Berbeda dengan Indonesia, tahun ajaran baru sekolah di Jepang dimulai dari bulan April. Namun, persiapan untuk masuk sekolah dasar di Jepang biasanya sudah dimulai sekitar bulan Oktober/November. Bagi anak yang sudah genap berusia 6 tahun per 1 April, wajib mengikuti pendidikan sekolah dasar, baik warga negara Jepang maupun warga negara asing yang tinggal di Jepang. Penempatan sekolah didasarkan sistem zonasi terdekat, karena standar kualitas sekolah dasar negeri baik fasilitas, kurikulum, kualitas guru, dll. di setiap daerah cenderung sama. Para orang tua tidak perlu repot memilih sekolah dasar negeri, cukup mengikuti anjuran dalam surat yang dikirim oleh kuyakusho (pemerintah daerah setempat) melalui pos. Biaya masuk sekolahnya juga gratis karena sudah disubsidi oleh pemerintah.
Pada bulan Desember, ada tes kesehatan gratis di sekolah SD yang wajib diikuti oleh calon siswa, meliputi cek kesehatan mata, telinga, dll. Sekolah perlu mengetahui kondisi kesehatan anak untuk melakukan antisipasi dan penyembuhan bagi yang sakit sebelum ajaran sekolah dimulai. Di akhir tes akan ada konsultasi khusus dengan dokter anak terkait perkembangan anak dengan detail. Hasil pemeriksaan kesehatan tersebut akan dikirimkan melalui pos ke alamat rumah. Pada bulan Februari, kegiatan dilanjutkan dengan pertemuan tentang penjelasan persiapan orientasi masuk sekolah. Dalam pertemuan ini banyak sekali informasi yang disampaikan oleh guru. Meskipun ada file print out yang sudah dibagikan, tetapi bagi warga negara asing yang memiliki keterbatasan bahasa Jepang mungkin akan bingung karena adanya informasi tambahan. Saya pribadi akhirnya merekam pembicaraan guru, sehingga bisa diputar ulang dan didengarkan suami yang sudah fasih berbahasa Jepang. Hal ini dilakukan agar tidak ada informasi yang terlewat.
Sebagian kebutuhan siswa sudah disediakan oleh pihak sekolah seperti kotak alat tulis (dogubako), nametag, buku laporan (renrakucho), buku pelajaran, balok untuk belajar berhitung, serta alarm kecil dan sempritan yang digantung di ransel. Menurut sensei, alarm kecil berwarna kuning tersebut kalau dipencet akan keluar suara yang bunyinya mirip dengan suara sirene ambulan. Kebayang, kan, kalau bunyi, sekeras apa suaranya? Bentuknya yang lucu pastinya membuat anak penasaran, maka orang tua harus selalu mengingatkan anak untuk tidak bermain-main dengan sirene itu. Alarm dan sempritan diberikan sekolah sebagai upaya keselamatan anak jika sewaktu-waktu ada bahaya. Di Jepang tidak ada seragam sekolah, jadi anak-anak memakai baju bebas. Walaupun sebagian sekolah ada yang memiliki seragam, tetapi pada umumnya tidak ada seragam untuk siswa SD.
Yang paling seru dan cukup menguras tenaga dan biaya adalah saat berburu peralatan sekolah yang harus dibeli sendiri oleh orang tua, seperti, tas ransel (randoseru), baju olahraga/senam, sepatu senam, topi merah, sepatu dalam sekolah (zukku), topi kuning khas anak SD, berbagai macam kantong, peralatan tulis, kotak pensil, pensil warna, cat air, harmonika, peralatan lukis, baju renang, alas makan, celemek, dan lap bersih-bersih. Di Jepang setiap barang harus dimasukan ke dalam kantongnya masing-masing, maka banyak sekali jenis kantong yang harus disiapkan. Semua peralatan ini juga harus ditulis dengan nama anak/diberikan marker satu per satu agar tidak tertukar dengan teman lain, selain itu juga membiasakan anak bertanggung jawab atas barang yang dibawanya.
Harga tas sekolah khas anak SD Jepang (randoseru) sangat fantastis, bahkan ada yang sampai 9 juta untuk satu buah. Kenapa harganya bisa semahal itu? Tas tersebut sangat kuat dan bisa awet sampai belasan tahun. Namun, biasanya pada bulan November-Desember, akan ada banyak diskon sampai setengah harga. Lebih hemat lagi bisa membeli barang second yang banyak dijual di Mercari atau toko second street. Tas sekolah ini sifatnya tidak wajib, tetapi umum dipakai oleh anak SD di Jepang. Randoseru ini ukurannya sebenarnya tidak terlalu besar untuk menaruh barang bawaan anak yang begitu banyak setiap hari. Sehingga jangan heran kalau melihat anak SD di Jepang selain menggendong tas randoseru yang cukup berat, tangan kanan dan kirinya juga sudah penuh membawa barang. Herannya, anak saya sama sekali tak mengeluh dengan bawaannya yang seberat dan sebanyak itu.
Selain peralatan yang harus disiapkan, orang tua juga harus mempersiapkan anak berangkat ke sekolah sendiri. Semua anak SD wajib jalan kaki menuju sekolah, seberapapun jauh jaraknya. Anak akan pergi ke tempat titik berkumpul terdekat dan pergi bersama dengan teman-teman yang dekat tempat tinggalnya ke sekolah sesuai rute yang sudah ditentukan. Jarak tempuh ke sekolah anak saya sekitar 2 km, jika berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Jaraknya lumayan jauh, maka sebelum hari pertama belajar dimulai, saya mengajak anak saya untuk berjalan mengikuti rute tersebut untuk mengenalkan rutenya, sekalian memberikan motivasi agar mulai mandiri pergi ke sekolah tanpa ibunya. Berbeda saat TK di mana anak berangkat jam 9 pagi, saat SD anak harus berangkat pukul 07.30, karena proses belajar mengajar siswa SD di Jepang dimulai pukul 08.30.
Yang tak kalah heboh adalah mempersiapkan pakaian yang akan dikenakan dalam upacara penerimaan sekolah yang disebut dengan nyuugakushiki. Acara ini adalah acara besar sekolah yang dihadiri oleh anak yang akan sekolah dan kedua orang tua. Biasanya ciri khas para orang tua akan memakai baju formal dengan warna gelap dan hiasan bunga yang ditempel di dada. Oh, iya, jika kemampuan bahasa Jepang anak masih rendah, pihak sekolah akan melakukan pendampingan sampai anak cukup siap mengikuti kegiatan belajar nantinya. Jadi, jangan khawatir untuk siswa asing yang baru pindah, sekolah sangat memperhatikan kesiapan anak belajar, terutama masalah bahasa.
Untuk kelas 1 SD ada 7 mata pelajaran, seperti bahasa Jepang (kokugo), matematika (sansuu), musik (ongaku), kehidupan (seikatsu), belajar melukis dan membuat prakarya, moral (doutoku), dan olahraga (taiku). Memang terlihat banyak, tetapi anak belajar akademik hanya kokugo dan sansuu, pelajaran lain sifatnya hanya belajar sambil bermain. Hal ini merupakan proses adaptasi agar anak tidak terlalu kaget dan stres dengan suasana baru. Fokusnya adalah menciptakan kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan ke sekolah, sehingga setiap hari anak “ketagihan” pergi ke sekolah.
Di sekolah SD di Jepang juga ada kyuushoku atau menu makan siang yang disediakan oleh sekolah. Biasanya untuk kyuushoku dikenakan biaya sekitar 4000 yen (tergantung sekolah masing-masing). Menunya sangat transparan, setiap bulan akan dikeluarkan print out tabel menu per harinya, bahan-bahan yang digunakan, dan nutrisi makanan yang disajikan. Hal ini dimaksudkan agar anak yang mempunyai alergi pada makanan jenis tertentu dapat mengantisipasi makanan tersebut. Bagi orang tua murid yang beragama Islam dan khawatiran tentang bahan yang digunakan, perlu berdiskusi dengan sekolah. Salah satu solusinya adalah dengan membawa bento sendiri dengan menu yang diharapkan sama dengan menu sekolah, karena Jepang sangat menjunjung keseragaman, selain itu juga agar anak tidak merasa berbeda dengan teman-temannya.
Persiapan masuk sekolah SD di Jepang bisa dikatakan adalah proses yang seru dan melelahkan. Namun, kesiapan mental anak adalah hal yang paling ditekankan. Anak berjalan kaki pergi-pulang setiap hari ke sekolah dengan tas seberat itu, belum lagi tentengan kanan kiri tentunya tidak mudah. Saya ingat saat pertemuan dengan gurunya pertama kali, sang guru menekankan 5 hal untuk orang tua, yaitu harus membiasakan anak tidur cepat, bangun cepat, jangan lewatkan sarapan, terus memberi semangat pada anak setiap hari, dan mengapresiasi segala hal yang anak lakukan. Itu adalah kunci membangun semangat anak untuk berangkat ke sekolah, agar anak tidak menjadikan sekolah sebagai beban, tetapi menjadi kegiatan yang menyenangkan. Itulah mengapa di Jepang tidak ada anak menangis karena tidak mau sekolah. Setiap hari mereka akan siap bangun untuk berangkat sekolah.
***
Penulis: Selly Septiani Dewi
Desainer: Adzani A. Ameridyani
Editor: Nur Fauziah