. Di sini, Dewi memberikan judul “Membangun Rumah Tangga, Sebuah Jalan Menuju Surga” pada babnya. Isi pada bab ini menggambarkan bahwa menikah tidak sesederhana dunia milik berdua. Akan selalu ada konflik yang menyertai. Sebagai pasangan, baik suami maupun istri, harus memahami aturan dalam berkonflik dengan menggunakan gas dan rem. Tak hanya itu, Dewi juga membahas perihal cemburu, mengejar cita-cita, hingga memberi ruang antara satu sama lain.

Kehadiran anak dan segala bumbu mengenai pengasuhan dibahas oleh Dewi pada Bab 4 dalam tajuk “Another Miracles”. Dewi mengisahkan bagaimana ia berjuang hamil dalam keadaan hipertiroid, melahirkan dan membesarkan anak di negeri orang tanpa pengasuh, hingga bagaimana ia memaknai kehadiran sang anak sebagai hadiah sekaligus sumber amal. Dewi berpendapat, menikah dan memiliki anak menjadi sumber kekuatan potensi yang sebelumnya tak terbayangkan. Kuncinya hanya ada dalam satu frasa, yaitu kerja sama. Oleh karena itu,  Dewi menekankan pentingnya peran ayah dalam pengasuhan sehingga ia juga membagikan beberapa catatan bagi calon ayah serta tip merawat bayi yang baru lahir.

Bab 5 yang berjudul “PhD Mom and Dad: Sebuah Catatan Perjalanan” menjadi ejawantah dari karir Dewi selama ini. Ia menebas segala keraguan tentang menjalani pendidikan level tertinggi sambil berumah tangga. Menjadi student parent berarti juga melatih manajemen waktu, mengejar kebermanfaatan, menyelaraskan cita, dan tentu saja menjadi promotor kebaikan. Semua itu berakar dari niat dan perencanaan. Bagi Dewi yang juga sebagai honorary senior research associate di Institute of Epidemiology and Health Care, University College London ini, pernikahan tidak sekadar membangun satu menara, tetapi juga mengangkasa bersama.

Kesan saya setelah membaca buku ini rasanya ingin bersyukur tentang bagaimana Tuhan memelihara kita melalui rencana terbaik-Nya. Buku ini juga menjadi pelecut semangat ketika rasa lelah atau malas mendera. Sebagai student mom, saya sangat merasa terhubung dengan tulisan yang dipaparkan Dewi dan seolah diingatkan bahwa family study balance itu merupakan suatu keniscayaan selama hal itu terus diupayakan bersama pasangan. 

Menurut saya, buku ini dari sisi konten sudah mantap betul. Namun, saya agak menyayangkan beberapa hal minor yang cukup mengganggu dari sisi visual. Hal tersebut adalah penggunaan font berwarna hijau di atas kertas berlatar hitam pada bagian daftar isi. Kemudian, komposisi potret Dewi bersama suami dan sang anak yang menggunakan lahan hingga setengah bagian kover sehingga agak mengaburkan fokus sub judul dan gambar ilustrasi di belakangnya. 

Namun di luar hal tersebut, buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh siapa saja. Beneran, deh! Terutama untuk kamu yang masih kuliah atau sudah lulus dan berstatus lajang karena kamu akan memperoleh gambaran kehidupan pernikahan dengan kehadiran anak di dalamnya. Pun bagi yang sudah menikah dan memiliki anak, buku ini menjadi semacam motivasi dan pengingat diri bahwa nikmat Tuhan tuh ternyata ada di mana-mana, lho. Ingat, ya, Ibu dan Sister, tidak ada yang tidak mungkin dalam mengejar cita-cita, terlepas dari status apa yang kita sandang saat ini.


“…. karena hakikatnya pernikahan bukanlah saat kita mencari pasangan yang sempurna, melainkan saat mencari teman hingga ke surga.”

– Dewi Nur Aisyah

***

Penulis: Hanifa Paramitha Siswanti
Desainer: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Dwi Martina Dewi

drinking water
Kesehatan

Minum, Kebutuhan Dasar yang Sering Terlupakan

Sama seperti bumi yang dua per tiga bagiannya adalah air, ternyata 50–60% komposisi tubuh manusia juga adalah air. Bahkan pada anak di bawah usia satu tahun, hampir 85% dari berat badannya adalah air. Maka dari itu, tidak heran jika kekurangan cairan bisa berakibat fatal.

Pada tahap tertentu, kekurangan cairan dapat menyebabkan tubuh tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, hal ini kita kenal dengan dehidrasi. Saat mengalami dehidrasi gejala awal yang muncul biasanya adalah merasa haus. Namun yang jadi masalah adalah kita sering mengabaikan rasa haus ini dan menyebabkan tubuh mengalami dehidrasi. Bahkan salah satu studi di Indonesia menemukan bahwa 49,5% remaja dan 42,5 % orang dewasa terkena dehidrasi ringan.

Menurut Mayo Clinic, beberapa penyebab seseorang mengalami dehidrasi antara lain diare akut, muntah berlebihan, demam, berkeringat berlebihan, atau sedang mengalami infeksi. Namun terkadang dehidrasi terjadi karena alasan sederhana, yaitu tidak cukup minum karena sibuk beraktivitas. Selain pekerja dan siswa, seorang ibu yang kesehariannya di rumah juga berisiko mengalami dehidrasi.

Banyaknya aktivitas yang dilakukan oleh ibu dalam sehari seringkali menyebabkan minum menjadi aktivitas yang dikesampingkan. Akibatnya beberapa orang mengalami rasa sakit kepala dan penurunan konsentrasi akibat dehidrasi yang tidak disadari. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Siska Kusumawardani pada siswa di SDN Sudimara 5 Tangerang menunjukkan bahwa tingkat hidrasi sebanding dengan tingkat konsentrasi yang dimiliki oleh siswa. Hal ini wajar terjadi, sebab 83% bagian otak merupakan air. Saat kurang minum, maka otak kekurangan cairan elektrolit yang berfungsi menghubungkan aktivitas antar selnya dan berakibat menurunnya fungsi neurologis dan kognitif.

Berikut ini adalah beberapa tips agar Ibu dan Sister tidak kekurangan minum meski memiliki aktivitas yang padat dalam sehari:

1. Pasang alarm atau pengingat di ponsel

Saat ini ada banyak aplikasi pengingat waktu minum yang dapat diunggah di ponsel, beberapa di antaranya Hydro-Water Drink Reminder dan Leap Fitness Drink Water Reminder.

2. Letakkan air minum dekat lokasi kita beraktivitas

Agar tidak beralasan tidak minum karena jauh, sebaiknya letakkan botol atau gelas minum di dekat kita beraktivitas. Misal, sebelum tidur meletakkan minum di kamar atau saat bekerja meletakkan minum di meja kerja.

3. Gunakan botol minum yang menarik

Saat ini ada banyak botol minum dengan bentuk dan warna yang menarik. Selain agar menarik perhatian kita, membiasakan membawa botol minum juga dapat mencegah sampah kemasan minuman,

4. Minum cairan tinggi elektrolit

Jika minum air putih saja terasa membosankan, kita bisa mencoba minum air kelapa atau nutrient dense water (NDW) yang tinggi elektrolit. NDW dapat kita buat dengan mencampur air hangat, madu, garam laut, serta air lemon.

5. Tambahkan es batu atau potongan buah pada air minum

Saat cuaca sedang panas, kita dapat menambahkan es batu atau potongan buah ke dalam air minum. Selain terasa lebih segar, mengkonsumsi infused water dipercaya dapat membantu proses detoksifikasi dan mencegah penuaan dini.

Nah setelah tahu bahwa ternyata kekurangan cairan dapat berdampak buruk terhadap kesehatan, yuk setelah ini jangan lupa untuk minum sesuai dengan kebutuhan tubuh. Jangan sampai karena sibuk mengurus anak jadi lupa minum ya Ibu dan Sisters.

***

Referensi:

Alodokter. (2021). Tak Hanya Menyegarkan, Inilah 4 Manfaat Infused Water untuk Kesehatan. Diakses dari www.alodokter.com/fakta-tentang-manfaat-infused-water pada 16 Februari 2023

Anggi. (2023). Daftar Aplikasi Pengingat Minum Terbaik !. Diakses dari www.teknovidia.com/aplikasi-pengingat-minum/ pada 16 Februari 2023

Briawan, Dodik., Rachma., Annisa., 2011. Kebiasaan Konsumsi Minuman dan Asupan Cairan pada Anak Usia Sekolah di Perkotaan. Journal of Nutrition and Food. 6(3): 186-191

Dewi, Ratih. (2021). 7 Tips Sederhana Ini Bikin Kamu Rajin Minum Air Putih. Diakses dari https://www.beautynesia.id/wellness/7-tips-sederhana-ini-bikin-kamu-rajin-minum-air-putih/b-193412/ pada 16 Februari 2023

Kusumawardani, Siska, & Ajeng Larasati, 2020. Analisis Konsumsi Air Putih Terhadap Konsentrasi Siswa. jurnal.umj.ac.id/index.php/holistika. 91-95. ISSN : 2579 – 6151

Lentini, Banun., Margawati, Ani., 2014. Hubungan Kebiasaan Sarapan dan Status Hidrasi dengan Konsentrasi Berfikir pada Remaja. Journal of Nutrition College. 3(4): 631-637

Mayo Clinic. (2021). Dehydration. Diakses dari 

www.mayoclinic.org/diseases-conditions/dehydration/symptoms-causes/ pada 16 Februari 2023

Yolanda, Natharina. (2016). Kebutuhan Air Pada Anak. Diakses dari www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/kebutuhan-air-pada-anak pada 16 Februari 2023


Penulis: Widia Anggia Vicky
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Fadlillah Octa