Tag: Kesehatan Mental

coping with reverse culture
Pengetahuan

Mengenal dan Mengatasi Overconfidence, Bias Kognitif yang Menghambat Proses Belajar

Sejak kecil, seringkali kita membaca artikel atau mendengar kata-kata guru dan orang tua untuk menjadi orang yang percaya diri. Namun, tahukah Ibu dan Sister jika kita jarang sekali diingatkan untuk jangan percaya diri berlebihan? Hmmm, iya, juga, ya.

Lantas, memangnya mengapa jika kita percaya diri berlebihan?

Percaya diri berlebihan atau overconfidence adalah salah satu bias kognitif yang menghambat proses belajar. Menurut profesor di bidang psikologi, David Dunning dan Justin Kruger, pencetus Dunning-Kruger effect, overconfidence adalah kondisi di mana seseorang yang jelas-jelas tidak kompeten dalam suatu hal merasa sangat percaya diri dan yakin bahwa dirinya kompeten. Bahkan, orang tersebut cenderung tidak menyadari bahwa dirinya tidak kompeten. Dalam proses belajar, orang-orang yang overconfident biasanya merasa tidak perlu belajar lebih banyak bahkan cenderung menolak umpan balik (feedback) dari orang lain untuk dirinya sendiri. Mengapa demikian? Hal tersebut terjadi karena mereka berpikir telah kompeten dengan bidang yang mereka maksud, padahal nyatanya tidak. 

Hal yang lebih miris adalah bias kognitif yang terjadi ini tidak hanya berdampak negatif bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Apa dampak negatif dari overconfidence tersebut kepada orang lain? Rasa percaya diri berlebihan yang tidak diiringi dengan kompetensi menjadikan orang-orang yang overconfident lebih lantang untuk berbicara. Sebuah peribahasa populer “tong kosong nyaring bunyinya” menggambarkan seseorang yang banyak bicara, namun tidak memahami apa pun alias sok tahu. 

Pada era kecanggihan teknologi informasi saat ini, kita dengan mudah menemukan banyak sekali figur yang memberikan pengaruh dalam masyarakat atau yang biasa disebut sebagai influencer. Influencer akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat jika memberikan wawasan yang bermanfaat bagi masyarakat. Apa yang terjadi jika seorang influencer tersebut mengalami overconfidence? Tentu sangat berbahaya apabila seorang influencer memiliki overconfidence. Bisa jadi, konten yang disampaikannya misinformasi, namun tetap diyakini oleh para followers-nya sebagai sesuatu yang sahih. Oleh karena itu, Ibu dan Sister pun harus berhati-hati, ya, dalam menyampaikan informasi kepada orang lain. Jangan sampai Ibu dan Sister terjebak dengan bias kognitif ini. Nah, Ibu dan Sister sudah memperoleh gambaran tentang overconfidence, kan? Hmmm, kemudian, bagaimana caranya supaya Ibu dan Sister menjadi pribadi yang lebih reflektif dan tidak mengalami overconfidence? Penelitian yang dilakukan oleh Rusmana et al. (2020) di Kangwon National University Korea Selatan mengembangkan sebuah model bernama KAAR untuk mengatasi percaya diri berlebihan (overconfidence debiasing). KAAR adalah singkatan dari Knowledge, Awareness, Action, dan Reflection yang merupakan langkah-langkah debiasing. Apa saja aktivitas debiasing? Yuk, Simak rincian berikut!

1. Knowledge (Pengetahuan ‘Mengetahui’)

Langkah pertama untuk mengatasi overconfidence bias adalah mengetahui tentang adanya bias itu sendiri. Pengetahuan tentang overconfidence termasuk bahaya yang ditimbulkan dari bias ini menjadi peringatan awal bagi kita untuk menghindari bias tersebut. Congratulations, Ibu dan Sister! Dengan membaca artikel ini, Ibu dan Sister telah melakukan langkah pertama dalam debiasing. 

2. Awareness (Kesadaran ‘Menyadari’)

Pada tahap ‘awareness’ kita harus merenung dan bertanya kepada diri sendiri (self-questioning) apakah kita berpotensi memiliki perilaku yang mengarah pada percaya diri berlebihan atau tidak. Self-questioning dapat dibantu dengan mengingat-ingat kejadian pada masa lalu. Ada beberapa pertanyaan yang dapat membimbing Ibu dan Sister dalam membangun kesadaran terhadap overconfidence bias. Contoh pertanyaan yang dapat digunakan sebagai berikut. 

  • Apakah saya pernah merasa sangat memahami sesuatu sehingga tidak perlu belajar lagi? 
  • Apakah saya pernah overestimate terhadap kemampuan sendiri padahal kenyataannya saya tidak sehebat itu? 
  • Apakah saya pernah menjelaskan hal-hal yang tidak dikuasai kepada orang lain tapi berusaha terlihat sangat percaya diri supaya orang lain percaya saya kompeten?

Jika jawabannya ‘ya’, yuk, Ibu dan Sister lanjut ke tahap selanjutnya untuk melakukan aksi debiasing.

3. Action (Aksi ‘Bertindak’)

Penerima nobel di bidang ekonomi, Daniel Kahneman, dalam penelitiannya menemukan bahwa memiliki awareness saja tidak cukup untuk mengatasi bias kognitif. Menurutnya, mengambil tindakan untuk debiasing adalah tahapan yang jauh lebih penting. Tahapan mengambil tindakan dapat dilakukan secara kolektif, lho, Ibu dan Sister. Bagaimana, ya, caranya? Ibu dan Sister dapat memperluas circle pertemanan sehingga membuka pikiran bahwa dunia tidak berpusat pada diri kita saja, di atas langit masih ada langit, ya, Ibu dan Sister. Selain itu, Ibu dan Sister juga dapat meminta umpan balik secara aktif dari orang-orang yang dapat memberikan evaluasi subjektif terhadap Ibu dan Sister.

4. Reflection (Refleksi ‘Berpikir Reflektif’)

Menurut Kahneman dalam bukunya “Thinking Fast and Slow”, ada dua sistem yang mendorong cara manusia dalam berpikir. Sistem yang pertama bersifat cepat, intuitif, dan didorong oleh emosi. Sementara itu, sistem kedua bersifat lambat, analitis, dan logis. Bias kognitif seperti overconfidence muncul sebagai konsekuensi dari berpikir sistem pertama. Untuk mengatasinya, Ibu dan Sister perlu menggunakan sistem kedua yang bersifat analitis dan reflektif. Berpikir reflektif berarti lebih mempertimbangkan berbagai sudut pandang, termasuk bukti pendukung dibandingkan mendahulukan emosi atau perasaan. Hal tersebut akan membuat Ibu dan Sister cenderung lebih objektif dan tidak melebih-lebihkan diri saat mengevaluasi diri sendiri.

Itulah tahapan-tahapan mengatasi percaya diri yang berlebihan, Ibu dan Sister. Semoga membantu, ya! Selamat berefleksi, Ibu dan Sister!

***

Referensi:

Dunning, D. (2011). The Dunning-Kruger Effect: On Being Ignorant of One’s Own Ignorance. In J. Olson and M. P. Zanna (Eds.), Advances in Experimental Social Psychology (vol. 44, pp. 247‒296). New York, NY: Elsevier.

Kahneman, D. (2011). Thinking Fast and Slow. New York, NY: Macmillan.

Kahneman, D., Lovallo, D., & Sibony, O. (2011). Before You Make That Big Decision. Harvard Business Review, 89(6): 50‒60.

Kruger, J., & Dunning, D. (1999). Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One’s Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77(6): 1121–1134. Rusmana, A. N., Roshayanti, F., & Ha, M. (2020). Debiasing Overconfidence Among Indonesian Undergraduate Students in The Biology Classroom: An Intervention Study of The KAAR Model. Asia-Pacific Science Education, 6(1): 228–254.


Penulis: Ai Nurlaelasari Rusmana
Desainer/Illustrator: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Dwi Martina Dewi

coping with reverse culture
HobiKeluarga

Menggali Kreativitas Melalui Hobi

Nyeni” dan artistik. Apa yang terlintas dalam benak Ibu dan Sister ketika mendengar dua kata tersebut? Bagi sebagian orang, istilah nyeni dan artistik cenderung ditujukan pada seseorang atau kelompok yang menggeluti bidang seni saja. “Nyeni” dan artistik juga seringkali dihubungkan dengan kreativitas. Kreativitas berasal dari kata sifat kreatif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kreatif bermakna memiliki daya cipta atau memiliki kemampuan untuk menciptakan. Kreatif juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru, baik itu solusi baru untuk sebuah masalah, metode atau perangkat baru, atau sebuah objek dan bentuk baru (Barbara, 1998). Berkaca pada definisi tersebut, tentu bukan hal yang mustahil bagi setiap orang untuk memiliki kreativitas, kan? Nah, bagaimana cara untuk menggali  kreativitas dalam diri kita?

Salah satu cara untuk menggali kreativitas dalam diri Ibu dan Sister adalah dengan melakukan hobi kreatif. Hmmmm, apa yang dimaksud hobi kreatif? Apakah hobi kreatif berbeda dengan hobi lainnya? Simak, yuk, penjelasan berikut.

Hobi kreatif (creative hobbies) dapat didefinisikan sebagai hobi atau kegemaran yang di dalamnya dapat menghasilkan sesuatu sebagai hasil dari buah pikiran. Hobi kreatif lebih menekankan pada adanya keahlian yang diasah, ilmu yang dipelajari, atau karya yang dibuat. Meskipun terlihat serius, namun kegiatan tersebut dilakukan secara menyenangkan dan tanpa tekanan. Hobi kreatif banyak macamnya. Contoh hobi kreatif yang dapat Ibu dan Sister lakukan adalah melukis, scrapbooking, dan lettering art.

Berbicara soal kreativitas, Dr. Kevin Eschleman, seorang profesor bidang psikologi di San Francisco State University pernah melakukan riset mengenai pengaruh kegiatan kreatif terhadap lebih dari 400 pekerja. Riset dilakukan dalam dua kelompok partisipan.  Satu kelompok dinilai oleh diri sendiri dan satu kelompok dinilai oleh rekan kerja. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pekerja yang melakukan hobi kreatif cenderung lebih mudah bekerja sama dan kreatif dalam kinerjanya. Selain itu, kegiatan kreatif juga memberikan dampak positif terhadap proses pemulihan psikologis pekerja (Eschleman, 2014).

Nah, bagaimana cara memilih hobi kreatif yang tepat untuk Ibu dan Sister?

Ibu dan Sister dapat memulai hobi kreatif dengan menggali sesuatu yang menjadi interest Ibu dan Sister, misalnya buku. Jika Ibu dan Sister sangat menyukai buku, Ibu dan Sister bisa mengembangkan hobi kreatif Ibu dan Sister sebagai bookstagram dan bookfluencer. Selain mengembangkan kreativitas Ibu dan Sister di bidang perbukuan, bookstagram dan bookfluencer juga dapat membantu meningkatkan ketertarikan masyarakat pada dunia literasi. Hobi kreatif dapat ditekuni dari berbagai bidang keahlian sekali pun bukan dari bidang keahlian Ibu dan Sister. Jika ada suatu bidang yang sedang atau ingin dipelajari, maka Ibu dan Sister bisa mengembangkan hobi kreatif dalam bidang tersebut. Tentu saja kunci utamanya adalah keinginan belajar yang tinggi pada diri Ibu dan Sister. Contoh sederhana yang dapat Ibu dan Sister lakukan adalah  memasak, menulis, menggambar/melukis, dan fotografi atau videografi. Ibu dan Sister bisa mempelajari berbagai macam teknik dalam kegiatan-kegiatan tersebut serta mencetuskan ide-ide baru yang membuat berbagai bidang keahlian dalam hobi kreatif tersebut makin menarik. Jika Ibu dan Sister memiliki beberapa interest dan keahlian, Ibu dan Sister bisa menggabungkannya dalam satu kegiatan. Sebagai contoh, Ibu dan Sister bisa menggabungkan kegiatan memasak dengan fotografi atau videografi serta botanical illustration dengan menulis blog.    

Oh, ya, hobi kreatif memiliki banyak manfaat, loh, Ibu dan Sister. Apa saja, ya, manfaat hobi kreatif itu? Beberapa manfaat hobi kreatif sebagai berikut. 

1. Menghilangkan stres.

Melakukan hobi kreatif memberikan waktu jeda dari rutinitas dan tekanan pekerjaan. Ketika melakukan hobi kreatif, ada proses penyaluran energi, emosi, dan pikiran yang kemudian dituangkan ke dalam karya. Hal tersebut dapat memunculkan perasaan rileks dan menurunkan stres.

2. Membuat diri kita merasa “utuh”.

Dalam melakukan hobi kreatif, Ibu dan Sister memilih kegiatan yang disukai. Ibu dan Sister tidak dituntut untuk menghasilkan karya yang sempurna, tetapi Ibu dan Sister bisa lebih mengenali diri, mengetahui hal yang diinginkan, dan menjadi diri sendiri dalam prosesnya. Hal-hal tersebut dapat memunculkan perasaan “utuh”. 

3. Memunculkan rasa kepuasan atas pencapaian dalam diri.

Ketika Ibu dan Sister melakukan pencapaian-pencapaian, baik besar maupun kecil, tentu muncul rasa kepuasan dalam diri sendiri yang didapat. Sebagai contoh, ada karya yang dibuat atau pengetahuan baru yang diperoleh.

4. Meningkatkan performa kita ketika bekerja.

Orang yang melakukan hobi kreatif cenderung lebih mudah dalam bekerja sama dan mampu berpikir kreatif dalam kinerjanya. Hobi kreatif juga dapat membantu proses pemulihan psikologis seseorang serta memiliki korelasi positif dengan kesehatan mental. Oleh karena itu, hal tersebut dapat meningkatkan performa Ibu dan Sister dalam pekerjaan.

Setelah mengetahui ulasan tentang hobi kreatif, Ibu dan Sister tentu ingin mengetahui cara mengembangkan hobi kreatif, kan? Bagaimana, ya, cara untuk mengembangkan hobi kreatif? Ide kegiatan dan tutorial untuk mengasah kemampuan dalam mengembangkan hobi kreatif saat ini bisa Ibu dan Sister akses dengan mudah dari banyak sumber. Ibu dan Sister dapat melakukan studi pustaka atau melakukan penelusuran melalui internet. Ibu dan Sister juga bisa memulai hobi kreatif tersebut dari satu kegiatan yang sederhana dan dilakukan secara konsisten.

Jika dalam pelaksanaannya Ibu dan Sister merasa jenuh, jedalah sejenak dan lakukanlah kegiatan dalam hobi kreatif tersebut secara “mengalir”. Ibu dan Sister juga bisa mengisi jeda tersebut dengan kegiatan lain yang bermanfaat. Sebuah tip dari buku Steal Like an Artist karya Austin Kleon: Practice Productive Procrastination! Menuturkan bahwa “Segala hal kecil yang kita lakukan dan kita anggap hanya main-main atau menjadi sebuah karya yang tidak penting sesungguhnya bukanlah hal yang akan sia-sia. Di sanalah keajaiban bisa terjadi. Dalam hal kegiatan kreatif, keterbatasan berarti kebebasan. Melalui keterbatasanlah Ibu dan Sister dituntut untuk berpikir kreatif. Jadi, Ibu dan Sister bisa mulai melakukan hobi kreatif saat ini dengan berbagai keadaan Ibu dan Sister.

Selamat melakukan hobi kreatif, Ibu dan Sister! 

***

Referensi:

Cowan, Cierra. (2022). 69 Creative Hobbies for a Better You in 2023. Diakses dari https://www.classpop.com/magazine/creative-hobbies tanggal 28 Februari 2023.

Eschleman, K.J., Madsen, J., Alarcon, G. and Barelka, A. (2014). Benefiting from Creative Activity: The Positive Relationships between Creative Activity, Recovery Experiences, and Performance-Related Outcomes. J Occup Organ Psychol. 87: 579–598. https://doi.org/10.1111/joop.12064

Kerr, Barbara. (2023) Creativity. Encyclopedia Britannica. Diakses dari https://www.britannica.com/topic/creativity tanggal 6 Februari 2023.

Kleon, Austin. (2012). Steal Like an Artist. 10 Things Nobody Told You About Being Creative. New York: Workman Publishing Company, Inc.

Lee, Kevan. (2014). The Science of Side Projects: How Creative Hobbies Improve Our Performance at Everything. Diakses dari https://buffer.com/resources/side-projects-creative-hobbies tanggal 6 Februari 2023.


Penulis: Syifa Rahmasari
Desainer/Illustrator: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Dwi Martina Dewi

healing with journaling
Keluarga

Coping with reverse culture shock as a PhD mama: An Interview with Dr. Abeer Bar

Introduction

Hi, I am Dr. Abeer Bar from KSA. I spent about 7 years in the US to complete my PhD at Indiana University Bloomington. My academic journey was exciting and had a profound effect on my life. It was unique and unexpected in many ways, for example I did not go through a normal culture shock experience. Although I lived in the US as a child, to my surprise, I experienced reverse culture shock when I came back as an adult. I then experienced reverse culture shock again after I graduated and returned to my home country Saudi Arabia. During my adjustment process I found supportive tools and met wonderful kind people that eventually indirectly shaped a new resilient identity.

The first step in my PhD journey

I packed my suitcases with toys, pots, and clothes in my preparation to start an exciting PhD journey along with my son and daughter. They were in grades 1 and kindergarten, respectively. My husband had a very good job in KSA, so it was impossible to leave. Hence, we decided to choose a long-distance marriage with a plan that my husband visited us every two months or so. Our decision was based on the fact that I was confident of my ability to handle being on my own. After all, I was independent, strong, highly motivated and I lived in the US before. I believed I could finish my PhD in a short period of time and be back in a couple of years. In short, it wouldn’t be a problem for me or my family “I can do it, why couldn’t I?”. 

Challenges and difficulties (culture shock)

However, soon after settling and my husband returning home, I began to feel a little less confident. Living in a western country is very different. In comparison to life back home, I struggled with constantly being on my own. Before I came to the US, I relied so much on my support system, be it from my husband, family, friends, or nannies and helpers at home. Things were different for me in the US. I would shop for groceries, do the laundry, cook, throw out garbage, pay bills, and take care of my kids schooling all by myself. No one else was there. I was used to having everything ready and set and clean. I was frustrated because I wanted to make sure everything was done in the same way I was used to, and it was too overwhelming. On top of that, I had to be always ready as a student too, after all it was the reason we were all there. It was all a huge responsibility, and at one point I was scared and felt like giving up.

Most of my classmates were locals, and the majority were single. Can you imagine being the only mother in the class? At the beginning, I couldn’t connect with any of my cohort. I could not participate in the after-class group discussion as I had to hurry back home to my children. Since I was not part of the cohort’s social group, I was missing out on study sessions and sharing of class notes. I was afraid to fall behind in class and there were even a couple of times when I wanted to quit my program, but my supervisor was supportive and encouraged me to finish what I started. His understanding of my overwhelmedness was a huge relief for me, he had experience with international culture and went through a study abroad experience himself. Academically and socially, I felt left out. I realized my initial life and study abroad plan needed revision. I needed a survival plan and to take action.

Overcoming the hurdles

That all happened in the beginning, and I realized that this must just be part of the transition period.  I then started to try to find other Muslims, connect with other mothers, and start reaching out to myself, which was something new to me. Although I communicated via email with an online mom group, I didn’t reach out to them after I moved to the US. They gave me great advice on schools and family residences, however, I didn’t connect with them after the move because they were not graduate students and thought we wouldn’t connect. I wish I had, it might have helped with the transition. Fortunately, within 7 years in the US, I was blessed to make friends with a few graduate student moms and they have been great friends ever since. I increased my social circle by joining the international student community, which helped me overcome difficulties on campus. The most important lesson I learned was how much communities meant to us and how valuable it was that they were available as a support system.

After that first tough year, my husband and I started to realize that our family relationships could deteriorate when our family was not together. Our kids came first and the experience showed us that they needed both their mom and dad in the same place all the time. My husband generously chose to leave his job and unite with us. I felt our family change, we appreciated each other more, and our family values took precedence much more than before. This was a big step for us, and I learned that the foundation of our support system is my own family.

Another realization, which came after connecting with other graduate student moms, was that I had to be more lenient with myself in terms of housework and chores and allow the help of my husband and people around me, even though it’s not like I was used too. Good enough is good enough (I have that as a magnet on my fridge). Since then, some of my burdens were relieved, and I felt I could start anew from home and continue my journey with less stress.

I finally started to feel more confident that I could finish my PhD!

Preparing to go home

I was familiar with the reverse culture shock associated with returning home to Saudi because I had experienced it before when I was young. I also had theoretical knowledge of the existing literature because it was also part of my doctoral research interest. My background knowledge helped my expectations but the reality is that no matter how much you prepare, going back home to your country will always have its challenges.

I started to prepare my children a year before we intended to move back. I told them that the experience was not going to be like summer vacation, all fun and gatherings and outings. I made sure that there would be more social obligations than before and that the way they dress, walk, talk, and more will be seen as different and that they should think carefully about their values and their surroundings before they made a decision. I prepared them for the worst scenarios and I believe their transition was a healthy one because of it. It took a few weeks but they made new friends, were happy in their school, enjoyed after school activities and looked forward to family gatherings. I was very happy with their adjustment process. My experience was a bit different and I felt I should have prepared myself better. It took me a longer time to adjust.

Reverse Culture Shock: The hardest part of going back home.

Changes in the workplace

I came back after many years to find that naturally the people that I networked with before were not in the same positions. I maintained connection with past colleagues while I was abroad and that served me well as I was hired a few months after graduation. However, the network I used to support my work was outdated and I needed to make an effort and engage socially to create a new one. That meant joining new business groups, reintroducing myself in my field and more time socializing and networking. I came back to an environment where men and women were working together, which was something that I wasn’t used to as I have previously always worked in an all female work environment. I had to wear my abaya and headcover all the time (which honestly wasn’t bad as it saved me from the hassles of choosing outfits every morning). With a new workplace comes the usual adjustment of understanding the institution’s goals, values and mission. The dynamics were different and the administration had a more diverse approach than what I was used to. One struggle of returning to work after a study abroad experience was adjusting to a fixed schedule. Before, as a student, I was mostly at home writing my thesis or attending classes no more than three times a week. Working, on the other hand, meant an 8 to 4 shift and then with my new job I also had weekends when I had to work.

Changes in society and the community

I left mid 2011 and came back early 2018, and since then, there has been an incredible amount of positive transformation in my country. Women are allowed to drive, transformation of education and training in an effort to develop excellent human resources, women in leadership positions, global and economical advances, the changes are so big and so small that even the color of our abayas changed! As a Saudi and a Saudi woman specifically these changes make me feel proud and blessed and witnessing them all at once was overwhelming.I had to make sure I was up to date and adjust to these positive changes. Literature on reverse culture experience highlights the process of the Sojourner’s adjustment to the changed community and adjustment of the community to the changed Sojourner. This means that not only has the community changed physically, socially and/or economically, but the experiences the student faced abroad has changed them too. I mentioned some of the changes I went through earlier. My new developed self had to find its place in society again. It was exciting and scary and felt similar to the panic I had when I moved to the US. I wanted to be a confident and strong member of my present/past home society, I wanted to have an effective role in supporting my country’s development plan “Vision 2030”. I came back for that exact reason and (like before) I needed a plan to support and help me succeed. I got the job, now I need to adjust and be at peace with myself in my present/past home. This time I was prepared, I knew it was going to take effort, I knew it was going to take time but this time my family was present and ready to support me. It did take time for me to change my habits and choose and adopt new ones. It was not easy but I was motivated by the knowledge that my stability was important to my children (even if it meant pretending some days). I was their guide to our present/past home.

How to overcome reverse culture shock

I was fortunate to meet moms who went through my experience before me. I met them through my kids after school activities, their kids also went through the transition and the parents found activities to have a positive effect on their transition. Their advice to me started off with a reminder to take my time and that adapting and transitioning will take at least 3 years. For me, it has been 4 years, and I have days where I feel great and other days where I feel like I’m still going through the process. They also mentioned attending various classes and workshops which will help with socializing and learning from the community. I took classes ranging from dancing, stitching to leadership and digitalization. I definitely feel like I am happier the more involved I am with the community. 

For my children, I let them experience reverse culture shock in a way where they feel they are part of society and still maintain who they are. I allow them to practice the same activities that gave them comfort when they were in the US, like going out and playing outside. I initially felt apprehensive that some of their activities like biking to school might not be typical and strange to some, but I have to say that they are fortunate that the changes that happened in the country have been encouraging and supportive of their activities. They even developed a biking community!   

One of the things that I believe helped my children’s transition is that I didn’t change my children’s education system. They continued to study under an American educational system. The main reason behind the decision was that they were both in high school, and I felt changing the system would affect their academic success and therefore affect their university applications. I also wanted them to be part of an international community where they can connect with other students who also developed their character by living in different cultures (and hopefully) still maintain their own values and personalities (they have made amazing friendships Alhamdulillah). 

Additionally, we do keep in mind the importance of building a strong religious and familial foundation at home. We made sure that our home was the center. We don’t have help at home and everybody is involved in keeping the house running. 

Eventually, I felt at peace and relieved that at my return I did not come back the same person as I was before I left.  I changed because I experienced living abroad. It’s not only the society that has changed; it’s me that has changed and I had to find a new way to adjust, adapt, and acculturate.  I accept and am proud that my path was not linear, I will always be unique and I will find my place in society as I am because my society needs my unique and creative outlook. 

This time around, I felt that I dealt with it better than the first time I came back.

My main source of motivation

From the start, I knew that I wanted to come back home and create student leadership programs. The whole idea of getting a PhD was to make sure that I actually design quality programs built on experience and theoretical knowledge. I wanted to craft students’ journeys and ensure they have the tools that lead to their success.  I wanted to have a decision-making position and constantly determining the skills and experiences that benefit the students in their ever-changing environment

For me, it’s always been about the students. Supporting and guiding them towards achieving their goals while ensuring they have the tools to succeed. I use the skills I learnt during my studies to give them a learning environment that teaches them how to be the best version of themselves without compromising their values and become leaders true to themselves and powerful servants to their country. For my studies to give me that opportunity is a blessing that truly makes me happy. I strongly believe that all this knowledge, education and experience is a gift and an amanah, and since Allah SWT gave me these blessings, I have a duty to make sure that they are used in the right way.

Messages for other mothers out there who wish to continue their education or career

I believe you will not only light up your own path but also your children’s. Whether you work or study, you are gaining knowledge and experiences everyday and, therefore, supporting yourself to become a better person and, eventually, a better mother as you support your children to become better people in the community. By going out and experiencing the outside world you understand more about the things that are happening around you, and therefore, you can prepare your children better for the world they live in. It is important to acknowledge that whether you are a stay-at-home mom or you work or study, it is a choice, and there is beauty and generous giving in each one of those roles. My choice to study abroad has been the best one I made. I am forever grateful to Allah for his guidance and support to be where I am today. My study abroad experience was an exciting journey that involved leaving the comfort of my home, studying until dawn, gaining new knowledge and experiences, meeting new people, learning about my strengths, my weaknesses, and becoming aware of the things that are most important to me. I learned that my family is very important, and appreciating them more came through this experience. The possibility of growing and adopting an exciting new and different identity through learning opened new doors not only for myself but also for my children. Simply put, because of the journey  I’ve been through, it’s made me a better mother. I am a better person for my children, my husband, and myself.

***

Author: Tami Astie Ulhiza & Tera Wednes Oktireva Harsa

Manfaat (850 × 250 px)
Kesehatan

Kenali Kondisi Kesehatan Mentalmu Melalui Evaluasi Psikologis

Apakah Ibu dan Sister akhir-akhir ini merasakan masalah yang cukup berat? Apakah Ibu dan Sister akhir-akhir ini merasakan perubahan mood, perilaku, dan cara berpikir yang pada akhirnya mengganggu aktivitas sehari-hari? Berbagai kondisi tersebut berpotensi mengganggu kesehatan mental Ibu dan Sister. Oleh karena itu, diperlukan penanganan untuk memulihkan kesehatan mental Ibu dan Sister.

Kemajuan teknologi di zaman sekarang membuat Ibu dan Sister lebih mudah mengakses informasi terkait kesehatan mental. Saat ini, banyak sekali informasi mengenai penanganan kondisi kesehatan mental yang dapat diakses di media sosial. Hal ini tentu memiliki manfaat untuk Ibu dan Sister. Mengapa demikian? Kemudahan akses informasi terkait kesehatan mental tersebut membuat Ibu dan Sister lebih mudah mendapatkan akses untuk melakukan konseling dengan tenaga profesional, misalnya psikolog dan psikiater. Melakukan konseling dengan tenaga profesional sangat penting dilakukan ketika Ibu dan Sister membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif. Namun, seringkali Ibu dan Sister tidak tahu hal yang ingin Ibu dan Sister ceritakan serta hal yang sebenarnya Ibu dan Sister  rasakan. Sebagai langkah awal, Ibu dan Sister bisa melakukan evaluasi psikologis terlebih dahulu, lho!

Apa yang dimaksud dengan Evaluasi Psikologis?

Evaluasi Psikologis atau bisa disebut sebagai Psychological Assessment adalah sebuah proses pengumpulan data yang dilakukan oleh seorang psikolog. Psikolog menggunakan tes dan alat penilaian lainnya ini untuk mengamati dan mengukur perilaku klien hingga tahap diagnosis dan panduan pengobatan. Psikolog berperan seperti seorang detektif yang berusaha mendapatkan petunjuk untuk memecahkan sebuah misteri. Makin banyak petunjuk yang diidentifikasi oleh psikolog, makin banyak pula informasi yang digunakan untuk mengetahui kondisi psikologis para klien. Selain itu, banyaknya informasi yang mampu diperoleh akan memudahkan psikolog menentukan langkah-langkah yang tepat untuk membantu para klien.

Apa saja manfaat dari Evaluasi Psikologis?

Evaluasi Psikologis memiliki banyak manfaat. Beberapa manfaat Evaluasi Psikologis sebagai berikut:

1. Mendiagnosis berbagai kondisi psikologis dan penyakit yang memengaruhi ingatan, proses berpikir, dan perilaku. Sebagai contoh, depresi dan gangguan cemas, baby blues, post-partum depression, serta Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) and alzheimer.

2. Mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh individu, misalnya analisis kemampuan logika, pemecahan masalah, kemampuan berkomunikasi, dan stabilitas emosi ataupun kepercayaan diri.

3. Memberikan gambaran tentang bidang aktivitas yang cocok bagi setiap individu. Saat memperoleh gambaran tersebut, psikolog dapat memberikan solusi yang tepat untuk membantu klien mengembangkan potensinya.

Dalam Evaluasi Psikologis terdapat berbagai teknik asesmen yang digunakan. Salah satu teknik asesmen yang umum digunakan adalah wawancara klinis. Melalui wawancara klinis dengan klien, psikolog dapat memperoleh informasi psikologis dan penyakit yang dialami oleh klien. Ketika seorang psikolog berbicara kepada klien tentang kekhawatiran dan sejarahnya, psikolog  dapat mengamati cara klien berpikir, beralasan, dan berinteraksi dengan orang lain. Selain melalui wawancara, proses asesmen juga bisa dilakukan secara tertulis. Proses asesmen secara tertulis dilakukan dengan menjawab sejumlah pertanyaan pilihan ganda maupun esai. Setiap pertanyaan yang dijawab klien diharapkan mampu menjelaskan masalah psikologis tertentu yang dialami klien. Durasi setiap evaluasi juga berbeda-beda, tergantung dari jenis evaluasi yang dipilih atau kebijakan dari penyedia asesmen. 

Nah, Ibu dan Sister sudah memperoleh gambaran tentang Evaluasi Psikologis. Kemudian, di mana Ibu dan Sister bisa mendapatkan layanan Evaluasi Psikologis? Ibu dan Sister bisa mendapatkan layanan Evaluasi Psikologis di lembaga pelayanan psikologi. Bagaimana dengan tes psikologis yang banyak tersedia secara online? Para ahli ternyata tidak merekomendasikan tes psikologi secara online. Ketika Ibu dan Sister mencoba untuk mengikuti tes dengan cara tersebut, jawaban dalam tes mungkin tidak konsisten serta membuat Ibu dan Sister tampak memiliki lebih banyak masalah daripada yang sebenarnya terjadi. Ibu dan Sister boleh saja untuk mencoba mengikuti tes psikologis secara online. Namun, jangan lupa untuk mengonsultasikan hasilnya dengan psikolog, ya.

Bagaimana informasi tentang Evaluasi Psikologis, Ibu dan Sister? Setelah memperoleh informasi tersebut, Ibu dan Sister tidak perlu takut lagi untuk melakukan Evaluasi Psikologis jika memang diperlukan. Ini bukanlah sesuatu yang perlu Ibu dan Sister pelajari terlebih dahulu layaknya ujian akhir. Sebaliknya, Evaluasi Psikologis adalah kesempatan bagi psikolog untuk menentukan cara terbaik untuk membantu para kliennya agar sehat secara fisik dan psikis.

Salam sehat, Ibu dan Sister!

***

Referensi:

Protenzia Consulting. 2020. Memahami Pengujian dan Assessment Psikologis. Diakses dari http://www.protenziaconsulting.com/news/memahami-pengujian-dan-assesment-psikologis/ tanggal 02 Oktober 2022.

Rudlin, Kathryn. 2022.. What Is a Psychological Evaluation? Diakses dari https://www.verywellmind.com/get-your-teen-a-psychological-evaluation-2610450 tanggal 30 September 2022.

Penulis: Shinta Nastiti
Desainer/Illustrator: Sri Mulyasari Aryana
Editor: Dwi Martina Dewi

healing with journaling
KeluargaKesehatan

Healing dengan Journaling

Sebagai wanita, Ibu mungkin sudah terbiasa dengan task-switching atau mengerjakan hal berbeda secara bergantian dalam satu waktu. Contohnya saat Ibu menyelesaikan pekerjaan kantor sembari memikirkan weekly menu untuk minggu depan dan mengingat-ingat bahan makanan yang habis dan perlu dicatat di dalam daftar belanja minggu ini.

Aktivitas task-switching ini menambah beban kerja otak sehingga otak memerlukan lebih banyak energi. Tidak heran jika Ibu seringkali merasa lelah meski sudah beristirahat dengan waktu yang cukup. Salah satu kegiatan healing yang dapat membantu meringankan beban kerja otak adalah dengan menulis jurnal.

Menulis jurnal atau journaling adalah suatu kegiatan rutin menjabarkan hal-hal yang dipikirkan dan dirasakan secara sistematis. Journaling bisa dimulai sesederhana menulis di buku catatan atau menggunakan aplikasi di laptop atau smartphone Ibu.

Selain mengurangi kepenatan di kepala, ada banyak tujuan journaling, seperti untuk mengabadikan pengalaman dan perasaan, hingga untuk menerapkan kesadaran penuh atau mindfulness.

Manfaat dari journaling pun tidak kalah banyaknya, terutama bagi pengembangan diri dan kesehatan mental. Journaling membantu mengurai pikiran menjadi runut dan terorganisir ke dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan inilah yang kemudian akan membantu dalam proses mengenal diri sendiri hingga menemukan aspirasi diri. Selain itu, journaling juga membantu dalam mempertimbangkan dan menentukan langkah selanjutnya dalam kehidupan.

Dari sisi kesehatan mental, journaling berperan sebagai wadah yang menampung keluh-kesah, keraguan, dan ketakutan dalam diri. Journaling membantu mengelola emosi secara sehat. Ketika kita mengurai dan memindahkan berbagai pemikiran dan emosi tersebut dari kepala ke dalam bentuk tulisan, maka kita akan merasa lega.

Berikut adalah beberapa jenis journaling yang dapat dicoba:

1.    Daily Journal

Jurnal harian yang berisikan hal-hal yang dilakukan atau pengalaman yang dirasakan hari itu. Umumnya jurnal harian juga berisikan to-do list, sehingga jurnal ini cocok jika kita ingin mengingat suatu momen secara rinci.

2.    Atomic Journal

Atom adalah unsur terkecil yang membentuk senyawa. Seperti namanya, atomic journal mengajak kita menulis satu kalimat sederhana untuk mendeskripsikan perasaan dan pengalaman hari itu. Meski terdengar sulit, namun atomic journal bisa memantik Ibu untuk memperkaya kosa kata.

3.    Gratitude Journal

Cara sederhana untuk memulai gratitude journal adalah dengan menuliskan 5-10 hal yang disyukuri setiap harinya. Mulai dari hal-hal besar, seperti sembuh dari sakit, dan berhasil mendapat pekerjaan baru, hingga hal-hal sederhana namun membuat hati terasa hangat, seperti menempuh perjalanan tanpa terjebak kemacetan, dan pelukan ekstra dari anak-anak. Gratitude journal melatih optimisme dan kemampuan bersyukur Ibu dalam menjalani kehidupan.

4.    Visual Journal

Jika Ibu menyukai hal-hal yang bersifat artistik, maka Ibu bisa mencoba membuat visual journal. Visual journal berisikan satu foto atau gambar setiap harinya. Ibu bisa memotret diri sendiri, keluarga, pemandangan, atau aktivitas yang Ibu lakukan hari itu. Jika dilakukan dengan rutin, pada akhir tahun Ibu bisa memiliki kaleidoskop sendiri.

5.    Bullet Journal

Bullet Journal atau BuJo merupakan metode journaling yang diciptakan oleh Ryder Carroll dan menekankan pada intensi penulisnya. Secara umum, BuJo berisikan future log untuk mencatat aspirasi atau tujuan, monthly planner untuk mencatat deadline dan goals jangka pendek, serta daily log untuk mencatat aktivitas harian. Namun Ibu juga bisa menambahkan kategori lain sesuai kebutuhan. Berbeda dari jenis journaling lainnya, BuJo biasanya menggunakan jurnal yang halamannya menggunakan titik-titik. Ini karena kita akan mengatur, menggaris, bahkan menggambar sendiri jurnal tersebut sesuai preferensi atau intensi kita.

Wajar jika journaling menjadi salah satu kegiatan yang populer. Selain menyenangkan, journaling juga hemat waktu dan biaya, serta memiliki banyak manfaat, terutama dalam mengorganisir kehidupan.

Untuk mendapatkan manfaatnya, jadikan journaling sebagai suatu kebiasaan atau rutinitas Ibu. Sebelum mengakhiri hari, dedikasikan beberapa menit waktu Ibu untuk menulis. Jika Ibu merasa bingung atau canggung, ingatlah bahwa tidak ada peraturan saklek dalam journaling, sehingga Ibu tidak perlu takut salah.

Jadi metode journaling mana yang ingin Ibu coba?

***

Referensi:

Hirsch, P. ,Koch, I., et al. (2019, 14 Agustus). Putting a stereotype to the test: The case of gender differences in multitasking costs in task-switching and dual-task situations. Diakses dari https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0220150

Murray, B. (2002, Juni). Writing to heal. Monitor on Psychology, 33, (6). https://www.apa.org/monitor/jun02/writing

Phelan, H. (2018, 25 Oktober). What’s All This About Journaling?. Diakses dari https://www.nytimes.com/2018/10/25/style/journaling-benefits.html

Tartakovsky, M. (2022, 22 Februari). 6 Journaling Benefits and How to Start Right Now. Diakses dari https://www.healthline.com/health/benefits-of-journaling#how-to-start

Penulis: Yoanda Pragita
Desainer/Illustrator: Rifki Aviani
Editor: Sucia Ramadhani